Tujuan AS Menduduki Afghanistan (9)
Intervensi militer AS selama 20 tahun di Afghanistan dan dampaknya yang memicu Taliban kembali dapat berkuasa di negara ini membutuhkan analisa berbagai masalah sehingga peran sejati AS di kasus ini semakin jelas.
Mayoritas milisi Taliban dan anggota utamanya adalah kelompok pemuda Pashtu dan kelompok bawah serta miskin di masyarakat Afghanistan. Taliban pada tahun 2001 diserang pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat dan kemudian pemerintahannya ditumbangkan. Tapi di tahun 2005, milisi ini mampu memulihkan diri dan memperluas berbagai operasinya di berbagai wilayah Afghanistan.
Motif utama milisi Taliban yang diumumkan kepada publik adalah memerangi dan jihad melawan pasukan asing yang menduduki Afghanistan. Menurut perspektif Taliban, nilai-nilai liberalisme tidak selaras dengan nilai-nilai Islam; Oleh karena itu, mereka menolak masalah ini. Dari sudut pandang Taliban, pemerintahan Hamid Karzai dan Mohammad Ashraf Ghani adalah simbol liberalisme Barat dan bertentangan denagn nilai-nilai Islam.
Solusi yang dipilih Taliban adalah Jihad Fi Sabilillah (Jihad dijalan Tuhan). Taliban menganggap dirinya menerima mandat dan diperintah untuk menegakkan agama Tuhan dan hukum serta nilai-nilai mazhab Ahlu Sunnah Hanafi di Afghanistan dan keyakinan ini sangat kuat di antara mereka. Taliban dengan memanfaatkan dukungan etnis Pashtu dan menggunakan ideologi jihad, pendapatan dari penyelundupan dan juga dukungan langsung serta tidak langsung Pakistan dan Arab Saudi, kembali muncul di Afghanistan pada tahun 2005.
Taliban selama dua dekade senantiasa menyatakan menentang kehadiran Amerika di Afghanistan dan menolak legalistas pemerintah di Kabul yang berkuasa dengan dukungan dan di bawah bayang-bayang kehadiran pasukan asing. Oleh karena itu, melawan pasukan asing dan pemerintah Afghanistan menjadi agenda kerja milisi Taliban.
Pir Mohammad Molazehi pakar masalah Afghanistan terkait ideologi Taliban dalam melawan Amerika sebelum menemukan kembali kekuatannya di Afghanistan pada September 2021 mengatakan, Taliban percaya bahwa mereka berperang melawan orang-orang yang telah menduduki negara mereka; Karena itu, mereka tidak menerima negosiasi dengan pemerintah Kabul saat itu, tetapi mereka ingin bernegosiasi dengan Amerika yang kafir menurut mereka, karena Amerika Serikat telah menduduki negara mereka. Isu ini memiliki justifikasi Al-Qur'an yang kuat bagi umat Islam. Dari sudut pandang Islam, pembenaran masalah ini adalah "penyangkalan jalan kekafiran". Taliban percaya bahwa sama seperti mereka berperang dengan orang-orang kafir Rusia dan mengalahkan orang-orang kafir setelah Rusia memasuki Afghanistan, dengan pendudukan Afghanistan oleh Amerika dan sekutunya, mereka akan mengalahkan Amerika Serikat dan bahkan jika mereka kalah perang dengan Amerika, mereka akan menunaikan kewajiban agamanya, dan giliran generasi penerus yang melanjutkan perlawanan ini.
Salah satu masalah terpenting yang selalu ada di Afghanistan selama dua puluh tahun pendudukan adalah adanya pemerintahan yang lemah dan tidak efisien di Kabul. Meskipun pada KTT Bonn (Desember 2001) dengan tujuan untuk membangun sistem politik baru Afghanistan, demokrasi dan partisipasi proporsional dari semua kelompok etnis dan kelompok politik Afghanistan ditekankan sejak awal, tetapi mengingat etnis struktur negara, etnis Pashtu tidak mengharapkan partisipasi etnis Tajik, Uzbek, Hazara dan kelompok etnis lainnyadi posisi yang berpengaruh.
Dalam hal ini, perbedaan yang disebabkan oleh kecurangan dalam pemilihan presiden 2009 antara Hamid Karzai dan Abdullah Abdullah dan pemilihan 2014 dan 2019 antara Mohammad Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah selalu menjadi bagian integral dari arena politik Afghanistan dan dalam beberapa hal legitimasi pemerintah Afghanistan semakin pudar.
Meskipun perbedaan ini tampaknya diselesaikan dengan intervensi Amerika Serikat dan dengan memberikan posisi kelas dua kepada non-Pashtu, tetapi dengan tujuan intervensi jangka panjang Amerika Serikat di Afghanistan, mereka selalu tetap dalam bentuk tulang dalam luka dan menghalangi terbentuknya pemerintahan yang bersatu dan padu dalam arti yang sebenarnya di negeri ini. Selama beberapa tahun terakhir, Taliban selalu menyebut pemerintah Kabul sebagai boneka, menekankan bahwa pemerintah ini tidak memiliki legitimasi dan dipaksakan pada warga Afghanistan oleh penjajah. Untuk itu, seiring dengan diangkatnya isu pembicaraan damai dengan Taliban, kelompok ini berulang kali menekankan keengganannya untuk berunding dengan pemerintah Kabul dan menyatakan bahwa pemerintah bukanlah wakil rakyat Afghanistan yang sebenarnya.
