Mar 04, 2019 14:26 Asia/Jakarta
  • Abu Talib Kalim
    Abu Talib Kalim

Abu Talib Kalim Kashani termasuk penyair terkemuka di era Shah Abbas Safavi. Ia pergi ke India dan menjadi penyair istana Shah Jahan. Meskipun karyanya dikenal luas, tapi kehidupan masa lalunya tidak banyak diketahui. Sebagian sejarawan hanya menyebutkan tempat kelahirannya serta masa kecil dan remaja hingga menuntut ilmu yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Sejumlah sejarawan menyebut Abu Talib Kalim dilahirkan di Hamedan, tetapi segera pindah ke Kashan yang dijadikan sebagai nama belakangnya, Kashani. Di tempat ini pula dia menuntut ilmu, kemudian pindah ke Shiraz.

Setelah itu, ia pergi ke Deccan, di India. Di sana, Abu Talib Kalim berteman dengan Shahnavaz Khan dari Shiraz, yang saat itu menjadi pejabat pengadilan penguasa Bijapur, Ebrahim Adelshah II.

Perjalanan pertamanya ke India tidak membawa kesuksesan yang diinginkannya, dan dia justru dipenjara untuk sementara waktu karena dianggap sebagai mata-mata.

Pada tahun 1619, ia kembali ke Iran, tapi kemudian kembali lagi ke India di tahun 1621. Hingga 1628, dia berada di Agra bekerja untuk penguasa setempat, Mir Jomla yang menjadikannya sebagai seorang penyair dengan nama pena Ruh al-Amin.

Pada 1628, karyanya mendapat pujian dari Abu-al-Ḥasan Āṣaf Khan, yang menjadi anggota penyair kaisar Moghul, Shah Jahan (1628-58). Penguasa India ini sangat terkesan dengan karyanya, hingga dia diberi gelar raja para penyair, Malek al-Soara pada 1632.

Kalim Kashani secara resmi ditugaskan oleh Shah Jahan sendiri untuk menyusun puisi yang mengabadikan kekaisarannya. Kemudian, Kalim mengabdikan hidupnya selama bertahun-tahun untuk menyusun maṯnawi yang berjudul Šāh-nāma, yang kadang-kadang disebut Ẓafar-nāma-ye šāh-jahāni, Šāh-nāma-ye Kalim, Šāh-Jahān-nāma, atau Pādšāh-nāma.

 

Makam Shah Jahan dan istrinya

Karya puisi ini menceritakan peristiwa paling penting dari kehidupan Shah Jahān hingga sepuluh tahun pertama masa pemerintahannya. Untuk menyusun karyanya, Kalim diberi izin oleh penguasa untuk tinggal di Kashmir hingga akhir hayatnya tahun 1651. Di tempat itu pula dimakamkan. Ia mewariskan  Shahnameh yang  tidak selesai dengan rencana  15.000 bait, tapi hanya jadi 10.000 bait syair dalam bentuk gazal, qasidah, matsnavi dan ruba’i.

Kalim Kashani di India dikenal dengan nama Taliba Kalim. Penyair Persia ini menggunakan berbagai pola syair, tapi lebih dikenal dengan karya gazalnya. Matsnavinya menggunakan bahasa awam dan terkadang komposisinya terkesan kurang tepat. Meski demikian, mengundang daya tarik luar biasa dari diksi dan makna yang diproduksinya.

Di kalangan para penyair persia yang datang ke India, Kalim Kashani dikenal sebagai penyair Iran yang paling banyak mengadopsi istilah bahasa India dalam berbagai syairnya.

Kekuatan syair Kalim Kashani terletak pada ghazalnya yang menggunakan bahasa yang mudah dicerna masyarakat awam, sederhana, kuat dan mengandung makna yang segar dan tajam.

Isi syair Kalim Kashani bertumpu pada pemikirannya yang kaya, bijak dan bermasyarakat. Penemuan makna dan imaji yang berwarna-warni dalam gazalnya menunjukkan kecerdasan Kalim Kashani.

