Islamophobia di Barat (17)
Pada kesempatan ini, kita akan menelisik tentang pengalaman hidup seorang wanita non-Muslim yang menyamar sebagai seorang Muslim di Inggris dan gelombang Islamophobia di Jerman.
Katie Freeman (42 tahun), seorang warga Inggris dari kota Manchester mengatakan, "Menyamar satu pekan sebagai Muslim di Manchester telah membuka mataku tentang Islamophobia."
Freeman memutuskan bekerjasama dengan Channel 4 Inggris untuk membuat sebuah dokumenter dengan judul "My Week as a Muslim." Ia kemudian berdandan seperti seorang Muslimah dan berkata, "Saya seorang yang fanatik yang menyebabkan saya takut kepada orang-orang Muslim, tetapi terlibat dalam program ini telah mengubah pandangan saya dan membuka mata saya tentang Islamophobia."
Selama dokumenter digarap, Katie Freeman tinggal bersama sebuah keluarga Muslim selama satu pekan dan hal ini membuat pengetahuannya tentang Islam bertambah dan mengubah pandangannya.
Mengenai pengalamannya sebagai seorang Muslim, ia menuturkan, "Suatu hari ketika saya berjalan-jalan dengan memakai jilbab, salah seorang tetangga berteriak, 'Apakah engkau akan meledakkan kami semua?' dan yang lain berkata, 'Di sini bukan tempat orang Muslim.'"
Dalam mengomentari cacian dan makian itu, Freeman mengatakan, "Saya belum pernah menerima cacian sebelum ini dan saya merasa takut dan rapuh. Ini adalah kondisi yang dirasakan oleh warga Muslim setiap harinya."
Lebih dari tiga juta warga Muslim tinggal di Inggris. Seperti yang dikatakan Nyonya Freeman tentang pengalamannya satu pekan sebagai seorang Muslim, mereka selalu menjadi sasaran tatapan, ujaran, dan perilaku berbau kebencian. Data Kementerian Dalam Negeri Inggris juga membuktikan fakta ini.
Kementerian Dalam Negeri Inggris mengatakan kejahatan rasial naik 29 persen dalam setahun terakhir. Laporan baru ini dikeluarkan bertepatan dengan peringatan National Hate Crime Awareness Week.
Data dari kepolisian di seluruh Inggris dan Wales mencatat hampir 80.400 kejahatan rasial dalam kurun waktu 2016 sampai 2017. Data ini menunjukkan kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah referendum Brexit dan serangan teror di Inggris.
Data tersebut bukan hanya soal angka-angka, ini adalah kejahatan yang telah membuat seorang ayah meninggal dunia ketika keluar dari masjid, seorang wanita Muslim keguguran ketika sedang berbelanja di sebuah toko, dan ada banyak Muslimah lain yang menjadi sasaran serangan di jalan-jalan.
Kondisi ini menyebabkan warga Muslim merasa tidak aman bahkan di rumah mereka sendiri. Persepsi negatif terhadap warga Muslim muncul bukan hanya karena tindakan kelompok-kelompok radikal, para politisi, dan kubu ekstrem kanan.
Media – dengan pendekatan politik dan propagandanya – memainkan peran yang menentukan dalam menyebarkan kebencian terhadap umat Islam di depan publik. Media-media Inggris menjadi pelopor dalam hal ini. Banyak riset menunjukkan bahwa peningkatan serangan terhadap Muslim di Inggris berhubungan langsung dengan laporan media yang menyebarkan Islamophobia.
Sentimen anti-Muslim sudah begitu tinggi sehingga kejahatan berlatar agama juga terjadi terhadap warga non-Muslim. Sayangnya, pendekatan Islamophobia sedang menyebar luas di tingkat pemerintah dan masyarakat Eropa.
Laporan Lembaga Penelitian Politik, Ekonomi dan Sosial (SETA) Jerman pada Oktober 2017 lalu, menunjukkan peningkatan sentimen anti-Muslim di Jerman di bidang pendidikan, media, hukum, dan internet.
Menurut laporan yang disusun oleh Alexandra Lewicki, seorang pakar sosiologi politik, sentimen anti-Muslim di Jerman telah meningkat secara bertahap sejak 2015 dan memengaruhi beragam Muslim, karena jumlah serangan terhadap mereka dan tempat penampungan pengungsi naik hingga lima kali lipat sejak 2015.
"Hingga 2014, tercatat 199 serangan terhadap tempat penampungan pengungsi. Namun, pada 2015, jumlah serangan mencapai 1.031 atau naik empat kali lipat," kata laporan tersebut seraya menambahkan jumlah serangan mencapai level maksimum pada 2016.
Polisi Federal Jerman mengumumkan bahwa jumlah serangan terhadap lembaga-lembaga Muslim sekitar satu hingga dua kasus per minggu. Jumlah serangan yang sebenarnya terhadap Muslim lebih tinggi karena banyak dari kasus serangan itu tidak dilaporkan ke polisi.
Pihak berwenang Jerman mencatat 17 serangan terjadi setiap pekan, sementara media-media Jerman mengabarkan sekitar 37 kasus serangan per minggu.
Laporan SETA juga mengungkapkan bahwa opini publik Jerman secara luas menyalahkan orang Islam mengenai kejahatan, meskipun tidak memiliki bukti, dan hal ini mendorong prasangka terhadap kaum Muslim.
Setengah dari warga Jerman mengadopsi pendekatan Islamophobia terhadap orang-orang Muslim. Laporan SETA menggarisbawahi bahwa sentimen anti-Muslim mempengaruhi urusan bisnis dan masyarakat.
Laporan itu menyarankan pemerintah Jerman untuk memperluas ruang lingkup undang-undang tentang langkah melawan diskriminasi agama dan ras, menyusun aturan yang diperlukan tentang perlindungan orang dari diskriminasi, dan mengadopsi sistem perlindungan masyarakat untuk menjaga mereka dari diskriminasi rasial.
Namun, negara-negara Eropa biasanya tidak menganggap penting atau tidak peduli terhadap laporan yang berkaitan dengan lonjakan serangan anti-Muslim dan lembaga-lembaga umat Islam. Dalam banyak kasus, mereka dengan sengaja mengabaikan hal itu dan pendekatan umum pemerintah Eropa sejalan dengan kampanye Islamophobia.
Setelah kubu sayap kanan dan sentimen anti-Islam meraih kemenangan di banyak negara Eropa, dunia harus bersiap menyaksikan lahirnya pendekatan anti-Muslim di tingkat pemerintah-pemerintah Eropa.
Partai sayap-kanan Alternative for Germany (AfD) telah menjadi partai terbesar ketiga di negara itu, setelah memenangkan 12,6 persen suara dalam pemilu parlemen pada 24 September 2017. Partai Kebebasan Austria (FPO) menempati posisi ketiga di parlemen negara itu setelah meraih 26 persen suara pada pemilu 15 September 2017.
Kemenangan partai-partai sayap kanan di Eropa akan memicu peningkatan gelombang sentimen anti-Muslim dan Islamophobia di Benua Biru itu. (RM)