Jun 10, 2019 15:01 Asia/Jakarta
  • Protes di kota Ferguson
    Protes di kota Ferguson

Warga kulit hitam Amerika Serikat paling rentan terhadap kekerasan polisi. Meraka paling banyak menjadi korban kekerasan polisi negara ini. Hanya beberapa tahun terakhir banyak kasus kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam. Di sisi lain, kasus-kasus yang belum terungkap pastinya lebih banyak.

Bulan Juni 2012 ditemukan jasad Rodney King, warga kulit hitam di sebuah kolam renang. Tahun 1992 King mendapat perlakuan keras dari polisi Los Angles yang memicu protes luas dan aksi kekerasan di kota ini. Berita ditemukannya jasad King menjadi berita utama di sebuah media massa Amerika Serikat.

 

Kasus kematian mencurigakan Rodney King, 47 tahun kembali menghidupkan kenangan pahit warga atas perilaku kekersan polisi terhadap dirinya selama beberapa tahun sebelumnya. 20 tahun llau, tepatnya 3 Maret 1992 di kota Los Angles, serangan brutal polisi terhadap Rodney King telah memicu protes terbesar di Amerika Serikat. Saat itu, Rodney King masih muda dan tengah berjalan pulang ke rumahnya. Saat itu, empat polisi yang mabuk mulai mengincar dirinya dan memukulinya hingga hampir meninggal. Kemudian polisi tersebut meninggalkan Rodney King yang hampir mati tersebut.

Aksi protes warga kulit hitam anti kekerasan polisi

Salah satu warga Los Angles malam itu menyaksikan aksi kekerasan polisi terhadap Rodney King dari jendela rumahnya. Ia berhasil merekam sejumlah adegan kekerasan tersebut. Kemudian ia menyerahkan rekaman tersebut kepada sebuah media. Publikasi rekaman tersebut yang dirilis ketika King tengah dilarikan ke rumah sakit oleh warga telah memicu kontroversial.

 

Kemudian polisi mulai mengidentifikasi pelaku dan menangkapnya. Tapi hasil persidangan justru menimbulkan kontroversial baru dan memicu aksi demo besar-besaran. Hakim dalam vonisnya membebaskan para pelaku karena mereka berdalih tengah mabuk saat melakukan aksinya dan hanya ingin bersenang-senang serta bergurau.

 

Vonis tak adil ini memicu kebencian dan protes luas warga Los Angeles. Untuk memadamkan aksi protes, polisi diterjunkan ke lapangan dengan peralatan penuh serta membantai warga tak berdosa. Akhirnya protes warga Los Angeles setelah enam hari dengan meninggalkan korban tewas 55 orang dan lebih dari dua ribu lainnya cidera akhirnya berhasil dihentikan setelah pasukan garda nasional dan marinir dilibatkan.

 

Contoh lain, pada bulan Juni 1999, LaTanya Haggerty, gadis 19 tahun kulit hitam tewas ditembak polisi di Chicago ketika tengah berbicara dengan telepon seluler di mobil. Sementara pelaku penembakan dibebaskan pengadilan karena beralasan keliru menilai korban dan menyangka telepon seluler tersebut adalah senjata.

 

Sehari setelah insiden ini, Robert Ross, polisi Chicago lainnya dilaporkan menembak mati seorang remaja kulit hitam yang tengah bergabung dengan tim sepak bola sekolahnya, gara-gara ia tidak menyadari instruksi polisi tersebut untuk turun dari mobil. Pelaku penembakan ini juga sama seperti polisi lainnya di Amerika yang menembak mati warga kulit hitam tanpa alasan yang jelas, mereka kemudian dibebaskan oleh pengadilan.

 

Kasus serupa juga terjadi di New York. Seorang polisi Amerika menembak mati seorang remaja kulit hitam, Dante Johnson dari belakang ketika ia bersama teman-temannya tengah berjalan-jalan. Contoh lain dari kekerasan polisi AS terhadap warga kulit hitam adalah tindak kekerasan polisi Detroit terhadap Malica Gress tahun 1992. Malica dilaporkan tewas akibat pendarahan parah setelah dipukuli polisi ketika dalam penahanan. Ia ditangkap polisi di pos lalu lintas.

Kulit Hitam korban kekersan polisi AS

Kasus lain terjadi tahun 1997, Abner Louima keliru ditangkap oleh Justin Volpe, polisi New York dan disiksa serta dilecehkan oleh polisi ini. Polisi New York berusaha keras untuk menutupi insiden ini dan mencegah terbongkarnya aib ini, namun pada akhirnya kasus ini berhasil dibongkar oleh media.

