Hari Mahasiswa; Iran tak Pernah Lelah Hadapi Imperialisme
Des 02, 2020 16:25 Asia/Jakarta
Tanggal 16 Azar 1332 Hijriah Syamsiah atau 7 Desember 1953 dalam kalender nasional Iran, ditetapkan sebagai Hari Mahasiswa. Hari ini mengingatkan sebuah momen yang akan selalu dikenang, yaitu perjuangan tak kenal lelah rakyat Iran melawan imperialisme dunia.
Di hari ini, sekelompok mahasiswa Universitas Tehran dalam unjuk rasa memprotes kebijakan campur tangan Amerika Serikat di Iran, memulai sebuah gerakan revolusioner yang dampaknya jauh melampaui komunitas mahasiswa sendiri.
Saat itu, sekelompok mahasiswa Iran memprotes kunjungan Wakil Presiden Amerika, Richard Nixon ke Tehran, dan mengecam campur tangan Amerika di negaranya.
Gerakan protes ini ditumpas oleh rezim Shah dengan hujan peluru, sehingga tiga mahasiswa Universitas Tehran tumbang bersimbah darah. Akan tetapi darah yang tertumpah itu justru memberikan nafas baru bagi perjuangan tak kenal lelah rakyat Iran melawan kubu arogan global.
Peristiwa semacam 16 Azar, dan 13 Aban yang dinamai “Hari Nasional Melawan Arogansi Dunia” masing-masing menunjukkan intervensi Amerika di Iran. Selama lebih dari 6 dekade, Amerika menerapkan kebijakan permusuhan terhadap Iran.
Bangsa Iran sepanjang sejarahnya dalam menjalin hubungan dengan Amerika, tidak pernah melihat selain pengkhianatan, penipuan, intervensi, dan aksi anti-kemanusiaan dari negara itu. Selama bertahun-tahun, keterbelakangan yang merajalela sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, adalah buah dari hubungan ini.
Pasca kemenangan revolusi, banyak hal yang dipaksakan Amerika terhadap Iran, seperti melalui ancaman, dan konspirasi untuk kudeta, perang yang dipaksakan, dan dukungan terhadap diktator Irak, Saddam Hussein, dukungan pada teroris untuk menciptakan ketidakamanan di Iran, dan menghambat kemajuan serta pertumbuhan ekonomi, dengan sanksi yang bertujuan memberikan tekanan maksimum terhadap Iran.
Dalam satu dekade terakhir, Amerika, dengan merancang berbagai bentuk sanksi, dan penggunaan metode perang lunak di ruang-ruang komando CIA, dan Mossad, juga dengan menggunakan jaringan satelit, terus menambah tekanan terhadap Republik Islam Iran.
Ketika Amerika putus asa karena ternyata sanksi, dan tekanan ekonomi maksimum terhadap Iran, tidak terlalu efektif, ia mulai menerapkan kebijakan tekanan politik maksimum. Teror Letjend Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Quds, IRGC, pada Januari 2020, padahal saat itu beliau merupakan tamu resmi pemerintah Irak, merupakan bukti dari permusuhan Amerika.
Setahun kemudian, teror terhadap Dr. Mohsen Fakhrizadeh, ilmuwan nuklir Iran, yang juga Kepala Organisasi Riset dan Inovasi, Kementerian Pertahanan Iran, pada November 2020, yang berdasarkan bukti yang ditemukan, dilakukan atas kerja sama Amerika, MKO, dan rezim Zionis Israel, semakin menampakkan dengan jelas dimensi permusuhan Amerika terhadap Iran.
Teror terhadap Syahid Mohsen Fakhrizadeh dilakukan saat ilmuwan terkemuka Iran itu tengah mengepalai sebuah tim yang terdiri dari para ilmuwan Iran untuk memproduksi kit tes Corona pertama negara ini, dan vaksin Corona yang selain akan dibagikan kepada rakyat Iran, juga sebagai bentuk partisipasi Iran dalam upaya bersama dunia untuk mengatasi wabah Covid-19.
