Menelusuri Akar Kerusuhan di Irak
Irak kembali dilanda protes anti-pemerintah dan aksi ini telah berubah menjadi kekerasan seperti tahun sebelumnya. Kementerian Kesehatan Irak menyatakan lebih dari 100 orang tewas dan lebih dari 6.000 lainnya terluka.
Aksi protes warga Basrah pada September 2018 dan pembakaran Konsulat Iran di kota itu, merupakan salah satu demonstrasi yang paling besar di Irak. Namun, ada perbedaan mencolok antara protes 2019 dan demonstrasi di tahun-tahun sebelumnya.
Protes kali ini di Irak sudah memakan korban yang sangat besar yaitu lebih dari 100 orang tewas dan lebih dari 6.000 lainnya terluka. Aksi tahun sebelumnya terjadi karena ada seruan dari kelompok politik Irak seperti Gerakan Sadr, tetapi kali ini tidak ada kubu politik yang mengeluarkan seruan turun ke jalan dan bahkan Moqtada al-Sadr meminta demonstran untuk menjaga ketenangan.
Perbedaan lain adalah bahwa para demonstran mengeluarkan slogan-slogan menentang otoritas keagamaan Irak. Padahal, otoritas keagamaan sangat dihormati oleh rakyat Irak dan ketika Ayatullah Sayid Ali Sistani mengeluarkan fatwa pembentukan pasukan relawan rakyat pada 2014, para pemuda Irak menyambut antusias fatwa tersebut. Otoritas keagamaan Irak juga selalu mendukung tuntutan dan kepentingan rakyat.
Perbedaan lain adalah bahwa dalam protes baru-baru ini, para pengunjuk rasa meneriakkan slogan al-Sha'b Yurid Isqat al-Nizam (rakyat menghendaki rezim turun). Padahal, slogan itu biasanya digunakan di negara-negara dengan sistem diktator, bukan di Irak yang melaksanakan pemilu parlemen tepat waktu. Rakyat Irak memilih wakil rakyat tiap empat tahun sekali dan parlemen kemudian memilih presiden dan perdana menteri.
Para demonstran menuntut pemilu parlemen baru dan pembubaran pemerintah, yang baru berkuasa kurang dari satu tahun. Perdana Menteri Irak Adil Abdul-Mahdi mengatakan kepada demonstran bahwa rakyat berhak untuk menuntut perang anti-korupsi, tetapi reformasi membutuhkan waktu.
Penyebab Pecahnya Protes di Irak
Faktor utama munculnya aksi protes di Irak adalah karena ketidakpuasan rakyat. Mereka kecewa dengan kondisi ekonomi dan sosial di negaranya, mengingat Irak adalah salah satu negara Arab terkaya dengan cadangan minyak terbesar kedua di dunia, dan ekspor minyak negara itu mencapai 3,6 juta barel per hari.
Menurut beberapa data, angka pengangguran di kalangan sarjana Irak tercatat lebih dari 40 persen. Mayoritas demonstran yang turun ke jalan juga berasal dari kalangan sarjana. Sebelum aksi protes Oktober 2019, sekelompok lulusan pascasarjana dan doktor yang menganggur melakukan aksi mogok di depan Kementerian Pendidikan Tinggi Irak selama 50 hari.
Selain itu rakyat Irak sangat kecewa dengan layanan sosial yang buruk. Masyarakat tidak memiliki akses listrik selama berjam-jam per hari, pelayanan kesehatan buruk, dan mereka juga sulit mendapatkan akses ke air bersih.
Faktor lain adalah maraknya korupsi di Irak. Korupsi telah menjadi fenomena yang merajalela di Irak dan banyak dari anggaran pemerintah raib di tengah jalan tanpa bisa dinikmati oleh rakyat.
Saat ini, pemerintah Irak menjanjikan layanan kesejahteraan dan perekrutan kaum muda di lembaga-lembaga pemerintah, di mana sekarang menghabiskan dana sekitar 51 miliar dolar per tahun untuk membayar gaji pegawai. Jumlah pembayaran kepada pegawai ini telah menguras anggaran untuk program konstruksi dan menurunkan kualitas layanan sosial bagi rakyat Irak.
Lalu, mengapa protes damai di Irak berubah menjadi kerusuhan dan kekerasan?
Di tingkat internal, masyarakat Irak tidak memiliki kohesivitas yang kuat dan kondisi ini membuat Irak menjadi sebuah negara yang rawan konflik sosial dan kerusuhan. Kelemahan ini bahkan dimanfaatkan oleh teroris Daesh untuk mendirikan kekhalifahannya di Irak.
