Pesona Iran yang Mendunia (13)
Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni lahir tanggal tiga Dzulhijah tahun 362 Hijriah, atau September 973 di Kath, Khwarizm yang kini termasuk wilayah Uzbekistan dan Turkmenistan. Ilmuwan Iran ini dikenal di Eropa sebagai Alberonius dalam bahasa Latin dan Al-Biruni dalam bahasa Inggris.
Al-Biruni dianggap sebagai salah satu ilmuwan Muslim besar yang memiliki karya di bidang fisika, matematika, astronomi, geografi dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Dia fasih berbahasa Khwarezmian, Persia, Arab, dan Sansekerta. Selain itu, Al Biruni mengenal bahasa Yunani, Ibrani dan Suryani. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ghazni, ibukota dinasti Ghaznavid yang sekarang terletak di Afghanistan. Pada tahun 1017, ia melakukan perjalanan ke India dan menjadi ilmuwan Muslim pertama yang menyelidiki masalah India. Al-Biruni juga disebut sebagai "bapak geodesi" atas sumbangan pentingnya di bidang tersebut, bersama dengan kontribusi signifikan lainnya di bidang geografi.
Ayahnya, Abu Jafar Ahmad bin Andijani adalah astronom istana Khwarezmsah dan bekerja di Observatorium Gurganj (Urgench). Menurut penuturan Al-Biruni, ayahnya diberhentikan dari pekerjaannya sebagai astronom istana, karena ulah orang-orang yang dengki. Akhirnya, ia terpaksa hidup di salah satu desa terpencil di sekitar Khwarezm. Karena mereka termasuk orang asing di desa itu, akhirnya dikenal dengan nama Biruni, yang artinya luar. Sebagian sejarawan lainnya mengungkapkan, karena Biruni lahir di luar kota Kath yang menjadi ibu kota Khwarizm, maka ia dinamai Biruni.
Seiring jatuhnya pemerintahan Al-Irak di Khwarizm, Al-Biruni menuju tempat lain. Kemudian ia kembali ke Kath pada tahun 387 Hijriah, dan menjadi astronom istana Khwarizm yang berada di bawah kekuasaan putra Mamun bin Muhammad yaitu, Ali bin Mamun. Pada 11 Jumadil Awal tahun 387 Hijriah, Al-Biruni berhasil mengamati gerhana matahari. Dokumen sejarah menunjukkan Abu Rayhan yang masih muda ketika itu sejajar dengan matematikawan dan astronom terkemuka Persia, Abū al-Wafāʾ Būzhgānī.
Al-Biruni dengan perbedaan waktu berhasil mengukur jarak geogafis antara dua kota. Oleh karena itu, al-Biruni mencapai kedudukan tinggi di bidang ini di saat Abū al-Wafāʾ Būzhgānī meraihnya dalam usia senja. Sejarah menjelaskan mengenai kerjasama antara kedua ilmuwan Muslim yang berbeda usia itu.
Selama beberapa waktu, Al-Biruni mengunjungi Ray. Di kota yang terletak di wilayah selatan Tehran, ia bertemu dengan dua matematikawan dan astronom terkemuka Persia yaitu Kushyar Bin Labban Gilani, dan Abu Mahmud Hamid ibn Khidr Khojandi.Al-Biruni menulis buku mengenai alat astronomi buatan Khojandi. Ilmuwan Muslim ini menyebut alat yang besar ini memiliki tingkat akurasi tinggi dan terbaik di zamannya. Kemudian al-Biruni mendatangi Abul Abbas yang merupakan bangsawan Al-Buwand dan menulis buku penting "Maqalid Ilm al-Haiat" dengan nama penguasa tersebut.
Di abad keempat Hijriah, Al-Biruni selama beberapa tahun berada di Gorgan. Di usia 30 tahun, ia menulis buku "Atsar al-Baqiyah" yang ditulis atas nama Sams al-Maʿālī Qabus bin Wusmagir yang merupakan penguasa dinasti Ziyarid. Sebelumnya, Al-Biruni juga menulis tujuh buku dan menjalin komunikasi surat menyurat dengan Ibnu Sina. Pada tahun 393 Hijriah, ia berhasil mengkaji gerhana matahari di Gorgan. Tidak hanya itu, al-Biruni juga berhasil mengukur wilayah sekitar Gorgan dengan akurasi lebih tinggi satu derajat dari busur meridian yang dipergunakan dua dekade sebelumnya di Baghdad. Tapi sultan Qabus Wusmagir yang tidak mengenal pentingnya pekerjaan dan terobosan yang dilakukan al-Biruni tidak memberikan dukungan, dan akhirnya ilmuwan Muslim itu tidak melanjutkan pekerjaannya di bidang astronomi dan geografi di Gorgan.
