Des 21, 2017 14:34 Asia/Jakarta

Abu Said Abul Khair adalah sufi terkemuka Khorasan abad kelima Hijriah. Arif besar ini dilahirkan tahun 357 Hijriah atau 967 Masehi di desa Meyhaneh, yang dahulu bagian dari Khorasan Raya. Beliau wafat di tanah kelahirannya tahun 440 Hijriah atau 1048 Masehi di usia 81 tahun.

Jalan hidup yang ditempuh Abu Said Abul Khair adalah Irfan atau tasawuf. Irfan adalah jalan untuk mencapai hakikat. Sebuah jalan untuk menyingkap hakikat dunia dan keterikatan manusia dan hakikat bukan berdasarkan akal dan argumentasi logis, tapi dengan pencerahan batin dan ketersambungan dengan hakikat sejati. Untuk Mencapai tujuan tersebut, para penempuh jalan Irfan harus menjalankan amalam khusus yang dikerjakan secara ketat.

Irfan tidak hanya bersandar pada ilmu, tapi bertumpu pada amal sebagai prinsip utamanya. Untuk mencapai pengetahuan irfani harus melalui berbagai tahapan jalan suluk. Oleh karena itu, Irfan terbagi menjadi dua, irfan praktis dan teoritis. Irfan praktis adalah penerapan program khusus yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ketat dari satu tangga ke tangga lainnya hingga mencapai tujuan Tauhid irfani. Sedangkan irfan teoritis adalah penjelasan dari rangkaian ungkapan para Arif mengenai penyaksian batin dalam mencapai hakikat dunia, manusia dan Tuhan.

Irfan memandang manusia sebagai makhluk yang bebas. Kebebasan yang dimaksud adalah mencerabut keterikan manusia kepada dunia, dan hatinya hanya bergantung kepada Tuhan. Terkait hal ini, penjelasan Abu Said Abul Khair ketika menjawab pertanyaan menarik disimak. Seorang Darwis bertanya kepada Abu Said, "Wahai sheikh, apakah penghambaan itu ?". Abu Said menjawab, "Sembahlah Tuhan dengan bebas. Bebaskan dirimu !"

Mendengar jawaban Abu Said, Darwis itu kembali bertanya makna hamba dari jawaban beliau. "Selama engkau tidak bebas dari dua dunia, maka engkau bukan hamba," ujar Sheikh Abu Said Abul Khair. Maksud dua dunia dari penjelasan Abu Said adalah dunia ini dan manusia.

Kebebasan inilah yang menyebabkan Arif sejati senantiasa setia dengan jalan lurus yang ditempuhnya, meski harus menempuh tangga perjalanan yang bertingkat-tingkat dan sulit. Menurut Abu Said, selama manusia tidak menjadi makhluk dan hamba yang bebas, maka tidak akan mencapai derajat manusia sempurna. Di kalangan para peneliti Irfan dan tasawuf, Sheikh Abu Said Abul Khair dikenal sebagai tokoh sufi yang menekankan masalah kebebasan dalam perspektif tasawuf.

Islam dan Kedamaian

Berkaitan dengan perbedaan Irfan dengan motode para filsuf dan teolog, peneliti Iran, Zerin Koub mengungkapkan, "Menurut sebagian ahli, Irfan adalah jalan marifat yang berbeda dengan ahli argumentasi dalam menyingkap hakikat, karena lebih bersandar kepada penyaksian dan pencerahan batin dari pada akal dan argumentasi. Di kalangan Muslim, jalan ini ditempuh oleh para sufi. Di berbagai bangsa muncul dengan beragam nama sesuai dengan situasi dan kondisi khusus masing-masing. Saat ini disebut sebagai mistisisme atau pengetahuan ahli mistis,".

Sebagaimana Bayazid Bustomi atau al-Hallaj yang bertumpu pada cinta sebagai pijakan motode sufistiknya, Abu Said Abul Khair dengan keahliannya berhasil menyusun sebuah sistem pemikiran sufistik yang berpengaruh besar terhadap generasi setelahnya. Pengaruh tersebut bisa dilacak dari lingkaran sufi setelahnya, hingga para sufi terkemuka seperti Ain al-Qazat dan Ghazali serta Jalaludin Rumi.