 

Tahun 2006 terjadi peristiwa menghebohkan di Amerika ketika Joseph Erin Hamley, pemuda 21 tahun kulit hitam dan penderita lumpuh otak ditembak mati oleh seorang polisi, Larry P Norman di West Fork, negara bagian Arkansas. Tahun 2008 Brian Sterner, seorang warga kulit hitam penderita cacat dan empat anggota badannya lumpuh ditangkap serta dibawa ke kantor polisi Florida karena melanggar peraturan lalu lintas. Di kantor polisi ia dilempar ke lantai bersama kursi rodanya dan kemudian disiksa.

 

Rekaman perilaku tak berperikemanusiaan ini dengan cepat tersebar di jejaring sosial dan media massa. Hal ini kemudian memicu kekhawatiran atas perlakuan sadis polisi Amerika terhadap penyandang cacat di penjara dan kamp penahanan.

 

Contoh lain kekerasan polisi Amerika yang hanya didasari oleh rasisme adalah peristiwa yang dialami oleh Robert Daivis, pensiunan guru kulit hitam yang dipukuli polisi New Orleans di tengah-tengah musibah badai topan Catrina. Gambar yang ada menunjukkan dua polisi kulit putih menangkap Daivis dan dua polisi lainnya memukulinya. Peristiwa ini direkam oleh sorang anggota Kantor Berita Associated Press dan disebarluaskan.

 

Kota Ferguson di negara bagian Missouri tahun 2014 menjadi ajang aksi demo terbesar dalam memprotes kekerasan polisi Amerika. Tahun itu, menyusul pengumuman vonis pengadilan yang membebaskan Darn Wilson, polisi kulit putih dan pelaku pembunuhan Michael Brown, remaja kulit hitam di kota Ferguson, membuat kota ini dilanda aksi protes dan kerusuhan luas.

 

Protes ini dengan cepat merembet ke kota-kota lain di Amerika dan hanya beberapa hari protes ini terjadi di hampir seluruh wilayah negara ini. Protes luas dan parahnya kerusuhan di kota Ferguson dan kota lain seperti Missouri mendorong pemerintah mengirim pasukan garda nasional untuk menumpas demonstran.

Selama aksi ini, para demonstran yang marah meneriakkan slogan anti diskriminasi polisi, pengadilan dan pemerintah Amerika. Bahkan di sejumlah kota, bendara Amerika dibakar massa. Merespon instabilitas dan kerusuhan yang meletus dari kota Ferguson, Presiden AS saat itu, Barack Obama seraya menjelaskan bahwa tidak ada justifikasi untuk pembakaran gedung, kendaraan, perusakan sarana publik dan ancaman bagi keamanan warga, menuntut tindakan hukum bagi pelaku kerusuhan.

 

Meski demikian kerusuhan di Ferguson berlanjut hinggat tahun berikutnya dan untuk selanjutnya setiap tahun kota ini digelar peringatan terbunuhnya Michael Brown. Bulan Agustus tahun 2014, hanya beberapa hari dari penembakan Michael Brown, sebuah vidoe pembunuhan seorang pemuda kulit hitam lainnya, Ezell Ford oleh polisi di Los Angeles kembali mengguncang publik dan memicu aksi demo besar-besaran di Amerika memprotes kekerasan polisi di negara ini.

 

Peristiwa ini dan berbagai peristiwa di tahun-tahun berikutnya menunjukkan bahwa kekerasan polisi Amerika terhadap kulit berwarna tidak pernah menurun dan pemerintah negara ini menyikapi dengan keras aksi warga yang memprotes tindakan brutal polisi. Terkait hal ini J. Jonhson, ketua kelompok aktivias AS mengatakan, "Perilaku polisi AS di seluruh negara ini tidak membaik. Sejatinya harus dikatakan bahwa sejak penembakan terhadap Michael Brown malah terjadi peristiwa serupa yang lebih banyak yang menarik perhatian publik dunia. Lantas bagaimana dapat dikatakan bahwa perilaku polisi membaik? Perilaku polisi tidak pernah membaik, tapi malah memburuk."

 

Sepertinya yang lebih mendorong kemarahan dan protes warga kulit hitam di Amerika selain kekerasan dan kriminalitas polisi adalah keputusan tak adil dan disriminatif pengadilan negara ini yang cenderung menguntungkan pelaku kejahatan serta merugikan warga kulit hitam.

 

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa protes warga kulit hitam sejatinya mengarah pada aksi diskriminasi dan rasis yang terbentuk di pemerintahan Amerika secara sistematis. Sejatinya dengan alasan apapun, kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam, baik itu ketika kubu demokrat berkuasa atau kubu Republik, terus berlangsung di seluruh wilayah Amerika. Di berbagai kasus, hakim bahkan tidak mengharuskan pelaku warga kulit putih untuk hadiri selama proses sidang pengadilan.