Mencermati Alasan Penarikan AS dari Suriah (1)
-
Presiden AS Donald Trump.
Sejak pecahnya krisis Suriah pada 2011, Amerika Serikat bersama Inggris dan Perancis mengerahkan seluruh upayanya untuk membantu kelompok teroris di negara itu. Koalisi Barat-Arab mengejar sebuah tujuan utama yaitu mematahkan poros perlawanan dengan menggulingkan pemerintah konstitusional Suriah.
Mereka mengira akan mencapai ambisinya menumbangkan pemerintah Suriah dan Presiden Bashar al-Assad lewat tangan teroris, tetapi sekarang pengaruh mereka telah turun ke titik terendah di Suriah.
AS memandang skenarionya di Suriah telah gagal terutama langkahnya untuk mendirikan pemerintahan pro-Barat. Dari sisi lain, Washington pada 2014 membentuk koalisi internasional dengan alasan memerangi teroris Daesh. Kampanye udara koalisi internasional anti-Daesh tentu saja menewaskan banyak warga sipil di Suriah dan Irak.
Tahap berikutnya, AS menyebarkan pasukannya di utara dan timur laut Suriah. Sekitar 2.000 tentara AS disebarkan di Suriah dan mayoritas mereka dari satuan pasukan khusus. Mereka bekerjasama dengan milisi Kurdi yang disebut pasukan demokratik Suriah.
Presiden Donald Trump pada 19 Desember 2018 mengumumkan keputusannya menarik pasukan AS keluar dari Suriah dengan alasan Daesh sudah dikalahkan. Dia dikenal suka membuat keputusan kontroversial dan tak terduga, dan keputusan itu juga diumumkan secara mendadak.
"Kami telah mengalahkan Daesh yang menjadi satu-satunya alasan untuk berada di sana (Suriah) selama pemerintahan saya," tulis Trump di akun Twitter-nya.
Dalam sebuah tweet lain, Trump menulis, "Setelah kita mencapai kemenangan bersejarah melawan Daesh, sekarang sudah waktunya untuk memulangkan pasukan kami dari Suriah ke tanah airnya."
Presiden Trump juga telah memerintahkan dimulainya penarikan sekitar 7.000 tentara Amerika dari Afghanistan. Keputusan tiba-tiba yang dibuat sehari setelah pengumumannya tentang Suriah ini, telah mengejutkan banyak pihak, para pejabat Kabul bahkan mengatakan mereka belum diberitahu tentang rencana tersebut.
Menurut logika Trump; Daesh telah dikalahkan, sekutu AS di kawasan mampu menghancurkan sisa-sisa Daesh, sejak awal misi pasukan di Suriah bersifat temporal, sekarang sudah waktunya untuk kembali ke rumah, AS tidak boleh menjadi polisi dunia, anggaran dan nyawa warga Amerika tidak boleh dikorbankan untuk pihak-pihak yang tidak berterimakasih atas bantuan Washington, tanggung jawab memerangi Daesh berada di pundak Iran, Rusia, dan Suriah, dan negara-negara tersebut tidak akan mendapatkan kesenangan dari penarikan AS. Jika Daesh menyerang AS, mereka akan dimusnahkan. AS memiliki banyak sekutu penting, tetapi mereka memanfaatkan kita.
Keputusan Trump bisa dianalisa dari beberapa aspek. Pertama, Trump adalah sosok yang tidak bisa ditebak dan sudah membuat banyak keputusan mendadak sejak memimpin AS. Salah satu yang paling mengejutkan adalah pengumumannya melakukan perundingan langsung dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.
Trump tentu saja tidak mengeksekusi semua keputusan mendadaknya, dan jika menyaksikan adanya penentangan luas atau bakal berisiko tinggi, ia akan mundur dari rencananya.
Soal Suriah juga masih perlu dilihat, apakah keputusan Trump akan ditentang keras oleh Pentagon dan Kongres serta beberapa sekutu AS seperti, Israel dan Inggris sehingga memaksanya mundur dari langkah itu. Atau apakah Trump justru benar-benar melakukan penarikan meski ditentang keras.
Kedua, menurut para ahli strategi Amerika, Washington tidak akan mampu mengubah perimbangan kekuatan di Suriah jika tanpa membayar banyak biaya, dan akan menguntungkan Washington jika meninggalkan negara itu.
Posisi AS di Suriah sebenarnya telah lemah dan Washington benar-benar tidak mampu untuk mengubah perimbangan kekuatan, yang menguntungkan kelompok-kelompok teroris di negara itu. Dengan kata lain, proses kemenangan tentara Suriah dan sekutunya tidak menyediakan ruang lagi bagi kehadiran pasukan AS.
