Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (39)
-
Peringatan Hari Teknologi Nuklir Nasional Iran pada 2018.
Pemerintah Amerika Serikat mengambil berbagai tindakan untuk mencegah Republik Islam Iran mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi modern.
Tindakan itu antara lain: mencegah akses Iran ke komunitas ilmiah dunia, menekan negara lain untuk memutuskan kerja sama ilmiah dan akademik dengan Iran, mencegah publikasi artikel ilmiah ilmuwan Iran di jurnal dan situs sains dunia, dan menentang partisipasi delegasi ilmiah Iran di seminar dan konferensi internasional.
Amerika secara masif mengambil tindakan untuk mencegah Iran mencapai teknologi nuklir damai. Padahal sebelum kemenangan revolusi, pemerintah AS menandatangani perjanjian dengan Iran pada tahun 1956 di mana Tehran berhak untuk memanfaatkan energi nuklir untuk kepentingan sipil.
Satu tahun kemudian, Iran bergabung menjadi anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan pada akhirnya menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 1958. Dua tahun kemudian, keanggotaan Iran di NPT disetujui oleh Majelis Syura Nasional dan negara ini juga membentuk Badan Energi Atom Iran (AEOI).
Program pengembangan energi nuklir Iran terhenti pasca kemenangan Revolusi Islam dan pecahnya perang yang dipaksakan. Negara-negara Barat mengubah kebijakannya mengenai kerja sama untuk membantu Iran menikmati energi nuklir damai. Pada dasarnya, Barat di bawah komando Amerika bertekad menghentikan program nuklir damai Iran.
Pada 1994, Republik Islam menandatangani sebuah perjanjian dengan Rusia mengenai partisipasi negara itu dalam merampungkan dan mengoperasikan reaktor nuklir Bushehr. Dengan demikian, pembangunan reaktor dilakukan oleh perusahaan Rusia.
Pada tahun 2003, pemerintah Iran secara resmi mengumumkan bahwa para ilmuwan mereka telah berhasil memproduksi bahan bakar nuklir untuk reaktor dan tiga tahun kemudian, Republik Islam berhasil memperkaya uranium. Prestasi besar ini membuktikan tekad kuat bangsa Iran untuk mencapai kemajuan sains di tengah sanksi Barat.
Iran mampu menguasai semua fase siklus bahan bakar nuklir. Para ilmuwan Iran berhasil mengekstraksi uranium dari tambang Saghand di Provinsi Yadz dan Gachin di dekat Bandar Abbas, dan kemudian mengubahnya menjadi uranium oksida (U3O8) yang disebut kue kuning (Yellow Cake) di Isfahan. Uranium oksida ini kemudian disuntikkan dan diperkaya melalui sentrifugal di reaktor Natanz.
Di bidang medis, para ilmuwan Iran telah memproduksi radioisotop untuk pengobatan berbagai penyakit. Di bidang industri dan laser, mereka mencapai kemajuan yang signifikan dan prestasi ini sangat membantu pengembangan industri pertanian dan medis.
Kepala Badan Energi Atom Iran (AEOI), Ali Akbar Salehi dalam wawancara dengan Euronews pada 27 November 2018, mengatakan, "Kami tidak pernah mencari bom nuklir, ini adalah sebuah fatwa, sebuah fatwa negara. Kami telah melewati tahapan (pembangunan) infrastruktur industri nuklir di semua bidang mulai dari siklus bahan bakar, desain reaktor riset sampai pembangunan peralatan yang terkait dengan industri nuklir."
"Kami benar-benar sebuah negara nuklir. Tentu saja, kami bukan sebuah negara nuklir canggih seperti Jerman, Amerika, dan Rusia, tetapi kami memiliki semua potensi yang dibutuhkan dalam industri nuklir," tambahnya.
Salehi lebih lanjut menjelaskan, "Kami menerima serangkaian pembatasan secara sukarela dalam kesepakatan nuklir (JCPOA). Kami mengatakan, selama beberapa tahun, kami tidak akan meningkatkan jumlah produksi uranium melebihi dari 300 kilogram. Kami menerima pembatasan ini selama beberapa tahun, tetapi kami bisa mengangkatnya. Kami bisa menyimpan (produksi uranium) misalnya 300, 500, dan 600 kg atau sebanyak yang kita produksi. Pembatasan kami seperti ini (sukarela) dan kami dapat mengangkatnya dengan mudah."
