Partisipasi Politik Rakyat dalam Pemerintahan Islam Iran
Beberapa hari terakhir ini kemeriahan menjelang pemilu di Iran mulai terasa dan hitung mundur hingga hari penyelenggaraan pemilu presiden negara ini sudah dimulai. Pemilu presiden periode ke-12 bersamaan dengan pemilu periode kelima Dewan kota dan desa, dan pemilu paruh waktu Majelis Syura Islam Iran atau parlemen, akan digelar serentak pada 29 Ordibehesht 1396 Hs atau 19 Mei 2017.
Kelompok-kelompok dan gerakan politik dengan berbagai aliran akan ikut serta dalam pemilu kali ini. Keikutsertaan dalam pemilu berlandaskan pada dua prinsip. Pertama, prinsip partisipasi masyarakat yang memberikan legitimasi kepada setiap pemilu dan mengubah kontestasi demokratis ini menjadi sebuah gerakan efektif untuk menentukan masa depan politik negara.
Sementara prinsip kedua dalam pemilu adalah partisipasi para kandidat yang mengumumkan kesiapan untuk memikul tanggung jawab di pemerintahan di hadapan massa pemilih yang dalam bentuk tertentu merupakan bagian dari partisipasi bertanggung jawab dalam pemilu.
Pengalaman 39 tahun sejak berdirinya Republik Islam Iran dan partisipasi rakyat dalam pemilu, menegaskan poin ini bahwa semakin besar tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu, maka dampaknya pada kekuatan pemerintahan dan reputasi rakyat Iran, juga semakin dalam dan kokoh.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar mengatakan, “Semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi dalam pemilu, maka kekuatan pemerintahan dan reputasi negara akan meningkat. Karena pemerintahan ini adalah pemerintahan rakyat, dan realitasnya, pemerintahan ini bersandar pada apa yang dirasakan masyarakat, suara hati masyarakat, pilihan dan tuntutan mereka, pemerintahan ini bersandar pada itu semua.”
Pemilu di negara-negara demokratis secara umum bersandar pada prinsip partisipasi. Namun level partisipasi ini tidak sama di setiap negara dan dapat diwujudkan dengan berbagai metode.
Di dalam pemerintahan Republik Islam, partisipasi, selain merupakan salah satu dimensi pembangunan politik, juga memiliki aspek sosial dan dari sisi lain merupakan simbol persatuan agama dan solidaritas.
Karakteristik ini memberikan dampak besar dalam upaya mendinamiskan dan memperkokoh demokrasi relijius, dan jika terus berlanjut maka pemerintahan Republik Islam Iran akan semakin kuat.
Pada kenyataannya, partisipasi merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelenggaraan pemilu yang sehat dan efektif. Tanpa partisipasi, kita tidak bisa mengharapkan hasil positif dari sebuah pemilu yang berlandaskan prinsip-prinsip demokratis. Ketika partisipasi dalam sebuah pemilu lemah, dingin atau tanpa semangat, maka hasilnyapun tidak akan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Dr. Matin Anjamrooz, seorang pengamat politik mengatakan, partisipasi politik merupakan salah satu indikator demokrasi. Demokrasi sendiri memiliki sejumlah indikator, termasuk pembagian kekuasaan, partisipasi, kompetisi, kebebasan berpendapat dan keikutsertaan dalam pemilu, namun jika kita ingin menyimpulkannya, indikator terpenting dalam demokrasi adalah partisipasi dan kompetisi.
Ia menambahkan, partisipasi memainkan peran determinan dalam proses politik dan jika kita ingin mendefinisikan partisipasi, maka partisipasi itu memiliki dua bagian, bagian pertama adalah kualitas partisipasi dan bagian yang lain adalah kuantitas partisipasi. Berdasarkan struktur politik dan beragam corak masyarakat yang ada di dunia ini, ukuran kualitas dan kuantitas partisipasi pun berbeda-beda.
Penyelenggaraan pesta demokrasi sepanjang sejarah politik Iran berusia hampir 150 tahun. Catatan sejarah menuturkan, pada Agustus 1906, parlemen pertama Iran terbentuk. Akan tetapi jika kita cermati sejarah Iran, kita akan menyaksikan bahwa pada dasarnya pemilu dan masalah partisipasi tidak pernah punya konsep yang nyata.
Ketika pemilu parlemen untuk pertama kalinya digelar di Iran pasca Revolusi Konstitusi, hanya lapisan masyarakat tertentu yang berhak memilih wakil di parlemen.