Ketiga, mungkin karena peringatan berulang oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tentang rencana operasi militer Turki dan sekutunya di timur Sungai Eufrat untuk melawan Kurdi. Karena alasan ini, Trump berkesimpulan bahwa ia harus menarik pasukannya dari Suriah untuk menghindari bentrokan antara pasukan Turki dan AS serta mencegah ketegangan lebih lanjut dengan Ankara.
Dua analis Amerika masing-masing, Jon B. Alterman dan Will Todman menganggap keputusan Trump bertujuan menarik simpati Ankara. Menurut mereka, Erdogan mengancam akan segera menyerang daerah-daerah yang dikuasai Kurdi di Suriah, yang bisa membahayakan pasukan AS di timur Sungai Eufrat.
Selain itu, AS ingin mencegah Turki membeli sistem rudal S-400 dari Rusia, dan setelah pengumuman penarikan dari Suriah, Trump dalam kontak telepon dengan Erdogan pada 21 Desember lalu, berhasil meyakinkan Turki agar membeli sistem rudal Patriot AS dalam kesepakatan 3,7 miliar dolar.
Menurut analisa Alterman dan Todman, Turki juga telah mencapai tujuannya sebagai hasil dari keputusan Trump. Ankara berhasil membeli sistem rudal canggih Patriot, mengambil peran penting di Suriah, sambil mengejar pendekatan spesifik untuk memerangi milisi Kurdi di utara dan barat laut Suriah.
Para analis ini juga menganggap Rusia, Iran, dan pemerintah Suriah sebagai pemenang utama dari keputusan Trump. Menurut mereka, penarikan cepat pasukan AS bermakna bahwa Rusia akan bekerjasama dengan pemerintahan Assad untuk mempertahankan militernya di Suriah, sementara AS tidak memiliki peran apapun di sana.
Selain itu, penarikan AS dari Suriah akan memungkinkan Iran untuk mengkonsolidasikan hubungan dengan sekutu-sekutunya di Lebanon dan memungkinkan Tehran untuk melanjutkan kehadiran militer dan intelijennya di Suriah.
Dan keempat, alasan lain keputusan Trump terkait dengan pendekatannya dalam kebijakan luar negeri AS. Salah satu prinsip kebijakan luar negeri pemerintahan Trump adalah "komersialisasi keamanan." Dengan kata lain, ia menentang kelanjutan kehadiran militer AS di beberapa negara kawasan dan dunia, yang tidak memiliki manfaat ekonomi bagi AS dan hanya membebani anggaran dan kerugian jiwa.
Dalam pandangan Trump, kehadiran ini berarti komitmen yang tidak menguntungkan bagi AS dan sama saja dengan menyediakan "tunggangan gratis" kepada sekutu di kawasan. Oleh karena itu, Presiden AS ingin agar sekutunya memikul komitmen regional AS dan menanggung biayanya sendiri.
Sejalan dengan kebijakan America First, Trump percaya bahwa komitmen global AS harus dikurangi, dan sebaliknya, membelanjakan uang dari itu untuk rekonstruksi di wilayah AS.
"Apakah AS ingin menjadi polisi di Timur Tengah, tidak mendapatkan apa-apa selain menghabiskan hidup yang berharga dan triliunan dolar untuk melindungi orang lain – di mana dalam hampir semua kasus – tidak menghargai apa yang kita lakukan? Apakah kita ingin berada di sana selamanya? Waktu bagi orang lain untuk akhirnya bertarung ....," ujar Trump.
Trump mengklaim bahwa perang AS dengan Daesh untuk kepentingan musuh dan rival regional dan internasional Amerika yaitu Rusia dan Iran.
Namun, Trump lupa bahwa selama kampanye pilpres, mengakui bahwa Daesh dibentuk oleh pemerintahan Obama, dan kehadiran ilegal militer AS di Suriah dengan dalih memerangi Daesh, sebenarnya sejalan dengan kepentingan regional Washington.
Pada dasarnya, kehadiran pasukan AS di Suriah bukan atas permintaan pemerintah Suriah, dan juga tidak ada mandat dari Dewan Keamanan PBB. Di samping itu, pemerintah Damaskus berulang kali meminta Washington mengakhiri kehadiran ilegalnya di Suriah.
Namun, struktur kepemimpinan di AS menentang penarikan pasukan dari Suriah, dan tindakan Trump bertentangan dengan komitmen dan kepentingan regional Paman Sam.
Terlepas dari alasan asli penarikan dari Suriah, perlu dicatat bahwa pemerintah Damaskus berulang kali menyatakan kehadiran militer AS di Suriah ilegal dan menyebutnya sebagai aksi pendudukan serta menekankan urgensitas penarikan pasukan AS. (RM)