Jun 21, 2016 09:50 Asia/Jakarta

Puasa sebagai sebuah perintah ilahi bukan hanya mendatangkan berkah spiritualitas yang melimpah, melainkan juga memiliki pengaruh hidayah bagi manusia. Puasa memainkan peran dalam pembimbingan remaja. Karena amal ibadah ini merupakan sarana terbaik bagi remaja untuk mengontrol sensasi hebat yang bergolak dalam dirinya.

Doktor Dovlatyar Bastani, seorang psikilog dan dosen mengatakan, “Secara keseluruhan, puasa adalah sebuah sistem kontrol yang mengajarkan seseorang bagaimana caranya menangguhkan tuntutan mereka sehingga ketika merasakan gejolak dan sensasi, dia dapat mengontrol pemikiran dan tuntutan yang meledak-ledak, serta memiliki perilaku tenang dan pasti.

 

Salah satu pengaruh positif puasa di bidang sosial adalah melatih diri menghormati undang-undang dan pihak lain dalam masyarakat. Di sisi lain, memiliki kesabaran dalam menyikapi perilaku dan ungkapan orang lain, adalah termasuk di antara prinsip utama dalam hubungan sosial yang konstruktif. Puasa termasuk di antara amal ibadah yang memperkokoh kesabaran dalam diri manusia.

 

Dalam masyarakat yang memperhatikan puasa sebagai sebuah kewajiban agama, masing-masing individu dalam masyarakat itu berkomitmen untuk bersabar dan menghormati orang lain serta mereka akan menghindari segala bentuk perilaku yang mungkin dapat melukai atau mengganggu perasaan mereka yang berpuasa. Di dalam masyarakat yang berpuasa, semua orang menghormati hukum Allah Swt dan kemuliaan yang telah ditetapkan-Nya untuk bulan ini, dengan menghindari perilaku dan aksi bertentangan dengan etika dan agama.  Bahkan mereka yang sakit atau yang memiliki uzur untuk tidak berpuasa, mereka juga berkomitmen untuk menghormati bulan Ramadan.

 

Pada bulan Ramadan, yang dilakukan bukan hanya tidak makan dan minum, melainkan semua anggota tubuh manusia juga berpuasa. Puasa anggota tubuh manusia itu berarti menjaga dan mengontrol mereka khususnya lidah, mata dan telinga. Puasa adalah sebuah elemen pengontrol dan berlaku seperti polisi dalam jiwa manusia yang akan mengawasi perilakunya. Pada akhirnya hal ini akan menciptakan keamanan dan ketenangan dalam masyarakat.

 

Oleh karena itu dengan datangnya bulan Ramadan, nuansa dalam masyarakat akan kental dengan spiritualitas dan mempengaruhi setiap individu dalam masyarakat. Dalam nuansa seperti ini, kecenderungan dan faktor penyebab dosa, pelanggaran atau tindak kejahatan akan menurun drastik.

 

Termasuk di antara amalan mustahab di bulan Ramadan adalah menjamu buka puasa. Sesungguhnya dalam agama Islam telah ditekankan untuk menjamu tamu dan Allah Swt telah menjanjikan balasan yang besar dan mulia untuk amalan ini. Rasulullah Saw menilai kunjungan tamu sebagai karunia Allah Swt dan bersabda, “Kapan pun Allah Swt ingin menyampaikan kebaikan kepada sekelompok orang, maka Dia akan mengirim sebuah hadiah kepada mereka. Kemudian Rasulullah Saw ditanya apa maksud dari hadiah itu? Beliau menjawab, hadiah itu adalah tamu yang masuk dengan membawa berkah rejeki dan ketika pergi akan menghilangkan dosa-dosa keluarga itu (tuan rumah).” (Bihar al-Anwar jilid 75)

 

Imam Ja’far as-Sadiq as juga menyebutkan besarnya pahala mereka seseorang yang menjamu makan saudara mukminnya dan berkata, “Barang siapa memberi makan seorang mukmin hingga kenyang, maka tidak satu pun dari makhluk Allah Swt, tidak malaikat yang dekat dengan-Nya dan tidak pula para nabi yang mengetahui besarnya pahala tersebut di akhirat, kecuali Allah Swt.” (Usul Kafi jilid 2)

 