Pada kenyataanya para pejabat pemerintah Amerika baik di masa lalu, maupun saat ini, akan melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk memukul Iran. Berlanjutnya sikap permusuhan Amerika menunjukkan bahwa negara ini masih memegang teguh pemikiran hegemoni, dan menganggap diri di atas pihak lain, serta visi usang dalam memandang Iran.
Salah satu aktivis politik, dan kritikus sosial Amerika, Noam Chomsky dalam sebuah wawancara, saat menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan Amerika memusuhi Iran mengatakan, Amerika, dan Israel tidak bisa menoleransi keberadaan sebuah kekuatan independen di kawasan yang dianggap sebagai miliknya.
Realitasnya, salah satu alasan utama permusuhan Amerika terhadap Iran, adalah gagalnya konspirasi Amerika-Israel di kawasan termasuk di Suriah, Lebanon, dan Irak, yang berisi skenario memecah belah, dan mengadu domba rakyat kawasan oleh Amerika dan Israel.
Musuh Republik Islam Iran sejak 40 tahun lalu, dengan merancang berbagai rencana, berusaha membuat rakyat Iran lelah, dan patah semangat, namun dalam setiap konspirasi ini yang terlihat justru kebalikannya, dan pada peristiwa-peristiwa seperti teror Jenderal Soleimani, dan ilmuwan nuklir Iran, hampir tidak dapat dipercaya, rakyat Iran bersatu dalam barisan yang sama, dan penuh sesak untuk mengutuk teror tersebut.
Hal yang pasti adalah, permusuhan, dan perilaku Amerika terhadap Iran, tidak terbatas pada satu pemerintahan atau partai politik tertentu saja. Pasalnya, masing-masing pemerintahan atau partai politik Amerika, dengan kadar kekuatannya, melawan, dan memusuhi Republik Islam Iran.
Aksi-aksi semacam upaya penggulingan lunak di dalam negeri, dan penggunaan kekuatan militer serta ancaman dan sanksi untuk mengubah sistem Republik Islam Iran, termasuk di antara skenario yang dipakai pemerintah Amerika terhadap Iran. Presiden Amerika Donald Trump selama berkuasa melakukan banyak kesalahan dalam menjalankan skenario-skenario ini.
Salah satu pejabat Amerika yang sangat memusuhi Iran, dan dekat dengan Israel, John Bolton yang sempat menjadi penasihat Trump, mengeluarkan pernyataan congkak pada Januari 2017 di hadapan kelompok munafikin Mojahedin Khalq Organization, MKO.
Ia mengatakan, kita hari ini di Amerika memiliki seorang presiden yang sepenuhnya menentang pemerintahan Iran. Buah dari peninjauan ulang kebijakan presiden Amerika harus memperjelas bahwa pemerintahan Khomeini yang lahir pada tahun 1979 tidak akan mencapai usia 40 tahun.
Omong kosong semacam ini merupakan bagian dari sebuah proyek bernama “Hanson” yang dibuat oleh Institute for National Security Studies, INSS, Israel, dan dua hari setelah Amerika keluar dari kesepakatan nuklir JCPOA, program itu dipublikasikan dalam bentuk sebuah laporan oleh Washington Free Beacon.
Profesor ilmu politik Universitas Heidelberg, Ohio, Amerika, Arnold Oliver mengkritik kebijakan intervensi, dan permusuhan Amerika terhadap Iran. Ia mengatakan, penilaian yang adil pada berbagai peristiwa memperjelas masalah ini, yaitu mengapa rakyat Iran begitu membenci para pejabat Amerika.
Sebagaimana disampaikan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Khamenei, permusuhan mendalam Amerika terhadap bangsa Iran menyebabkan negara itu buta dalam kalkulasi, dan terus mengulang kesalahannya.
Pelajaran penting dari semua perilaku Amerika baik di masa lalu, maupun saat ini, adalah kesadaran untuk mengenal substansi nyata Amerika.
Oleh karena itu, peristiwa 16 Azar juga harus dikaji dalam bingkai analisa ini. 16 Azar adalah momen bersejarah yang menunjukkan pentingnya kesadaran, dan kewaspadaan kepada rakyat Iran, yang tidak pernah bisa menerima campur tangan, dan hegemoni Amerika. (HS)