Sekitar tahun 399 atau 400 Hijriah, Al-Biruni yang menginjak usia empat puluh tahun kembali ke Khwarizm. Ia tinggal di istana Abu al-Abbas bin Mamun al-Mamun, dan menjadi ilmuwan kerajaan. Dengan dukungan penguasa Iran tersebut, al-Biruni melanjutkan pekerjaan intelektualnya di bidang astronomi dan geografi serta disiplin ilmu lainnya. Al-Biruni melakukan terobosan penting di bidang astronomi dengan membuat lingkaran besar yang diterapkan dengan busur meridian. Selain itu, al-Biruni juga berjasa membuat sebuah miniatur globe setengah bumi untuk memudahkan penyelesaian masalah astronomi.
Situasi politik mengubah perjalanan intelektual al-Biruni. Ketika Mamun tewas tahun 407 Hijriah di tangan pasukannya sendiri, ia meninggalkan Khwarizm. Setahun kemudian, Sultan Mahmoud Gaznavid membawa para ilmuwan, termasuk al-Biruni ke Gazni, yang kini berada di wilayah timur Afghanistan.
Penyair dan penulis abad keenam Hijriah, Nezami Aruzi Samarqandi dalam bukunya "Empat Tulisan" mengungkapkan Sultan Mahmud Gaznavid iri trehadap para pejabat kerajaan Mamun bin Mamun. Lalu ia mengirimkan surat kepada Mamun supaya secepatnya mengirimkan seluruh ilmuwan terkemuka ke Gazni. Dua filsuf besar, Ibnu Sina dan Abu Sahl Isa bin Yahya al-Masihi melarikan diri ke arah barat. Sedangkan Al-Biruni menghabiskan usianya menjadi ilmuan kerajaan Gaznavid dari era sultan Mahmoud, Masoud dan Muudud Gaznavid serta penerusnya. Amat disayangkan penjelasan rinci tentang kehidupan al-Biruni di era Gaznavid tidak terlalu terang-benderang.Meski demikian, ia dikenal luas sebagai seorang astronom terkemuka dinasti Gaznavid.
Selain dikenal sebagai astronom, Al-Biruni juga memanfaatkan waktunya untuk menggali pengetahuan tentang India. Selain mempelajari bahasa Sansekerta dan bahasa-bahasa India lainnya, ia mempelajari sistem pemikiran, tradisi dan filsafat India. Sejarah mencatat, Al-Biruni termasuk ilmuwan yang menyertai ekspansi militer kesultanan Mahmud Gaznavid ke India. Dalam perjalanan tersebut, al-Biruni mengenal para ilmuwan India. Sebagai geografer, ia berupaya menghitung luas wilayah daerah yang pernah dikunjunginya.
Perjalanannya ke India membuahkan sebuah karya berjudul "Tahqiq Ma Lil Hind" mengenai sistem pemikiran, filsafat, tradisi kebudayaan, agama dan keyakinan orang-orang India. Pada tahun 415 Hijriah, al-Biruni mencapai puncak gunung Nandana, dari sana ia menentukan diameter bumi. Penelitian Al-Biruni di bidang geografi ditulisnya dalam buku berjudul "Maqalah fi Istikhraj qadr al-Ardh Bihi Rasad Inhithath al-Ufuq An Qalil Jabal".
Pengganti Mahmoud Gaznavid mengikuti jejak ayahnya mendukung pekerjaaan intelektual Al-Biruni. Di era Sultan Masud, Al-Biruni menulis buku "Dastur", "al-Jamahir fi Marifah al-Jawahir" dan berbagai buku lain di bidang psikologi, medis dan disiplin ilmu lainnya. Akhirnya Al-Biruni meninggal dunia pada bulan Rajab 440 Hijriah di usia 77 tahun di Gazni.
Abu al-Hassan Ali bin Isa, ulama terkemuka saat itu menuturkan detik-detik terakhir kehidupan al-Biruni. "Meskipun ajal di depan mata, tapi Abu Rayhan al-Biruni masih menanyakan tentang sebuah masalah fiqih kepadaku. Aku bertanya kepadanya: Apakah tepat menanyakan masalah tersebut saat ini. Ia balik menjawab: Apa yang lebih baik, mati dengan mengetahui sebuah masalah atau sebaliknya ? Lalu aku menjelaskan masalah tersebut dan berada di sampingnya. Tidak lama, ia meninggal dunia."