Mari Mengenal Lingkungan (13)
Reklamasi daratan atau yang kerap disebut reklamasi adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai.
Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Sedangkan pengertiannya secara ilmiah dalam ranah ilmu teknik pantai, reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi atau landfill.
Menurut Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) seluruh negara dunia memiliki hak untuk melakukan reklamasi dan berbagai bangunan yang diizinkan menurut hukum internasional di perairan bebas serta di wilayah mereka. Namun begitu berdasarkan butir 60 konvensi ini, jika proses reklamasi menimbulkan perubahan di lingkungan hidup, maka harus diperhatikan seluruh kondisi lingkungan negara-negara lain dan tidak diperbolehkan proses ini mengakibatkan kerusakan bagi lingkungan negara lain.
Selama 40 tahun terakhir banyak negara dunia, khususnya mereka yang memiliki wilayah daratan kecil mulai condong melakukan proses reklamasi daratan. Pulau buatan pertama berada di Osaka, Jepang dan dibangun tahun 1975. Proyek ini dikenal dengan Aqua Police mencakup empat tiang di bawah laut dan mengapung dari jenis baja. Luas pulau buatan ini sekitar satu hektar dan ketinggiannya mencapai seribu meter.
Dewasa ini pulau buatan seperti ini banyak ditemukan di dunia. Austira juga membuat pulau buatan, Belanda dengan Pulau Notre Dame, Denmark dengan Pulai Pepper, Hongkong juga tak ketinggalan, awalnya wilayah ini hanyalah pulau terpencil di Hongkong dan sepi penghuni. Lewat reklamasi di sebelah utara, timur dan timur laut Hongkong seluas 14 hektar, Tung Chung kini berubah wajah menjadi kota baru dengan magnet utamanya bandara international Hongkong dan wisata belanja. Area Tung Chung saat ini menjadi salah satu destinasi wisata utama di Hongkong. Citygate Outlets adalah magnet utama selain bandara international. Berada di jantung kota baru ini yang dihubungkan oleh MTR Tung Chung dan terminal bus, sehingga membuat Tung Chung menjadi mudah dikunjungi. Dikembangkan seluas 46,000 m2, pusat belanja ini menawarkan berbagai, hiburan, gerai makanan yang tersebar di lima lantai.
Selain itu dalam beberapa tahun terakhir negara-negara Teluk Persia juga aktif melakukan reklamasi. Misalnya Qatar, membangun pulau buatan bernama The Pearl. Kalau dari garis pantai Doha, jarak pulau buatan ini sekitar 350 meter. Luas dari pulau buatan ini sekitar 4.000 m2. The Pearl jadi pulau pertama yang bisa dihuni dan dimiliki oleh warga asing. Ketika musim semi tahun 2012, ada lebih dari 5.000 warga yang tinggal di pulau ini. Ketika kepulauan ini utuh, maka ia akan menciptakan 32 km garis pantai baru. Kegunaannya juga untuk penginapan mewah. DI tahu 2015, diharapkan ada 15.000 tempat tinggal dan 45.000 warganya. Proyek ini kabarnya menelan biaya sampai 15 milyar dollar atau sekitar 195 trilyun rupiah.
Sementara itu, Uni Emirat Arab juga gencar membangun pulau buatan. Yang paling terkenal di UEA saat ini adalah pulau buatan Kota yang paling berani mengadakan proses reklamasi adalah Dubai, Uni Emirat Arab. Reklamasi Dubai yang pertama adalah Palm Jumeirah. Pulau buatan berbentuk pohon Palm ini memiliki luas 572.1 ha. Lahan yang dibuat terpisah dari pesisir, dengan bentuk yang dibuat cantik.
Di balik pembangunan reklamasi, pemerintah Dubai sadar bahwa lambat laun tambang minyaknya akan mengering, sehingga bisnis pariwisata dunia menjadi sorotannya saat ini. Dubai tidak memiliki sumber daya alam yang banyak, maka dari itu ia berani melakukan reklamasi daratan untuk menarik turis asing. Pulau ini menjadi pusat hiburan kelas atas dengan fasilitas yang eksklusif. Setelah Pam Jumeirah, proyek reklamasi Dubai yang masih dalam penggarapan adalah Palm Jebel Ali, Palm Deira, dan The World.
Reklamasi Dubai ini dilaksanakan oleh perusahaan pengembang nasional Dubai, Nakheel Properties. Kegiatan pengurukan dilakukan Perusahaan Belanda bernama Van Oord Dredging, salah satu ahli reklamasi di dunia. Burj Khalifa adalah hotel mewah yang terletak di Dubai. Hotel ini juga termasuk yang paling tinggi keempat di dunia. Tingginya sekitar 321 meter. Hotel megah ini ternyata berdiri di atas pulau buatan, jaraknya sekitar 920 meter dari pantai Jumeirah. Sebuah jembatan melengkung menyatukannya ke daratan. Bentuk desainnya itu meniru kapal layar. Saking mewahnya, hotel ini sempat dijuluki sebagai “hotel bintang 7”.
Pembangunan pulau buatan baik itu ditujukan untuk tempat tinggal atau komersial seperti pembangunan bandara udara, tempat rekreasi dan wisata, namun menurut pandangan para pakar lingkungan hidup, proses reklamasi seperti ini sangat merusak ekosistem laut. Contoh nyata dalam hal ini dapat disaksikan di Teluk Persia yang menelan banyak dampak negatif dari pembangunan pulau buatan oleh negara-negara Arab di kawasan ini.
