Manusia dan Lingkungan Hidup
-
Lingkungan hidup
Sekitar 48 tahun yang lalu, PBB untuk pertama kalinya menggelar konferensi tentang "Manusia dan Lingkungan Hidup" di Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Bertepatan dengan konferensi tersebut, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mengarah pada pembentukan Program Lingkungan PBB, UNEP.
Sejak itu, PBB, dengan persetujuan para pemimpin dunia menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai lingkungan dan mencegah kehancurannya.

Lingkungan adalah seperangkat faktor fisik eksternal dan makhluk hidup serta semua lingkungan tempat kehidupan mengalir dan memengaruhi pertumbuhan dan perilaku makhluknya. Dengan kata lain, lingkungan adalah kumpulan faktor alam di planet Bumi ini bersama manusia seperti: udara, air, atmosfer, tanaman, dan lainnya.
Semua faktor ini secara alami berinteraksi satu sama lain sebelum Revolusi Industri. Tetapi terjadi perubahan setelah terjadi Revolusi Industri yang ditandai kemajuan ilmiah, teknis, dan medis yang mengubah keadaan. Sejak abad kedelapan belas dan seterusnya, faktor-faktor seperti ekspansi pertanian dan ledakan populasi mempercepat perubahan lingkungan hidup. Meningkatnya perkembangan industri dan teknologi telah membawa kenyamanan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga membuat kehidupan manusia menjadi sulit dan memiliki konsekuensi yang merugikan, terutama polusi dan degradasi lingkungan.
Lahirnya berbagai industri penghasil polusi, dari peralatan dan otomotif, hingga air dan limbah berbahaya dihasilkan dari kehidupan mekanis manusia dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu yang paling penting dari polutan ini adalah peningkatan karbon dioksida di atmosfer bumi. Dalam waktu kurang dari dua abad, dengan bahan bakar fosil dan deforestasi, jumlah total karbon dioksida di atmosfer telah meningkat sebesar 25 persen.
Penelitian menunjukkan hampir 40 miliar ton gas karbon dioksida memasuki udara tahun lalu (2019). Selain karbon dioksida selama dua abad terakhir, meningkatnya gas seperti metana, uap air, dan nitrogen oksida di atmosfer Bumi, yang secara kolektif dikenal sebagai gas rumah kaca, juga telah menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global.
Mengingat pentingnya masalah ini, digelar KTT Perubahan Iklim ke-195 pada November 2015 di Paris, yang didikuti 195 negara peserta. Akhirnya, setelah 11 hari berdiskusi, mereka sepakat untuk mengeluarkan dokumen dalam mengatasi perubahan iklim. Sesuai dokumen itu, diprediksi suhu global rata-rata diperkirakan turun kurang dari dua derajat pada tahun 2050.
Perjanjian Paris yang bersejarah, yang mulai berlaku tahun ini (2020), adalah yang pertama dari jenisnya di dunia. Tetapi laporan PBB baru-baru ini menunjukkan, jika Perjanjian Iklim Paris diimplementasikan, dunia akan berada di jalur peningkatan suhu tiga derajat. Menurut para ilmuwan, iklim ini bisa tak tertahankan untuk tiga miliar orang pada tahun 2070. Jika gas rumah kaca tidak berkurang, suhu rata-rata harian di habitat sekelompok besar orang di seluruh dunia akan berada di atas 29 derajat Celcius yang berada di luar dari suhu yang diharapkan, sebagaimana telah dipergunakan manusia selama enam ribu tahun terakhir.

