Des 09, 2018 14:58 Asia/Jakarta
  • Anak
    Anak

Beberapa orang tua menganggap hukuman sebagai elemen penting dalam membesarkan anak-anak. Jelas, salah satu cara untuk mengasuh anak adalah menggunakan tindakan hukuman selain memberikan dorongan. Dalam pengertian umum tentang hukuman adalah masalah penting bagi pendidikan. Tapi masalahnya di sini adalah tentang hukuman fisik. Apakah karena itu semata-mata untuk pendidikan maka wali hukum dan orang tua diboleh menghukum anak?

Jika ada cara lain untuk menghukum anak di dunia sekarang ini, haruskah kita masih membiarkan hukuman fisik? Beberapa psikolog percaya bahwa hukuman fisik tidak menghilangkan akar rasa sakit, tetapi meredakan gejala nyeri sementara.

Di dunia sekarang ini, sebagian orang percaya bahwa cara terbaik untuk mendidik adalah dengan kebebasan. Jean-Jacques Rousseau, berbeda dengan John Locke, percaya pada kebebasan dalam bukunya yang terkenal, Emile, yang merupakan salah satu buku paling penting di bidang ilmu pendidikan di Barat. Dalam buku Emile, Rousseau mengatakan, "Jika hukuman, khususnya hukuman keras sebagai dorongan sentif akan muncul bahaya lain seperti rasa takut dan gangguan kepribadian, yang akan menyebabkan kegugupan dan tekanan emosional."

Masalah ini masih mengarah pada pandangan teoritis di antara para ahli psikologi dan sains, apakah hukuman fisik secara umum dilarang atau, jika perlu, ditentukan dengan batas-batas tertentu. Dalam beberapa tradisi, hukuman dilarang terhadap anak.

Seorang pria mendatangni di Imam Kazhim as dan mengeluh tentang anaknya, Imam Kazhim as berkata, "Jangan memukul anak Anda dan untuk mengajarinya, coba untuk tidak memedulikannya. Tetapi berhati-hatilah untuk tidak lama membiarkannya begitu, dan segera berbaik kembali dengannya."

Poin pentingnya di sini sangat jelas bahwa perilaku Maksumin as tidak menggunakan hukuman fisik. Meskipun beberapa riwayat mungkin menunjukkan hukuman fisik pada kesalahan tertentu, tapi dalam praktinya mereka tidak pernah menggunakan cara ini. Sebagai contoh, di sini akan disinggung sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Ia telah melayani Rasulullah Saw sejak masa kecilnya. Anas mengatakan, "Saya melayani Nabi selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah menghina saya dan tidak menghukum saya."

Juga, dalam sebuah riwayat dari Ummu Salamah, ketika pelayan Nabi Muhammad Saw pergi bekerja dan terlambat, dia berkata, "Jika aku tidak takut pada qisas (tampaknya pembalasan di Hari Penghakiman), aku akan menghukummu dengan kayu miswak ini." Dalam pandangan fikih, ada sejumlah ahli fikih yang telah memberikan izin untuk menggunakan hukuman fisik fatwa dan menekankan masalah ini bahwa hukuman harus sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan pembayaran diyah. Level diyah yang harus dibayar adalah kulit yang dipukul memerah.

Dalam Konvensi Hak Anak, sesuai dengan Pasal 19 dan secara umum, semangat Konvensi menekankan bahwa negara-negara harus berusaha untuk mengubah dan meratifikasi undang-undang mereka sendiri sehingga kekerasan tidak dapat diterapkan untuk anak-anak di semua tingkatan. Komite Hak Anak secara khusus menekankan bahwa hukuman fisik di keluarga todal sesuai dengan sekolah, institusi lain atau dalam sistem peradilan. Misalnya, dalam Laporan Pendahuluan Swedia kepada Komite Hak Anak disebutkan, "Anak layak mendapat perawatan dan keselamatan, dan anak harus diperlakukan dengan hormat terkait kepribadian dan individunya dan tidak boleh dikenakan hukuman fisik atau perlakuan yang merendahkan."

Sebaliknya, dalam hukum di beberapa negara, istilah "hukuman fisik yang masuk akal atau rasional" telah ditafsirkan sebagai tidak diperbolehkan dalam level ini pada undang-undang. Karena itu menjadi sarana untuk disalahgunakan. Sebagai contoh, Pasal 154 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Spanyol menetapkan bahwa orang tua dapat menghukum anak-anak mereka dengan bijaksana dan lemah lembut. Perhatian yang diungkapkan oleh Komite Hak Anak di sini adalah bahwa hal itu dapat ditafsirkan sebagai makna bahwa tindakan yang bertentangan dengan Konvensi diperbolehkan.