Situasi politik Iran saat itu tidak memungkinkan pemilu menjadi sebuah hak sosial setiap lapisan masyarakat dan menjelma menjadi sebuah partisipasi politik nyata mereka. Pemilu saat itu pada kenyataannya merupakan salah satu bagian dari gerakan penjajahan di Iran yang hanya formalitas bagi rakyat negara ini.
Berdasarkan undang-undang yang ditetapkan pada masa Mozafaroddin Shah Qajar, perempuan tidak punya hak memberikan suara dalam pemilu. Para pemilih dibatasi oleh sejumlah syarat khusus.
Syarat kelas sosial seperti kelas keturunan raja Qajar, bangsawan, pedagang, pemilik tanah dan serikat, adalah kelas-kelas sosial yang atas perintah Syah Iran punya hak memilih wakil di parlemen.
Sementara dari kalangan masyarakat biasa yang diberikan hak memilih adalah orang-orang yang dinilai punya aset atau nilai tertentu, dan lapisan masyarakat miskin tidak berhak memilih atau memberikan suaranya dalam pemilu.
Dr. Matin Anjamrooz terkait hal ini menerangkan, perhatikan, pembahasan ini mungkin kembali ke era Revolusi Konstitusi di Iran yang untuk pertama kalinya masalah undang-undang, konstitusi dan sejenisnya mulai masuk ke negara ini.
Di satu sisi, katanya, masyarakat sedikit demi sedikit mulai belajar bahwa mereka juga punya andil dalam kekuasaan. Karena sebelumnya, kekuasaan di Iran memiliki dimensi mutlak dan tak terbatas. Namun perlahan-lahan masyarakat Iran memahami bahwa mereka bisa membatasi kekuasaan negara dengan andil mereka di kekuasaan itu lewat pemilu parlemen.”
Ia menuturkan, supremasi suara rakyat yang muncul pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, diwarnai dengan berbagai peristiwa. Kemenangan Revolusi Islam Iran pada hakikatnya adalah sebuah awal dimulainya upaya bersandar kepada suara rakyat dalam mendirikan pemerintahan Republik Islam Iran.
Setelah referendumlah, rakyat Iran menganggap partisipasi di arena pemilu sebagai sebuah tanggung jawab sosial dan kewajiban syariat dalam menentukan masa depan politiknya, sehingga hasil pemilu tersebut menjadi simbol kehendak rakyat dalam pengelolaan negara.
Dalam partisipasi terdapat dua aspek penting. Pertama adalah penyelenggaraan pemilu yang sehat dan ini merupakan tanggung jawab penyelenggara pemilu, pejabat pelaksana dan badan pengawasan terhadap sebuah pemilu sehat dan transparan. Aspek kedua sangat penting, yaitu partisipasi dalam pemilu.
Peran masyarakat sebagai penentu nasib pemilu ditetapkan dalam kerangka undang-undang dasar yang bisa memperkokoh sistem politik dan penyelenggaraan negara. Masyarakat juga bisa menunjukkan tingkat kepercayaannya kepada negara dan pejabat pemerintah terpilih dengan partisipasi luas mereka.
Dari sudut pandang hak warga negara, partisipasi dalam pemilu berarti partisipasi dalam mengelola negara dengan metode demokratis yang di dalamnya setiap anggota masyarakat memilih seseorang atau sejumlah orang untuk memikul tanggung jawab itu.
Akan tetapi dari sudut pandang lain, partisipasi sadar dan meriah masyarakat dalam pemilu dengan tetap menjaga norma dan standar akhlak Islam, memiliki dampak sosial yang dalam dan menyebabkan peningkatan moral politik di tengah masyarakat yang buahnya adalah kekuatan pemerintahan Republik Islam Iran.
Partisipasi masyarakat dalam pemilu adalah indikasi kepercayaan masyarakat atas efektivitas pengelolaan negara dan dari sisi ini dapat disimpulkan bahwa salah satu hasil dari penyelenggaraan pemilu adalah dukungan rakyat.
Oleh karena itu, para kandidat pemilu yang mengumumkan kesiapan memikul tanggung jawab besar ini, pada kenyataannya berjanji akan menjalankan tanggung jawab besar sosial, politik dan agamanya sebagai kewajiban, dan ini adalah konsep mendalam tentang partisipasi dalam sistem Islam.
Rahbar berkata, “Republik Islam dengan bersandar pada kekuatan Ilahi dan dengan meyakini kekuatan partisipasi rakyat, tidak takut pada kekuatan apapun di dunia ini.”