Terkait hal ini, Shafei Kadkanei menulis, "Jika ingin menilik dua tokoh sufi  dari lingkaran tasawuf yang paling erat hubungannya dengan beliau [Abu Said Abul Khair], maka tidak diragukan lagi mereka adalah Bayazid dan Abul Hassan Kharqani".

Salah satu ajaran Abu Said adalah kesatuan agama-agama. Menurut beliau, seluruh agama hidup harmonis dan bersahabat, karena semua pemeluknya adalah hamba Tuhan yang sama, dan setara dan bersaudara dalam pandangan kemanusiaan. Shafei Kadkanei berkeyakinan bahwa Arif seperti dunia yang hijau karena eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, kehadiran Tuhan dalam diri arif menjadikan manusia bahagia, sekaligus penggerak terwujudnya perdamaian dengan dunia.

Seorang Arif menilai seluruh pemeluk agama dan mazhab yang beraneka ragam menyembah Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda-beda, meskipun mereka meyakini agama Islam sebagai yang paling sempurna dari semuanya. Arif sejati hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan memanifestasikan penyembahan tersebut dalam bentuk keyakinan absolut hanya bergantung kepada Tuhan, bukan kepada yang lain. Arif menilai semua tempat sebagai "rumah cinta" dan meyakini cinta Tuhan meliputi seluruhnya.

Fase kehidupan Abu Said sekitar abad kelima hingga keenam Hijriah menjadi periode paling penting dari era tasawuf di Khorasan Raya. Salah satu karakteristik masa itu adalah fanatisme mazhab dan gelombang takfiri di tengah bergolaknya situasi politik yang panas. Ketika itu, Khorasan besar dilanda krisis politik besar di era  pemerintah Seljuk Timur. Bahkan keturunan Sheikh Abu Said dibantai di Meyhaneh, dan seluruh warisan sufi besar Iran ini tidak ada yang tersisa, kecuali makamnya saja.

Islam dan Kedamaian

Para peneliti tasawuf menjelaskan bahwa Sheikh Abu Said memberikan nasehat dengan cinta dan keteladanan yang baik. Beliau membantu orang lain tanpa membedakan status sosial dan perbedaan lainnya. Sifat mulia Seikh terbuka terhadap orang lain dan menerima manusia dari berbagai latar belakang yang beraneka ragam. Bagi Sheikh Abu Said tidak ada bedanya orang yang berwarna kulit hitam dengan putih atau berwarna. Sebab kemuliaan manusia adalah kemanusiaan, kebaikan dan penghambaan serta ketakwaannya, bukan karena nasab atau warna kulit dan etnis.

Ajaran lain dari Abu Said adalah hidup zuhud dan tidak takabur. Sheikh Abu Said mengkritik sebagian orang yang berilmu maupun sufi yang menonjolkan dirinya di hadapan masyarakat. Ia memberikan nasehat dengan cara yang baik. Abu Said sangat membenci sifat riya. Sheikh Abu Said meyakini riya sebagai sifat terburuk bagi manusia, terutama sufi. Semua orang dari pedagang hingga murid-muridnya mengenal beliau sebagai orang yang tidak menutup dirinya dengan topeng simbol maupun status sosial dan otoritas tertentu di tengah masyarakat. Ketika beliau menangis, beliau tidak malu untuk melakukannya di hadapan orang lain.

Sistem pemikiran tasawuf Sheikh Abu Said Abul Khair mengedepankan masalah penghambaan dan kebebasan. Makna kebebasan yang dimaksud oleh Abu Said berbeda dari pemahaman yang berkembang di Barat yang bertumpu pada Materialisme. Bagi Abu Said, manusia bebas adalah orang yang menyerahkan hidupnya untuk menghamba kepada Allah swt dan melepaskan seluruh ketergantungan kepada selain-Nya.