Feb 07, 2018 14:43 Asia/Jakarta

Persoalan krisis global semakin komplek dan multidimensional salah satu masalah serius adalah kondisi ekologi atau lingkungan hidup, telah menjadi isu global yang melibatkan cara pandang manusia modern terhadap alam. Pada giliranya menuntut kesadaran politisi dunia dan memaksa para ahli pendidikan mengkonstruksi ulang kurikulum pendidikan, misalnya dengan mengintroduksi konsep keanekaragaman hayati dan kesadaran ekosistem pada berbagai bidang.

Problem pencemaran lingkungan banyak mendapat sorotan, karena telah menimpa penghuni dunia masa kini dan generasi yang akan datang. Kalau ditelusuri, faktor utama terjadinya perusakan lingkungan akibat penggunaan secara besar-besaran produk-produk teknologi modern. Di balik dominasi teknologi mutakhir ini terletak pandangan-pandangan keagamaan dan ideologi tertentu yang berperan sebagai pendorong pemicu ke arah sikap yang tidak bersahabat kepada alam serta lingkungan.

Aktivitas manusia di bidang industri yang membakar hutan seisi-isinya ini telah menghasilkan semburan miliaran ton partikel, gas karbondioksida serta klorofluorokarbon. Emisi karbon ini ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang tak dapat diperbaruhi, seperti batu bara, gas, dan minyak bumi. Kerusakan hutan khususnya di Indonesia sebagai paru-paru dunia memiliki andil cukup besar sebagai pemicu perubahan iklim dan pemanasan global akibat dari menipisnya lapisan ozon.

ozon

Perubahan iklim akan mempersulit Negara berkembang untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan dan tujuan pembangunan milenium atau millennium development goals / MDG’s. Perubahan iklim akan mengancam ketersediaan sumber daya alam, menambah parah persoalan yang dihadapi, menciptakan persoalan baru, dan membawa upaya pencarian solusi makin sulit dan mahal. Kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan membawa akibat terhadap alam lingkungannya. Pencemaran udara, tanah, air yang terkadang membawa akibat seperti tidak suburnya lahan pertanian, banjir dan tanah longsor.

Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi fenomena ini dan manusia semakin sadar akan pentingnya lingkungan hidup. Selama lingkungan hidup sehat dan lestari, kehidupan umat manusia pun akan tetap eksis. Setelah kita menyadari peran pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup serta peran perempuan dalam pelestarian alam. Kini tiba giliran generasi muda dan mendatang, yakni kelompok anak-anak dan perannya di lingkungan hidup.

Anak merupakan komunitas terbanyak umat manusia di bumi. Mereka menempati lebih dari 30 persen dari total populasi dunia. Bahkan jumlah ini di negara sedang berkembang bisa mencapai 50 persen. Anak memainkan peran sebagai generasi mendatang dan juga bertanggung jawab sebagai penghubung antara generasi sekarang dan mendatang. Namun begitu mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan yang akan menentukan kondisi masa depan. Sebuah keputusan yang mayoritasnya berujung pada pencemaran lingkungan hidup. Meski anak-anak tidak berperan dalam pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam, namun mereka menjadi kelompok yang paling banyak dikorbankan.

Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) di salah satu laporannya dengan tema "Anak-anak dan Lingkungan Hidup" mengisyaratkan realita pahit ini dan menyebutkan, "Kerusakan lingkungan hidup telah memusnahkan anak-anak." Di laporan ini juga menyebutkan kerusakan lingkungan hidup dan dampaknya bagi keselamatan dan kesehatan anak-anak.

Kerusakan hutan, penggurunan dan pemanfaatan berlebihan tanah untuk lahan pertanian di berbagai negara sedang berkembang dibarengi dengan penurunan produksi pertanian dan kini berubah menjadi faktor terpenting bagi gizi buruk anak-anak di kawasan tersebut. Misalnya data dan laporan terbaru UNICEF menunjukkan bahwa di kawasan Asia Tenggara dan negara-negara seperti India, Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan, fenomena gizi buruk anak dan krisis pangan hampir berubah menjadi tragedi.

Lingkungan hidup

Pakar UNICEF meyakini separuh anak-anak di India tidak mencapai pertumbuhan maksimal akibat gizi buruk. Berbagai data yang ada juga membenarkan pendapat ini bahwa 48 persen anak di bawah usia lima tahun di India tidak mencapai pertumbuhan maksimal akibat kekurangan gizi. Sementara di Bangladesh, 43 persen dan di Pakistan gizi buruk anak mencapai 37 persen.

Anthony Lake, direktur eksekutif UNICEF di laporannya yang dirilis tahun 2015 sebelum konferensi perubahan iklim di Paris mengisyaratkan realita pahit bahwa kini sekitar 690 juta anak terancam perubahan iklim. Ini artinya sepertiga dari anak-anak di seluruh dunia. Menurut laporan ini, lebih dari setengah miliar anak tersebut berada di wilayah rentan banjir dan 160 juta di wilayah rentan kekeringan.

