Sumber Ketegangan di Teluk Persia (1)
https://parstoday.ir/id/radio/other-i72617-sumber_ketegangan_di_teluk_persia_(1)
Sejumlah pejabat dan politisi dari berbagai negara dunia menyampaikan kekhawatiran atas meningkatnya ketegangan di wilayah Teluk Persia. Mereka bahkan memperingatkan tentang potensi pecahnya konflik militer.
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Aug 06, 2019 17:34 Asia/Jakarta
  • Sumber Ketegangan di Teluk Persia (1)

Sejumlah pejabat dan politisi dari berbagai negara dunia menyampaikan kekhawatiran atas meningkatnya ketegangan di wilayah Teluk Persia. Mereka bahkan memperingatkan tentang potensi pecahnya konflik militer.

Ketegangan ini tidak terjadi di antara negara-negara regional (meskipun Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak memiliki hubungan baik dengan Iran), dan ketegangan yang luar biasa ini juga tidak disebabkan oleh kebijakan mereka yang saling berseberangan.

Aktor utama pemicu ketegangan di Teluk Persia adalah Amerika Serikat di mana kebijakan-kebijakan anti-Iran telah melahirkan krisis di kawasan. Kondisi ini diperparah dengan keikutsertaan Inggris dalam melawan Iran.

Pemerintah AS memperkuat kebijakan melawan Republik Islam Iran sejak Mei 2018. Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir JCPOA pada 8 Mei 2018 dan kemudian mengembalikan sanksi nuklir terhadap Tehran.

Menurut Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, AS sedang mengambil posisi tempur, tetapi di bidang ekonomi. AS ingin membuat ekonomi Iran seperti Venezuela, menciptakan bentrokan antara warga dan negara, dan pada akhirnya menumbangkan sistem Republik Islam Iran.

Setelah berjalan satu tahun, perekonomian Iran tidak runtuh dalam menghadapi perang ekonomi AS. Strategi perlawanan maksimum yang diadopsi Iran telah menggagalkan perang ekonomi AS.

Langkah kedua AS adalah memasukkan nama Korps Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran) dalam daftar organisasi teroris. Perang psikologi terhadap Tehran ditingkatkan dengan menyanksi Ayatullah Khamenei dan para pejabat yang diangkat olehnya.

Tidak hanya itu, AS menghapus pengecualian sanksi untuk delapan negara importir minyak Iran dengan tujuan menekan penjualan minyak negara ini ke titik nol.

Pemerintah AS mengerahkan kapal induk, USS Abraham Lincoln dan bomber strategis B-52 ke kawasan, dan kemudian juga mengirim USS Boxer ke Teluk Persia. Pengiriman armada tempur ini diharapkan akan menimbulkan pukulan baru bagi perekonomian Iran.

Namun, Trump berulang kali membantah akan berperang dengan Iran. Ketika menjawab pertanyaan presenter Fox News tentang apakah Anda bisa memastikan bahwa Anda tidak akan berperang dengan Iran? Trump kembali berkata, “Saya tidak ingin berperang. Jika saya ingin menyerang, ini akan bersifat serangan ekonomi.”

Republik Islam Iran dalam menghadapi kebijakan bermusuhan AS, mengambil kebijakan “kesabaran strategis” selama satu tahun lalu. Setelah terbukti ketahanan ekonomi Iran dalam menghadapi perang ekonomi AS dan juga kecewa dengan janji-janji Eropa, Tehran mulai menjalankan kebijakan “perlawanan maksimum” di hadapan Washington dan sekaligus mengambil strategi “tekanan maksimum” di hadapan Eropa.

Para pejabat Iran mengumumkan pengurangan komitmen kesepakatan nuklir.

Dalam menghadapi premanisme dan unilateralisme AS dan Barat, Iran telah memilih cara yang paling tepat yaitu strategi perlawanan aktif, seperti yang pernah disampaikan oleh Ayatullah Khamenei.

Salah satu komponen dari strategi perlawanan aktif adalah kekuatan pencegahan. Setiap negara harus memanfaatkan keunggulan relatifnya secara maksimal untuk menciptakan kekuatan pencegahan.

Keunggulan relatif Republik Islam Iran dapat dilihat dalam beberapa hal berikut: kemampuan untuk memulihkan program nuklirnya, kemampuan pertahanan, posisi strategis di kawasan, dan posisi istimewa geopolitik dengan garis pantai yang panjang di Teluk Persia, serta memiliki kontrol atas Selat Hormuz.