Oleh karena itu tidak ada amalan yang lebih mendekatkan seseorang dengan Allah Swt dibandingkan dengan menjamu iftar. Diriwayatkan, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang menjamu iftar seorang mukmin yang berpuasa, pahalanya di sisi Allah Swt sama seperti membebaskan seorang budak, dosa-dosanya di masa lalu akan diampuni. Kemudian para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, tidak semua dari kita yang mampu menjamu iftar kepada orang yang  berpuasa. Rasulullah menjawab, Allah Swt sedemikian Maha Pemurah sehingga bagi kalian yang tidak mampu kecuali dengan sedikit susu yang bercampur dengan air, atau air segar, atau beberapa biji kurma kepada orang yang berpuasa dan tidak dapat menginfakkan sesuatu lebih dari itu, maka Allah akan memberikan pahala tersebut.” (Man laa yahdhuruhu al-faqih, jilid 2)

 

Dorongan dan motivasi untuk menjamu iftar bertujuan memperkokoh keakraban dan persaudaraan dalam masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial. Dorongan dan motivasi tersebut juga sesungguhnya berlaku bagi dua pihak, baik yang mengundang dan yang diundang untuk menghadiri jamuan iftar. Rasulullah Saw bersabda, “Jauh dari etika... jika seseorang diundang pada jamuan dan tidak menerima undangan tersebut atau menerimanya dan tidak makan.”

 

Imam Hassan al-Mujtaba as menunjukkan tekad besar dalam membantu kaum fakir miskin, dan selama masa hidupnya, beliau dua kali memberikan seluruh hartanya dan tiga kali memberikan separuh hartanya kepada fakir miskin. Diriwayatkan bahwa Imam Hassan as tidak melepas seorang fakir pun kecuali telah menyenangkan hatinya. Ketika beliau ditanya, “Bagaimana mungkin kau tidak pernah menolak satu pengemis pun?” Imam menjawab, “Aku sendiri adalah pengemis dihadapan Allah Swt dan merindukan-Nya. Aku malu jika aku sendiri adalah peminta dan aku menolak pengemis. Allah Swt telah terbiasa untuk melimpahkan nikmat-nikmat-Nya kepadaku dan aku pun di hadapannya terbiasa untuk memperhatikan masyarakat dan memberikan nikmat-nikmat-Nya kepada mereka.”

 

Dalam sejarah disebutkan, Imam Hassan as dan Imam Hussein as, bersama sepupu mereka Abdullah bin Jafar bergerak menuju kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah perjalanan, mengingat konvoi mereka telah lebih dahulu bergerak, ketiganya merasa kehausan dan kelaparan. Di tengah padang pasir yang panas itu, mereka melihat sebuah tenda dan di dalamnya hanya ada seorang perempuan tua. Mereka mendekat dan meminta air dan makanan dari perempuan tua itu.

 

Perempuan tua yang berjiwa dermawan itu, menyeret sebuah kambing yang merupakan satu-satunya kekayaan yang dia miliki dan berkata; “Peraslah susunya dan minumlah, dan aku bersumpah kepada Allah Swt atas kalian untuk menyembelihnya, sampai aku pergi dan mengumpulkan kayu bakar untuk memasaknya.” Mereka kemudian menyembelih kambing itu dan memasak makanan dan memakannya. Kemudian mereka berterima kasih kepada perempuan itu dan berkata, “Kami dari kaum Quraisy dan dalam perjalanan haji. Ketika kau ke Madinah datanglah pada kami agar kami dapat membalas budimu”. Kemudian ketiganya melanjutkan perjalanan.

 

Waktu berlalu dan terjadi musim kering. Mereka yang tinggal di wilayah-wilayah pinggiran pindah ke kota. Perempuan tua itu bersama suaminya datang ke Madinah dan karena mereka tidak memiliki pekerjaan, mereka mengumpulkan kotoran onta dan menjualnya. Pada suatu hari Imam Hassan as sedang berdiri di samping rumahnya dan melihat perempuan tua itu melintas. Imam Hassan mengenali perempuan itu dan mengatakan, “Wahai hamba Allah! Apakah kau mengenaliku?” Perempuan itu menggelengkan kepala. Imam berkata, “Aku adalah satu dari dari tamumu yang pada tahun ini datang ke tendamu. Namaku adalah Hassan bin Ali.” Perempuan itu mendadak gembira dan berkata, “Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu! Anda adalah Imam Hassan dan aku tidak mengenali Anda.” Kemudian Imam Hassan as berterima kasih atas jamuan perempuan itu dan memerintahkan pembantunya untuk membeli 1.000 kambing dan memberikan kepada perempuan itu bersama seribu dinar. Imam Hassan as juga menyuruh perempuan itu pergi mendatangi Imam Hussein as yang juga memberikan jumlah yang sama. Imam Hussein juga menyuruh perempuan itu menemui Abdullah bin Ja’far (suami Sayyidah Zainab as). Abdullah melakukan hal yang sama dan bahkan jumlah yang sama seperti pemberian Imam Hassan dan Hussein as.