Di sisi lain, sisa-sisa rezim Ba'ath dan Gerakan al-Sarkhiyah yang didukung oleh negara asing, aktif melakukan kegiatan di berbagai daerah Irak. Mereka memprovokasi pemuda untuk melawan pemerintah dan melakukan aksi perusakan. Para penyusup inilah yang membuat protes damai di Irak berubah menjadi kekerasan.
Kekerasan jalanan juga muncul karena campur tangan dari tiga poros Arab Saudi, Amerika Serikat, dan rezim Zionis Israel.
Tagar dengan konten kebangkitan Irak tersebar di media sosial dan setelah ditelusuri, ditemukan bahwa 79 persen dari tweet tagar itu berasal dari wilayah Arab Saudi dan dilakukan oleh akun-akun robot. Jadi, para pengarah akun-akun ini memainkan peran penting dalam memperbesar protes di Irak dan memprovokasi aksi damai ini menjadi kekerasan. Sejumlah besar pasukan AS masih berada di Irak, dan beberapa sumber melaporkan bahwa pasukan ini ikut mendorong protes damai ke arah kekerasan.
Ada beberapa alasan bagi aktor asing untuk campur tangan dalam protes damai di Irak. Mereka tidak senang dengan kebijakan independen yang diadopsi oleh pemerintah Baghdad. Pemerintahan Irak di bawah pimpinan Adil Abdul-Mahdi ingin mewujudkan kemandirian dalam kebijakan luar negeri dan menolak intervensi asing.
Oleh karena itu, pemerintah Irak tidak mengikuti sanksi AS terhadap Iran, tidak bergabung dengan koalisi maritim pimpinan AS, dan membuka kembali perbatasan al-Qaim di perbatasan Irak-Suriah.
Setelah markas Hashd al-Shaabi diserang secara misterius, pemerintah Irak berusaha membeli peralatan militer dari Rusia, termasuk sistem pertahanan udara S-300 dan S-400. Penasihat Keamanan Nasional Irak, Faleh Fayyad bahkan telah melakukan kunjungan ke Moskow.
Mantan Duta Besar Iran untuk Inggris, Sayid Jalal Sadatian mengatakan, "Pelayanan di berbagai daerah dan masyarakat memang tidak bagus, tetapi kelompok-kelompok internal dan aktor asing memanfaatkan situasi ini dan pada titik ini, aktor asing meningkatkan keterlibatannya."
Pemerintah Irak secara resmi menyalahkan Israel sebagai pelaku serangan ke markas pasukan Hashd al-Shaabi. Tim investigasi Irak telah melakukan penyelidikan dan menemukan bukti-bukti tentang keterlibatan rezim Zionis dalam serangan itu. Hashd al-Shaabi kemudian memperingatkan Israel akan serangan pembalasan.
Setelah pengumuman ini, pemerintah Baghdad menghadapi tekanan dari luar dan tekanan ini untuk mempengaruhi posisi kelompok-kelompok perlawanan. Protes Irak terjadi bersamaan dengan kekalahan beruntun Arab Saudi dalam perang Yaman dan keberhasilan tentara Suriah dalam operasi pembebasan Idlib.
Poros Arab-Zionis-Barat memandang kemenangan poros perlawanan tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai kemenangan Republik Islam Iran yang memimpin poros tersebut. Oleh karena itu, Irak dipilih untuk menyulut perpecahan dan memperlemah dukungan negara itu untuk poros perlawanan, karena Irak memiliki hubungan yang dekat dengan Iran, dan Hashd al-Shaabi cukup disegani di negara tersebut.
Untuk itu, slogan-slogan anti-Iran dan anti-Hashd al-Shaabi ikut disuarakan dalam protes terbaru di Irak.
Aksi protes di Irak juga dilakukan bersamaan dengan dimulainya pawai akbar Arbain. Pawai Arbain adalah salah satu perkumpulan umat terbesar atas dasar mazhab. Pawai ini dianggap sebagai kekuatan lunak poros perlawanan di Asia Barat (Timur Tengah), di mana jumlah pesertanya terus bertambah setiap tahun. Protes yang disertai kekerasan ini juga bertujuan untuk menggagalkan pelaksanaan pawai Arbain tahun ini.
Meskipun protes ini sudah mereda setelah pemerintah Irak membuat beberapa keputusan, namun ia tidak akan menjadi aksi protes yang terakhir, demonstrasi seperti ini berpeluang terjadi kembali dan tentu saja dengan campur tangan asing. (RM)