Karena oposisi dari Taliban dan juga keengganan Amerika Serikat, dalam 11 putaran negosiasi resmi antara Amerika Serikat dan Taliban, pemerintah Afghanistan saat itu tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Sementara pemerintah Afghanistan adalah salah satu dari dua sisi perang di negara itu. Dengan kata lain, ketika Amerika Serikat memutuskan untuk bernegosiasi dengan Taliban, terlepas dari desakan pemerintah Kabul untuk berpartisipasi dalam pembicaraan, Washington menyerah pada permintaan Taliban dan mengadakan pembicaraan dengan kelompok ini tanpa kehadiran perwakilan pemerintah Kabul. Akhirnya, dengan tidak adanya pemerintah Afghanistan, Amerika menandatangani perjanjian damai dengan Taliban. Menurut perjanjian damai Doha, diputuskan bahwa AS akan menarik diri dari Afghanistan.
Penandatanganan perjanjian damai antara Taliban dan Amerika Serikat memberikan keyakinan kepada Taliban bahwa begitu mereka mampu mengalahkan pasukan asing dan memaksa mereka pergi, mereka tidak lagi memiliki alasan duduk di meja perundingan dengan pemerintah Kabul, yang di mata mereka, adalah boneka Amerika Serikat. Dengan ditandatanganinya perjanjian damai AS dengan Taliban, bobot dan legitimasi kelompok ini meningkat di hadapan pemerintah Kabul dan gerakan Afghanistan lainnya.
Mengingat pemerintah Afghanistan berkuasa dari 2001 hingga 2021, di bawah bayang-bayang bantuan politik dan keuangan dari negara-negara asing, terutama Amerika Serikat, selama 20 tahun tersebut, pemerintah sangat bergantung pada Washington. Pada awal tahun 2021, dengan merebaknya serangan Taliban di wilayah utara, pejabat pemerintah Kabul melakukan perjalanan ke Amerika Serikat lagi dan menunggu bantuan Gedung Putih sementara pasukan keamanan terlibat dengan Taliban di beberapa kota. Sementara Amerika telah menunjukkan dalam praktiknya bahwa ia bersedia mengorbankan pemerintahan rapuh yang berkuasa di Kabul demi mengamankan kepentingannya. Pemerintahan Biden mengumumkan rencana untuk membentuk pemerintahan perdamaian transisi pada Maret 2021 oleh Departemen Luar Negeri AS kepada pemerintah Afghanistan.
Penyampaian rencana ini dan penekanan Amerika pada penarikan pasukannya ditujukan untuk melemahkan pemerintah pusat dalam pembicaraan damai dengan Taliban. Tujuan Amerika Serikat dalam mempresentasikan rencana ini diumumkan untuk mempercepat proses pembicaraan damai Afghanistan sehingga Taliban dan pemerintah Afghanistan mencapai kesepakatan berdasarkan itu. Ashraf Ghani, mantan presiden Afghanistan, yang mendukung pembentukan pemerintahan kemitraan perdamaian dengan masuknya perwakilan Taliban, menafsirkan rencana Amerika ini sebagai akhir dari kehidupan pemerintahannya dan menentangnya.
Taliban yang tidak pernah menunjukkan minat sejati untuk berunding dengan pejabat pemerintah Kabul, menolak menyelesaikan pembicaraan damai dengan pemerintah. Pada akhirnya, Taliban dengan menguasai Kabul menunjukkan bahwa dirinya adalah pemain unggul dan pemenang di pentas politik dan militer negara ini, serta tidak ada alasan untuk memberi konsesi kepada pemerintahan sebelumnya dalam koridor perundingan damai.
Kekuatan militer, ideologi, kesukuan dan finansial Taliban di bawah bantuan negara-negara yang mendukung milisi ini, secara bertahap meyakinkan Amerika bahwa mereka tidak dapat dihapus dari pentas politik dan militer Afghanistan, tapi harus harus diakui Barat sebagai pihak yang menang untuk menemukan jalan keluar dari krisis perang. Hal ini terlaksana khususnya setelah penandatanganan kesepakatan damai Doha antara Taliban dan Amerika pada Maret 2020, dan isu legitimasi internasional yang dicari kelompok ini selain kekuatan politik dan militernya di dalam Afganistan tercapai.
Dengan larinya Ashraf Ghani, mantan presiden Afghanistan dari Kabul, secara resmi Taliban merebut kekuasaan pada 15 Agustus 2021 tanpa perlawanan dari rakyat dan dengan mudah merebut Kabul.