Dalam laporan awal Inggris, konsep "hukuman rasional" telah dipertahankan. Menurut laporan tersebut, pemerintah berjanji untuk menghormati tanggung jawab orang tua untuk memberikan bimbingan yang memadai agar anak mendapat penghormatan atas hak-haknya sesuai dalam Konvensi ini. Pandangan pemerintah adalah bahwa bimbingan dan tuntunan yang tepat termasuk hukuman fisik yang lembut dan rasional terhadap anak oleh orang tua. Tentu saja, hukuman berat dianggap penyalah gunaan dan pelanggaran pidana.

Salah satu tugas penting yang diberikan kepada orang tua religius dalam ajaran agama adalah pendidikan agama anak. Dalam pembahasan hak-hak anak sebelum kelahiran, kami menjelaskan bahwa peran orang tua dalam pendidikan dan perkembangan kepribadian anak dimulai sebelum persalinan. Dalam perspektif ini, memilih suami dan istri yang tepat, kondisi untuk pembuahan, sperma dan kehamilan, dan seterusnya .... sangat penting. Mengingat bahwa kami telah membahas topik-topik ini dengan cara yang berbeda, berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan.

Dalam Islam, mencari rezeki yang halal bagi anak-anak dan pasangan selama hidup di masa kehamilan, dan seterusnya, sangat penting. Dalam ayat 168 dari surat al-Baqarah, disebutkan, "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." Akibatnya, nutrisi orang tua dari makanan halal dan bersih selama kehamilan sangat efektif dalam membentuk karakter dan masa depan bayi. Juga, pada masa bayi dan laktasi, Islam menganggap jenis susu sangat efektif dalam mendidik anak.

Kebanyakan psikolog setuju bahwa pengasuhan harus dimulai sejak kecil. Masalah ini juga penting dalam sistem agama Islam. Psikoanalisis telah menunjukkan bahwa anak-anak mengalami sensasi religius pada usia empat tahun. Bahkan, keingintahuan anak-anak tentang keberadaan Tuhan dan penciptaan dunia dimulai pada usia ini. Masalah psikologis ini juga terlihat di antara hadis para pemimpin agama Islam.

Imam Shadiq as mengatakan, "Ketika anak berusia tiga tahun, ajari dia Laa Ilaaha Illa Allah dan biarkan dia (ini sudah cukup). Ketika tujuh bulan berikutnya berlalu, ajarkan dia Muhammad Rasulullah dan kemudian biarkan dia hingga berusia empat tahun, dan waktu itu ajarkan kepadanya mengucapkan shalawat. Pada usia lima tahun, ajari dia sisi kanan dan kiri, tunjukkan padanya kiblat dan melakukan sujud mengarah kepadanya. Kemudian biarkan dia hingga usia enam tahun. Ketika melakukan shalat usahanya berada di dekatnya dan ajarkan dia bagaimana ruku dan sujud, hingga dia berusia tujuh tahun selesai. Ketika dia berusia tujuh tahun, ajari dia wudhu dan katakan padanya untuk melakukan shalat, sehingga ketika dia sampai berumur sembilan tahun, dia telah belajar wudhu dan shalat dengan baik. Dan ketika dia belajar dua hal itu dengan baik, Tuhan akan mengampuni orang tuanya untuk pendidikan ini."

Psikolog mengatakan bahwa seiring bertambahnya usia anak, ada tiga jenis perasaan religius. Tahap pertama adalah pengembangan rasa religius, tahap kedua munculnya keraguan dalam ajaran agama, dan tahap ketiga, munculnya pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari keraguan ini. Mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan ini dan mengenali karakteristik emosional dan intelektual anak-anak sangat penting pada tahap ini. Kadang-kadang reaksi orang tua dan guru yang tidak tepat terhadap pertanyaan agama anak-anak akan menjauhkan mereka dari agama selamanya. Ini bisa menjadi salah satu kerusakan pendidikan agama.

Melihat pandangan dan perilaku Imam Ali as, menjadi jelas bahwa dalam sistem pendidikan Islam tujuan akhir pendidikan adalah agar anak mencapai ketaatan dan penghambaan ilahi, dimana tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan seseorang yang taat kepada Tuhan dan menyerah kepada-Nya. Imam Ali as dalam sebuah ungkapannya secara tidak langsung menyatakan tujuan akhir pendidikan dan memang beliau memenuhi tujuan pendidikan dan mendidik anak-anaknya demi mencapai tujuan tersebut.

Almarhum Ibn Shahr Ashub dengan sanadnya meriwayatkan dari Imam Ali as , "Aku tidak memohon kepada Tuhanku dari anak-anak yang rupawan dan baik, tetapi aku telah meminta Tuhanku agar anak-anaku taat kepada-Nya dan takut kepada-Nya. Selama melihat mereka dengan sifat-sifat ini, saya menjadi gembira."