Teluk Persia adalah laut setengah tertutup dengan luas sekitar 230 ribu km persegi. Laut ini tersambung dengan Samudra Hindia melalui Selat Hormuz serta terletak di wilayah panas dan kering. Suhu panas di selatan Teluk Persia di musim panas bisa mencapai 37 derajat celcius. Seiring dengan panasnya suhu udara, tingkat pengupan pun sangat tinggi dan mencapai 140 juta liter pertahun. Kawasan ini dengan segala bentuk kesulitan lingkungan dan cuaca, tetap memiliki keanekaragaman hayati dan ekosistem laut.
Teluk Persia memiliki lebih dari 600 spesies akuatik termasuk 500 spesies ikan, 15 spesies udang dan lima spesies langkah penyu dan kura-kura. Keanekaragaman hayati Teluk Persia membuat kawasan ini tercatat sebagai wilayah unik di dunia. Di sisi lain, Teluk Persia juga kawasan kaya minyak dan gas. Oleh karena itu, lalu lalang lebih dari 25 ribu kapal tanker setiap tahunnya juga menimbulkan dampak negatif bagi kawasan ini.
Namun begitu selama beberapa tahun terakhir yang membuat negara kawasan Teluk Persia semakin khawatir adalah kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah akibat pembangunan pulau buatan/reklamasi oleh sejumlah negara di kawasan ini. Reklamasi daratan baik untuk tempat tinggal dan wisata kian mengancam ekosistem laut dan kondisi lingkungan hidup pun semakin parah.
Setiap reklamasi di Teluk Persia dari sisi lingkungan hidup akan memiliki dampak besar. Namun begitu reklamasi di pantai Uni Emirat Arab mengingat kuantitasnya yang besar maka dampaknya bagi lingkungan hidup pun semakin besar pula. Proyek reklamasi di Teluk Persia secara serius diprogram pemerintah Uni Emirat Arab sejak tahun 2001. Pemerintah Arab ini mulai mengagendakan pembangunan pulau buatan sebanyak 325 buah di perairan Teluk Persia. Namun seiring dengan tuntasnya proyek pertama, dampak besar dari proyek ini semakin nyata.
Menurut kontraktor yang menangani proyek ini, untuk proyek reklamasi tersebut lebih dari 1,5 juta pasir dan 87 juta ton batu diangkut. Sementara untuk proses final proyek ini sebanyak satu miliar ton batu diangkut ke lokasi. Para pakar menyatakan, tahap pertama reklamasi telah menghancurkan terumbu karang dans sarang penyu di pantai serta membuat air laut yang sebelumnya jernih menjadi keruh. Hal ini karena terumbu karang yang berfungsi sebagai filter air alami musnah maka proses penyaringan air pun berkurang sehingga pencemaran air di Teluk Persia semakin besar.
Jamileh Zare, salah satu dosen lingkungan hidup di universitas Iran terkait hal ini mengatakan, "Rata-rata kedalaman Teluk Persia 35 meter dan periode retensi air 3-5 tahun. Reklamasi telah mendorong periode retensi air tercemar semakin lama. Seiring dengan rusaknya terumbu karang, secara alami air tidak dapat disaring dan pada akhirnya air tercemar semakin menumpuk."
Meski Republik Islam Iran memiliki garis pantai di Teluk Persia sepanjang 1280 km, namum hingga kini negara ini tidak melakukan proses reklamsi di kawasan. Di sisi lain, sejumlah negara kawasan termasuk Uni Emirat Arab yang memiliki pantai dengan terumbu karang terbesar melalui program reklamasinya telah menghancurkan terumbu karang di kawasan. Kerugian akibat musnahnya terumbu karang juga berdampak pada pantai negara lain termasuk Iran.
Namun begitu, sikap pejabat Uni Emirat Arab terkait kritik dan protes atas reklamasi di negara ini patut untuk direnungkan. Penanggung jawab proyek reklamasi Palm Jumeirah, salah satu proyek pertama negara ini saat menjawab reaksi lembaga lingkungan hidup mengatakan bahwa mereka tidak merusak ekosistem laut dan mayoritas terumbu karang di negara ini sebelumnya telah mati dan lumpur akibat proyek ini pada akhirnya akan mengendap serta air akan kembali jernih.
Uni Emirat Arab bukannya menghentikan atau mengurangi proyek reklamasi di negaranya, namun juga menambahnya. Tak tanggung-tanggung Abu Dhabi malah memprovokasi negara lain untuk melakukan langkah serupa. Hal ini dapat disaksikan dengan sikap sejumlah negara kawasan yang kemudian berlomba-lomba melakukan reklamasi daratan seperti Bahrain, Emirate of Sharjah, Ras al-Khaimah dan Qatar.
Tak diragukan lagi bahwa perubahan struktur lingkungan hidup setiap kawasan, khususnya laut yang dalam dan kuno akan dibarengi limbah lingkungan hidup serta akan menimbulkan kerugian bagi kelangsungan hewan dan tumbuhan. Kerugian ini sangat diabaikan dalam proses reklamasi. Meski berdasarkan konvensi internasional, setiap pemerintah diperbolehkan melakukan reklamasi di wilayahnya, namun menjaga lingkungan hidup Teluk Persia merupakan kasus yang harus diperhatikan setiap negara kawasan.