Menurut penelitian, kebanyakan orang di dunia tinggal di tempat-tempat di mana suhu rata-rata sekitar 11 hingga 15 derajat Celcius. Kelompok yang lebih kecil juga tinggal di daerah di mana suhu rata-rata adalah 20 hingga 25 derajat Celcius. Menurut laporan itu, Australia, India, Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian Timur Tengah diharapkan akan dimasukkan dalam kelompok itu.
Studi ini menimbulkan kekhawatiran tentang daerah miskin yang tidak mampu mengatasi kenaikan suhu global. Selain itu, para ahli atmosfer percaya bahwa ketika suhu Bumi naik, permukaan laut akan naik lebih dari satu meter pada tahun 2100. Para ahli ini menekankan bahwa permukaan laut naik lebih dari yang diperkirakan sebelumnya dan mungkin naik lebih dari satu meter pada akhir abad ini.
Para ilmuwan juga mengatakan pemanasan global dapat menyebabkan lebih banyak hujan, tetapi risiko kekeringan meningkat di musim panas dan di daerah yang jauh dari lautan. Potensi banjir akan semakin tinggi sebagai akibat dari badai dan naiknya permukaan laut. Tentu saja, pola-pola ini berbeda di setiap daerah. Masalahnya, egara-negara miskin yang memiliki lebih sedikit fasilitas untuk menghadapi peristiwa ini akan lebih berisiko tinggi. Perubahan iklim akan mengubah banyak habitat, oleh karena itu satwa liar tidak dapat beradaptasi dengan cepat sehingga banyak hewan akan punah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengatakan adanya peningkatan penyakit malaria, penyakit yang berhubungan dengan air yang tidak sehat dan kekurangan gizi yang membahayakan kehidupan banyak orang. Ketika jumlah karbon dioksida di atmosfer meningkat, lautan menyerap lebih banyak, menjadikannya lebih asam. Ini membahayakan kehidupan terumbu karang dan membuatnya sulit untuk membangun kerangka kalsit. Pemerhati lingkungan percaya bahwa hanya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, maka bencana ini dapat dicegah.
Namun, wabah virus Cavid-19 dalam beberapa bulan terakhir telah menciptakan kondisi yang tidak dapat diprediksi. Penelitian telah menunjukkan bahwa selama puncak wabah Covid-19 pada April 2020, emisi karbon harian dunia turun 17 persen menjadi 17 juta ton dibandingkan April tahun lalu. Kebijakan pemerintah untuk melakukan karantina umum di 69 negara telah menyebabkan penurunan produksi karbon dioksida sebesar 97 persen.
Penurunan 43 persen dalam emisi karbon dari transportasi darat telah memainkan peran besar dalam penurunan produksi karbon secara keseluruhan selama periode ini. Pengurangan emisi karbon dari industri dan pembangkit listrik menyumbang sekitar 43 persen dari 17 juta ton itu.
Meskipun karantina umum telah secara signifikan mengurangi konsumsi energi dan produksi karbon dioksida di dunia, tapi perubahan ini tidak akan berkelanjutan. Sebab pengurangan ini bukan hasil dari perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, transportasi atau sistem energi. Walaupun agak sulit untuk menilai efek corona dan setelahnya terhadap lingkungan, tidak bisa dipungkiri bahwa corona sebenarnya merupakan peringatan bagi semua manusia untuk memikirkan kembali cara menggunakan sumber daya alam ini.
Virus Corona mengingat kembali prinsip fundamental lbahwa sekarang adalah waktu untuk menghargai lingkungan, dan memperlakukan lingkungan dengan lebih baik dari tingkat individu, pemerintah hingga dunia.

Manusia saat ini perlu mengetahui bahwa melindungi lingkungan serta mengatasi perubahan iklim global dan pemanasan global bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan, karena diprediksi perubahan iklim dapat berlanjut hingga 2080, jika tren saat ini terus berlanjut. Setengah dari spesies tanaman dan lebih dari sepertiga spesies hewan yang hidup di bumi telah menghilang dan tidak ada jejak yang tersisa. dIni adalah fakta mengkhawatirkan yang mengancam masa depan umat manusia.
Itulah mengapa PBB mencanangkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (2020) dengan mengusung slogan "Waktu untuk Alam," yang berfokus pada keanekaragaman hayati untuk menarik lebih banyak perhatian pada satu juta spesies yang terancam punah. Konferensi dijadwalkan berlangsung pada Oktober 2020 di Kolombia, sebuah negara yang menyumbang 10 persen dari keanekaragaman hayati planet ini, tetapi ditunda pada 2021 karena epidemi Covid-19. Kini, sudah saatnya kita berpikir tentang alam dan lingkungan hidup.(PH)