Tekanan Maksimum AS dan Perlawanan Maksimum Iran (2)
-
Sanksi zalim terhadap Iran
Meski beragam kegagalan pemerintah Trump di pendekatan kampanye sanksi anti Iran, namun mengingat kian dekatnya waktu penyelenggaraan pemilu presiden 2020 di negara ini, kini Presiden Donald Trump yang tertinggal dari rivalnya, Joe Biden di berbagai jajak pendapat, mengerahkan berbagai upaya untuk meraih prestasi di dalam maupun luar negeri.
Di antara upaya tersebut adalah meningkatkan dan memperluas kampanye anti Irannya. Sanksi terbaru yang diterapkan pemerintah Trump terhadap Iran adalah Departemen Keuangan negara ini pada 8 Oktober 2020 menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran dan mensanksi 18 bank dan lembaga finansial Iran.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin seraya mengisyaratkan sanksi terhadap bank-bank Iran yang diklaim untuk mencegah akses Iran terhadap dolar melalui metode ilegal, menambahkan, bahwa sanksi akan terus dilanjutkan hingga Iran mengakhiri program nuklirnya. Langkah sanksi baru Departemen Keuangan AS menurut para pengamat telah membuat akses bank Iran ke sistem finansial global terputus.
Meski ada kekhawatiran di bidang ini bahwa sanksi tersebut akan membuat rakyat Iran semakin menderita, namun pemerintah Trump mengklaim bahwa pengecualian untuk transaksi perdagangan kemanusiaan tetap diterapkan. Tapi meski ada klaim ini, namun terlihat jelas bahwa alasan sejati sanksi baru ditujukan untuk mencegah dan menutup segala bentuk transaksi barang dan pembelian kebutuhan primer termasuk obat-obatan dan peralatan medis dari luat negeri dengan maksud meningkatkan represi terhadap bangsa Iran.
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Mohammad Javad Zarif menyebut sanksi baru AS terhadap bank-bank Iran sebagai upaya untuk menghancurkan kanal yang tersisa untuk membayar makanan dan obat-obatan di tengah pendemi Corona dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Setelah kegagalan Trump menyebarkan kampanye represi maksimum terhadap Tehran, Washington berusaha mencegah masuknya segala bentuk bantuan kemanusiaan ke Iran.
Sanksi ini belum pernah terjadi dan menunjukkan bahwa Washington kurang dari satu bulan dari penyelenggaraan pemilu presiden Amerika menghendaki meraih konsesi di isu Iran melalui represi sanksi sehingga Trump mampu memanfaatkannya di kampaye pemilu.
Melalui sanksi ini, Amerika ini pertama-tama ingin menutup kanal finansial yang digunakan Iran untuk transaksi global. Tujuan berikutnya pemerintah Trump adalah mencegah Joe Biden jika menang di pemilu bulan November kembali ke kesepakatan nuklir JCPOA.
Kurk Dorsey, dosen ilmu politik di Universitas New Hampshire mengatakan, Trump masih menginginkan untuk menunjukkan gambaran sikap kerasnya terkait Iran. Jika Biden menang di pemilu, pastinya Amerika Serikat akan kembali ke JCPOA atau dekat dengannya.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di statemennya seraya mengisyaratkan sanksi 18 bank dan lembaga finansial Iran mengatakan bahwa kampanye represi maksimum tehradap Iran akan tetap berlanjut hingga Iran ingin melakukan perundingan komprehensif. Padahal kebijakan represi maksimum AS terhadap Iran telah gagal dan langkah permusuhan pemerintah Trump terhadap Tehran ditujukan untuk menyeret Tehran ke meja perundingan dan tidak akan berhasil.
Trump menjanjikan bahwa dengan keluar dari JCPOA dan meluncurkan propaganda represi maskimun dapat memaksa Iran ke meja perundingan untuk meraih apa yang ia klaim sebagai kesepakatan lebih baik. Sementara itu, lebih dari dua tahun dari janji ini berlalu, Washington gagal mereliasaikan ambisinya tersebut dan dengan demikian Trump khususnya menjelang pemilu presiden, mendapat kritikan luas dari berbagai faksi dan kubu di Amerika. Kritikus Trump menudingnya tidak memiliki strategi terhadap Iran, meningkatkan tensi yang tak perlu dengan Tehran serta memisahkan Amerika dari sekutunya.
Sanksi baru AS, yang akan mempersulit Iran untuk menyediakan barang-barang kebutuhan dasar dan kemanusiaan di masa lalu, adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Hamid Baedinejad, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Inggris, menyebut sanksi baru AS sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan berkata: "Rezim AS tidak mengenal batas kejahatan terhadap rakyatnya sendiri dan orang lain."
Gedung Putih juga telah berulang kali menyatakan niatnya untuk menggulingkan Iran dengan meningkatkan sanksi terhadap rakyat Iran sebagai bagian dari strategi kemiskinan dan pemberontakan, dan dalam hal ini secara terbuka mendukung kerusuhan yang telah terjadi di Iran selama dua tahun terakhir dan menyerukan penyebaran kerusuhan.
