Akhirnya PBB Meminta Eropa untuk Menangani Masalah Pencari Suaka
Bersamaan dengan berlanjutnya perjalanan para migran ke Eropa dan laporan perlakuan tidak manusiawi terhadap pencari suaka di beberapa negara Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta Eropa untuk menggunakan mekanisme yang lebih efektif dan efisien untuk menangani masuknya migran dan pencari suaka ke benua itu.
“Fakta bahwa dalam beberapa hari terakhir kita sekali lagi menyaksikan kedatangan para migran dan pencari suaka di Eropa melalui Mediterania menunjukkan bahwa Eropa membutuhkan mekanisme yang lebih baik untuk memprediksi urusan ini, ” kata Filippo Grande, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Pernyataan Grandi disampaikan ketika surat kabar Guardian sebelumnya mengungkapkan bahwa negara-negara Eropa telah menggunakan metode brutal untuk menghentikan perjalanan sekitar 40.000 pengungsi selama epidemi Corona, yang mengakibatkan kematian 2.000 dari mereka. Surat kabar tersebut melaporkan tentang deportasi terbesar pencari suaka oleh negara-negara Eropa dalam beberapa pekan terakhir dengan berbagai cara.
Menurut berbagai laporan yang telah dipublikasikan, sejak Januari 2020, meski jumlah pengungsi menurun, negara-negara Eropa, terutama Italia, Malta, Yunani, Kroasia, dan Spanyol, telah memperketat kebijakan imigrasinya. Mereka membayar negara-negara di luar Uni Eropa dan kapal pribadi untuk melacak perahu-perahu para pencari suaka di laut dan membawa para penumpangnya ke tempat-tempat penahanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, setelah perang di Suriah dan ketidakamanan di beberapa negara Asia Barat lainnya, krisis politik dan ekonomi di banyak negara Afrika, tidak adanya pemerintah pusat yang kuat di Libya dan akses ke perairan Mediterania sebagai saluran ke Eropa, hal ini menyebabkan banyak warga negara yang dilanda krisis di Asia Barat dan Afrika mencapai perbatasan Eropa dengan berbagai cara yang berisiko.
Banyak dari para pencari suaka ini menjadi korban mafia perdagangan manusia serta kecelakaan laut dan tewas dalam rangka mencapai tujuan Eropa mereka, tetapi para pencari suaka yang berhasil mencapai Eropa ternyata menghadapi banyak kesulitan.
Berlawanan dengan slogan-slogan kemanusiaan dan pro hak asasi manusia, negara-negara Eropa pada praktiknya tidak memperlakukan pencari suaka dengan cara yang manusiawi. Banyak dari mereka ditempatkan di kamp-kamp dengan akomodasi yang minim. Banyak pencari suaka telah menunggu izin di balik perbatasan Eropa selama berbulan-bulan setelah penutupan perbatasan Eropa menyusul epidemi Covid-19.
Kondisi ini terlepas dari kenyataan bahwa bahkan pencari suaka yang tinggal di kamp tidak memiliki akses yang memadai ke fasilitas medis, kesehatan dan perawatan, dan pelecehan terhadap mereka telah meningkat. Laporan baru-baru ini tentang intervensi polisi Prancis untuk membongkar kamp-kamp pengungsi di Bundaran Place de la Republique, salah satu alun-alun utama di Paris, ibukota Prancis, mengejutkan para aktivis hak asasi manusia. Foto-foto yang dipublikasikan menunjukkan polisi mengeluarkan para pencari suaka dari tenda-tendanya dengan kekerasan tongkat dan gas air mata.
Di sisi lain, pemberlakuan karantina jangka panjang dan perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi dalih lain yang digunakan otoritas Eropa untuk menekan pencari suaka dan mendeportasi mereka.
Erik Marquardt, wakil dari Partai Hijau Jerman di Parlemen Eropa mengutip berbagai laporan terdokumentasi tentang pelanggaran hak asasi manusia pencari suaka mengatakan, "Contoh pelanggaran hukum ini adalah penembakan peluru perang pada pencari suaka, pengembalian pencari suaka ke belakang perbatasan, penangguhkan prosedur suaka dan mengabaikan pedoman penerimaan migran."
Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang secara resmi meminta Eropa untuk mengakhiri perlakuan tidak manusiawi terhadap pencari suaka dan untuk mengatur situasi mereka sesuai dengan standar dan hukum yang ditetapkan. Masalah yang sepertinya tidak akan dipertimbangkan dan dilaksanakan oleh para pejabat Eropa.(SL)