Misalnya, lanjutnya, kami menerima untuk periode terbatas untuk tidak memperkaya uranium ke tingkat lebih dari 3,67 persen. Kita bisa menaikkannya lebih tinggi. Ketika Anda dapat melakukan pengayaan hingga 3,67 persen, Anda secara teknis dapat meningkatkannya dengan perubahan kecil dan cepat dan menaikannya menjadi 5% dan 20%, dan dapat meningkatkan ke level yang Anda inginkan.
Pada kesempatan itu, Salehi menegaskan, "Kami dapat kembali ke kondisi kita sebelumnya dan bahkan ke kondisi yang jauh lebih tinggi. IAEA sejauh ini mengkonfirmasi bahwa Iran melaksanakan komitmennya. Untuk saat ini, kami tidak melakukan apapun yang menyalahi kewajiban kami, tetapi jika keluar perintah bahwa kesepakatan nuklir telah berakhir, kami dapat dengan mudah kembali dan ini bukan gertakan."
"Pada 2009, kami ingin membeli uranium 20 persen, kami menulis surat kepada IAEA dan mereka menetapkan syarat dan ketentuan tertentu. Saya kemudian pergi menemui Mohamed ElBaradei (mantan Kepala Badan Energi Atom Internasional) dan berbicara dengannya. Tuan ElBaradei memperlihatkan surat tidak resmi yang ditulis oleh Amerika dan Rusia kepada saya.
"Mereka mengajukan banyak syarat dalam surat itu dan jika Anda memenuhi persyaratan ini, kami akan memberikan Anda 20 persen. Setelah kembali ke Iran, saya memberitahu presiden (Mahmoud Ahmadinejad) bahwa mereka menetapkan sejumlah syarat dan tidak akan memberikan uranium 20 persen kepada kita. Kita harus menyingsingkan lengan baju kita dan memproduksi 20 persen dan jika tidak, reaktor Tehran akan berhenti dan produksi radio isotop akan menghadapi masalah. Presiden berkata, 'Pergi dan lakukan itu.' Kami pun memulainya," ungkapnya.
Ali Akbar Salehi menuturkan bahwa ketika itu, mereka berkata bahwa Iran hanya menggertak dan tidak mampu memproduksi uranium 20 persen. Iran tidak mampu membangun lempengan bahan bakar 20 persen. Namun, kami melakukannya dalam waktu kurang dari dua tahun. Sekarang reaktor riset Tehran beroperasi dengan bahan bakar 20 persen.
Pada Januari 2019 lalu, Salehi mengumumkan bahwa Iran untuk pertama kalinya berhasil mendesain bahan bakar modern 20 persen. Reaktor riset Tehran yang sampai saat ini bekerja dengan bahan bakar lama, akan menggunakan bahan bakar 20 persen baru buatan ilmuwan Iran dan sesuai dengan standar bahan bakar canggih yang dapat meningkatkan produktivitas reaktor.
"Republik Islam Iran di bidang pengetahuan dan industri nuklir sudah maju sedemikian pesat sehingga mampu menggantikan rekayasa terbalik dengan merancang bahan bakar baru dan ini merupakan prestasi besar," jelas Salehi.
Kepala AEOI lebih lanjut menerangkan bahwa para ilmuwan nuklir Iran telah mampu memproduksi material FDG (fluorodeoxyglucose) yang dipakai dalam PET Scan (alat pindai). Bahan dasar untuk FDG adalah Oksigen-18 dan oksigen ini kami produksi di reaktor nuklir Arak dengan kemurnian 95%.
"Jika tahap hidrolisis (proses pembelahan/penguraian ikatan kimia) selesai, Iran tidak perlu lagi mengimpor Oksigen-18 dengan harga 25 hingga 30 ribu dolar per kilo," ujarnya.
PET Scan adalah teknik pencitraan fungsional kedokteran nuklir yang digunakan untuk mengamati proses metabolisme dalam tubuh. Alat ini akan menghasilkan gambar warna tiga dimensi dari dalam tubuh manusia dan termasuk salah satu peralatan medis yang paling mahal untuk mendeteksi beberapa jenis kanker.
Semua kemajuan ini dicapai di tengah upaya maksimal AS untuk merusak Iran dan menghentikan program nuklir damainya. Dalam hal ini, Amerika dan rezim Zionis Israel meneror para ilmuwan nuklir Iran dan merancang virus Stuxnet untuk merusak kegiatan nuklir negara ini.
Bangsa Iran selama 40 tahun terakhir menunjukkan bahwa mereka tetap tangguh meskipun berada di bawah tekanan dan sanksi, dan mampu melewati semua rintangan yang diciptakan oleh Barat.
Sejarah ribuan tahun bangsa Iran mencatat bahwa bangsa ini tidak pernah menyerah dalam menghadapi badai dan tidak tunduk pada tekanan. (RM)