Lake di laporannya juga menyebutkan, "Angka ini menunjukkan bahwa kita saat ini harus segera bertindak, anak-anak saat ini paling sedikit terkena dampak perubahan iklim. Namun mereka dan anak-anaknya adalah kelompok yang ahak hidup dengan dampak perubahan iklim serta masyarakat miskin paling banyak terkena dampak dari fenomena ini. Perubahan iklim yang menimbulkan banjir, kekeringan, gelombang panas dan iklim yang tidak normal akan menjadi faktor mematikan bagi anak-anak seperti gizi buruk dan malaria serta proses pemulihannya akan membutuhkan waktu yang panjang."

Selain dampak merusak perubahan iklim, polusi udara juga menjadi faktor lain yang secara langsung mengancam keselamatan anak-anak di berbagai dunia. Hasil riset para ilmuwan menunjukkan mengingat anak-anak dan bayi lebih banyak bernafas dari orang dewasa, bahan beracun yang ada di udara paling banyak masuk ke paru-paru mereka.

Anak-anak dan bayi juga paling banyak berada di luar rumah ketimbang orang dewasa, khususnya di musim panas ketika tingkat polusi berada di titik tertinggi. Misalnya polusi lingkungan seperti tembaga sangat merusak tulang anak yang tengah berada di fase pertumbuhan. Bayi dan anak-anak yang terkena polusi udara menderita beragam penyakit seperti penyakit saluran pernafasan dan tenggorokan serta syaraf.

Data yang dipublikasikan juga membenarkan hal ini. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun lebih dari empat juta anak di bawah usia lima tahun (balita) meninggal dunia akibat polusi lingkungan hidup. Di antaranya diakibatkan keracunan, infeksi pernafasan, muntaber akibat polusi air serta malaria. Sekitar 30 persen penyakit serius dan mematikan pada balita juga diakibatkan polusi lingkungan. Setiap tahun kehidupan empat juta balita yang mayoritasnya hidup di negara sedang berkembang dapat diselamatkan dengan menjamin air bersih dan dan udara yang sehat.

Tragedi ini terjadi ketika mayoritas undang-undan nasional dan internasional menekankan hak lingkungan hidup yang sehat bagi anak-anak. Misalnya di pasal 5 butir 24 Konvensi Hak Anak yang merupakan salah satu deklarasi HAM internasional terpenting menekankan bahwa lingkungan hidup yang sehat harus diprioritaskan secara khusus bagi anak-anak.

Meski anak-anak tidak berperan di proses polusi lingkungan hidup saat ini, namun anak-anak sekarang adalah generasi mendatang umat manusia. Melalui pendidikan yang benar, mereka dapat membantu lingkungan hidup. Oleh karena itu, dewasa ini pendidikan lingkungan hidup sejak dini kepada anak-anak menjadi prioritas di banyak negara.

Anak dan polusi asap

Jika seseorang di masa kecilnya tidak mendapat pendidikan dalam menyikapi berbagai masalah seperti keragaman hayati, polusi lingkungan hidup, musnahnya habitat langka serta isu lingkungan hidup lainnya, maka reaksi apa yang akan ditunjukkan oleh individu seperti ini. Jika demikian tentu saja kita harus menunggu lingkungan hidup manusia dan hewan untuk beberapa dekade ke depan akan sangat rusak di banding saat ini.

Oleh karena itu, merupakan sebuah keharusan bagi pemerintah dan lembaga publik non pemerintah memberi pendidikan kepada anak bahwa sumber alam terbatas dan lingkungan hidup di planet ini setiap hari terancam. Anak-anak bukan saja harus mampu menghentikan kerusakan ini, bahkan suatu hari mungkin mereka akan memulihkan kondisi lingkungan hidup di bumi.

Meski anak-anak  menjadi korban terbesar kerusakan lingkungan hidup, namun mereka adalah kelompok paling potensial di masyarakat untuk mendapat pendidikan terkait lingkungan hidup. Oleh karena itu, dewasa ini berbagai organisasi internasional menekankan bahwa pemerintah harus memperluas peluang pendidikan bagi anak dan pemuda termasuk pendidikan rasa bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

Di proses pendidikan ini, sangat penting bagi anak untuk mencapai kemampuan berfikir dan menyaksikan permasalahan serta mencari solusinya. Melindungi lingkungan hidup sebuah kebiasaan jika diajarkan sejak dini dapat berubah menjadi sebuah keyakinan mental. Keyakinan ini akan mengharuskan anak membela lingkungan yang ia hidup didalamnya dengan bentuk sebaik-baiknya.

Tags