Sekarang, dengan merebaknya Corona di Iran, Amerika Serikat mencoba memanfaatkan situasi ini dan telah meluncurkan perang psikologis dan propaganda skala besar melawan Tehran. Pemerintahan Trump juga menuduh pemerintah Iran memberikan informasi yang tidak akurat tentang jumlah kasus positif Corona dan korban, sementara pada saat yang sama meningkatkan kesiapannya untuk membantu Tehran melawan COVID-19. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah AS telah berulang kali dikritik karena mempersempit bidang perdagangan perusahaan farmasi dan makanan dengan Iran, serta mencegah bantuan kemanusiaan dikirim ke Iran pada saat krisis.
Menurut Sarah Leah Whitson, direktur Asia Barat HRW, petinggi pemerintah Trump mengklaim bahwa mereka berada di samping rakyat Iran, namun sistem sanksi luas Amerika tengah memberikan kerusakan terhadap kesehatan rakyat Iran termasuk akses ke obat-obatan yang sangat urgen.
Sanksi baru datang ketika pemerintahan Trump menghadapi kemunduran besar dalam memajukan kampanye anti-Iran di Dewan Keamanan PBB, meskipun ada perang psikologis dan propaganda yang meluas dan kompleks sejak 2019 untuk mencegah pencabutan sanksi senjata Iran, tapi Washington berulang kali mengalami kekalahan.
Dalam keadaan seperti itu, menjelang pemilihan presiden AS, Donald Trump akan mengambil tindakan apa pun untuk membuktikan dirinya sebagai pemenang kampanye ini, termasuk pengumuman sanksi baru terhadap Iran oleh pemerintahannya dengan dalih apa pun. Sebuah langkah yang sejatinya pertunjukan kekalahan Amerika terhadap Iran.
Amin Hoteit, penulis Lebanon dan pakar masalah strategis seraya menyebutkan berbagai faktor resistensi Iran terhadap AS mengatakan, faktor-faktor ini sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran telah membuat negara ini mampu menang di perang, blokade dan permainan regional serta internasional dan mempertanyakan citra Amerika sebagai kekuatan adi daya dunia.
Sementara itu, kajian realistis dan faktual atas kondisi Amerika saat ini dapat menguak kebingungan Gedung Putih.
Amerika Serikat tidak hanya kehilangan hegemoni globalnya, tetapi juga menghadapi tantangan ekonomi yang serius dan perpecahan sosial yang mendalam, diskriminasi rasial dan ekonomi di dalam negeri.Di arena internasional, 13 negara menentang Amerika Serikat di Dewan Keamanan. Tiga kali dalam waktu kurang dari sebulan adalah kejadian langka dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bahkan media-media Amerika termasuk Koran Washington Post menilai kebijakan Donald Trump sebuah kegagalan total.
Menjelang pemilihan presiden, Trump perlu mengklaim keberhasilan dalam masalah kebijakan luar negeri AS, termasuk Iran. Dia berusaha membuktikan dirinya sebagai pemenang pemilu ini dan juga telah mengklaim kesepakatan dengan Iran dalam waktu sebulan setelah kemenangannya. Presiden AS mengklaim dalam wawancara pada Senin, 12 Oktober bahwa jika dia memenangkan pemilu presiden 2020 dalam tempo satu bulan dia akan dapat meraih "kesepakatan luar biasa" dengan Iran.
Amerika Serikat tampaknya telah mencapai jalan buntu dalam kebijakannya terhadap Iran, sebagaimana dibuktikan oleh retorika naas dan keliru Trump, yang menurutnya mendominasi dunia. Di saat yang sama ketika menjatuhkan sanksi terberat terhadap Iran, Trump sesekali menyerukan pembicaraan dengan Tehran.
Namun, konsep negosiasinya adalah dialog di mana Washington mendikte tuntutannya kepada Teheran dan Iran menerimanya tanpa alasan apa pun. Wajar jika masalah ini tidak pernah diterima oleh Iran dan terus melakukan perlawanan maksimum terhadap kampanye tekanan maksimum AS. Mohammad ElBaradei, mantan direktur jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), menekankan bahwa kebijakan tekanan maksimum AS terhadap Iran tidak berhasil.
Bahkan pakar dan politisi senior AS telah menyadari bahwa meskipun ada klaim berulang oleh pejabat pemerintahan Trump, terutama Mike Pompeo, bahwa kampanye tekanan maksimum telah membuat situasi lebih sulit bagi Republik Islam Iran, dalam praktiknya Iran melawan represi ini dan pemerintahan Trump sekarang hampir terisolasi di dunia.
Menurut Alex Vatanka, Direktur Program Iran di West Asia Institute di Washington; Amerika sendirian di pendekatannya terkait Iran. Sementara Republik Islam Iran telah mengambil sikap yang jelas dan pasti saat merespon minat berulang pemerintah Trump untuk berunding dengan Iran.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam sebuah wawancara terkait syarat Tehran untuk berunding mengatakan, langkah pertama yang harus diambil AS adalah kembali ke JCPOA. Untuk proses kembali ini, Amerika harus memberi kompensasi kerugian kepada bangsa Iran juga langkah-langkahnya melemahkan kesepakatan nuklir. Selain itu, Iran berulang kali menyatakan bahwa Tehran sekedar patuh terhadap kesepakatan JCPOA dan tidak akan pernah tunduk pada tuntutan Washington terkait isu rudal, regional, HAM dan semisalnya.