Bahasa Farsi

Kalim termasuk pemuka gaya India dalam sastra Persia. Para kritikus sastra Persia yang meneliti gaya India dalam puisi Farsi meyakini Kalim sebagai pemuka gaya berpuisi tersebut. Sebab dialah yang pertama kali menyusun pondasi gaya India dalam puisi Farsi .

Aspek paling penting dari Kalim Kashani mengenai kekuatan imaji dan ketelitiannya dalam menjelaskan detail serta kebaruan makna yang diciptakannya.

Ia juga terampil memberikan penokohan pada sesuatu, sehingga lebih hidup. Generasi setelahnya banyak yang terpengaruh gaya Kalim Kashani dalam menyusun bait-bait syair dengan gaya India.  

Para penulis sejarah yang hidup sezaman dengan Kalim Kashani dan generasi setelahnya menyebut nama Kalim dan karakter puisinya yang khas dalam berbagai karya mereka. Sebagian dari mereka bahkan melakukan analisis dan kritik terhadap puisi Kalim Kashani.

 Penulis buku "Shah Nameh Jahan" menuturkan, "Ucapan Kalim berkesan, membius dan mengena. Kalim dengan segenap kekuatan rasa berbahasa yang dimilikinya mempersembahkan makna yang indah kepada para pembaca karyanya,".

Sebagian peneliti menyebut Kalim dengan sebutan "Pencipta Makna". Tampaknya, panggilan yang disematkan sejumlah peneliti sastra kepada Lalim tidak berlebihan. Sebab, karya Kalim memang menampilkan kelebihannya dalam menciptakan makna.

Kemahiran Kalim mengolah kata dan melahirkan makna baru diakui para kritikus sastra. Bahkan dia mampu mengolah isu yang dipandang para penyair lain sebagai masalah yang tidak masuk kotak puisi, dan tidak bisa dihasilkan karya puisi.

Tapi ternyata, Kalim justru mampu menciptakan karya puisi dari masalah yang tidak dilirik oleh para penyair lain. Ketelitian dan kemahirannya dalam berpuisi membawa para pembaca karyanya terbius dalam deretan bait-bait syairnya.

Pembaca karyanya diajak untuk menyelami makna yang dikandung di dalamnya dengan menelaah berulangkali bait-bait karyanya. Begitu kuatnya magnet diksi yang diciptakan Kalim dalam karya puisinya hingga pembaca membayangkan imaji Kalim tiada akhir.

Sebagai contoh dalam syair "Morgh Ajal", Kalim menggunakan kata "Ablah" yang berarti wabah penyakit menular. Tapi, dengan kemahirannya ia menggunakan kata ini untuk menyebut sebuah biji atau bulir yang diberikan kepada burung kematian. Terma yang sama juga digunakan dengan makna yang lain.

Kekuatan penciptaan makna Kalim Kashani tidak bisa dilepaskan dari kedalaman pemikiran filsafatnya yang juga bagian dari kelebihan karya penyair terkemuka Iran ini.

Puisi Kalim, terutama dalam ghazalnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat. Salah satunya diketahui dari begitu banyak pertanyaan filosofis yang dilontarkan dalam bait-bait syairnya. Masalah tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial, politik dan ekonomi di era Safavi awal yang masih belum stabil dan rentan terjadi peperangan dan gejolak politik dan sosial ketika itu.

Kritikus sastra setelahnya menilai karya Kalim dipenuhi diksi-diksi pesimistis seperti kata kematian, duka, pekikan, rintihan, tangisan dan lainnya. Peneliti sastra Iran, Karem Langgarodi mengungkapkan, "Karya Kalim terselip keputusasaan dan pesimisme. Puisi Kalim berbeda dengan penyair lain di zamannya. Ia cenderung menonjolkan duka, yang begitu terasa dalam tarikan nafasnya,". Tampaknya, masalah ini berkaitan erat dengan sebagian dari perjalanan hidupnya yang berliku-liku dan dinamika sosial politik yang terjadi di zamannya.(PH).