Sejak Mei 2019, dunia menyaksikan langkah-langkah mendasar yang diambil Republik Islam Iran, termasuk mengurangi komitmennya di bawah kesepakatan nuklir, menembak jatuh drone pengintai AS yang menerobos wilayahnya, dan menyita kapal tanker minyak Inggris.

Setelah AS keluar dari JCPOA pada 8 Mei 2018 dan mengembalikan sanksi-sanksi sekunder, Republik Islam memilih kesabaran strategis dan tetap memenuhi kewajibannya. Tehran ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pihaknya mematuhi komitmennya dalam hukum internasional, sementara Washington telah melanggar kewajibannya.

Di sisi lain, Iran berusaha mengurangi dampak sanksi sekunder dengan memperluas kerja sama bilateral atau multilateral dengan negara lain, termasuk anggota yang tersisa dalam JCPOA. Namun, tuntutan Iran tidak terpenuhi melalui kesabaran strategis ini, karena AS terus meningkatkan tekanan ekonomi dan Eropa juga mengabaikan janji-janjinya.

Dalam kondisi seperti itu, Republik Islam mengubah strateginya dan berdasarkan keputusan Dewan Tinggi Keamanan Nasional, Iran mengadopsi strategi "tindakan balasan" sebagai ganti dari kesabaran strategis dalam menghadapi AS dan Eropa.

Sebagai langkah pertama, Iran mengurangi komitmen nuklirnya berdasarkan Pasal 26 dan 36 JCPOA, yang memungkinkannya mengambil tindakan balasan tanpa dicap melanggar kesepakatan. Tehran mengumumkan bahwa mulai hari ini, cadangan uranium akan melewati batas 300 kilogram dan cadangan air berat (di atas 130 ton) tidak akan dikirim ke luar negeri.

Setelah Eropa mengabaikan ultimatum 60 hari, Iran mengambil langkah kedua dengan meningkatkan pengayaan uranium dari kemurnian 3,67 persen ke tingkat 4,5 persen. Dengan langkah-langkah ini, Iran mengubah aturan main dan meninggalkan strategi bertahan.

Pasdaran Iran memamerkan puing-puing drone Global Hawk milik AS yang ditembak jatuh.

Jadi, alasan utama Iran mengurangi komitmen JCPOA merupakan jawaban terhadap tindakan ilegal Trump dalam hubungannya dengan Iran dan sikap tidak konsisten Eropa.

Troika Eropa (Inggris, Prancis, dan Jerman) menunda-nunda pemenuhan komitmen mereka dalam JCPOA dan berusaha mencegah Iran untuk mengambil aksi balasan. Pada dasarnya, Eropa sedang membuka ruang kepada AS untuk melaksanakan kebijakan tekanan maksimumnya terhadap Iran.

Dalam langkah kedua ini, Republik Islam bahkan membuktikan kemampuan tinggi pertahanannya dalam menghadapi ancaman perang oleh AS. Korps Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran) menembak jatuh drone Global Hawk, pesawat pengintai yang paling canggih milik AS.

Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif dalam sebuah tweet menulis, "Amerika Serikat meluncurkan terorisme ekonomi terhadap Iran, melakukan tindakan terselubung terhadap kami, dan sekarang menerobos wilayah kami. Kami tidak mencari perang, tetapi kami akan membela wilayah udara, darat, dan perairan kami dengan penuh semangat."

Presiden Trump dalam menanggapi insiden itu, tiga kali mengulangi kalimat bahwa Iran membuat kesalahan besar. Dalam sebuah tweet, ia untuk keempat kalinya mengatakan Iran telah membuat kesalahan yang sangat besar.

Di tengah gencarnya pemberitaan tentang kemungkinan serangan terbatas militer AS ke Iran, Trump hanya beberapa jam kemudian mengklaim bahwa ia telah membatalkan rencana serangan hanya 10 menit sebelum dimulai. Menurut klaim Trump, rencana itu dihentikan karena 150 orang Iran akan terbunuh.

Namun, faktanya adalah bahwa kemampuan rudal Iran, kekuatan besar kelompok-kelompok sekutu Iran di kawasan, posisi rentan sekutu AS khususnya Uni Emirat Arab dan Israel, serta kekhawatiran Trump tentang nasibnya dalam pilpres AS, telah mencegah serangan militer ke Iran.

Televisi CNN menyatakan bahwa jika AS menyerang Iran, Trump akan menelan kekalahan dalam pemilu, dan jika serangan tidak dilakukan, AS akan kehilangan harga diri. (RM)