Aug 08, 2019 10:47 Asia/Jakarta
  • Protes warga kulit hitam AS
    Protes warga kulit hitam AS

Sejarah rasisme di Amerika berkaitan dengan gelombang migrasi orang-orang Eropa ke negeri ini dan pendirian negara Amerika Serikat. Orang kulit putih Inggris, Prancis, dan Spanyol berimigrasi ke negeri ini dengan mengklaim superioritas rasnya dan melakukan berbagai aksi kekejaman terhadap penduduk asli Amerika.

Mereka menyebut peradaban pribumi sebagai tugas imigran kulit putih dan karenanya menabur benih rasisme pertama di Amerika. Dengan deklarasi kemerdekaan dan pembentukan negara Amerika, rasisme tidak hanya dihapuskan di negara ini, tetapi justru diperkuat oleh perluasan perbudakan yang terjadi di abad ke-17.

 

 

Orang-orang Eropa imigran memperbudak benua Afrika dengan mempekerjakan secara paksa orang kulit hitam Afrika di ladang dan tambang baru. Antara tahun 1500 hingga 1800, sekitar lima belas juta orang kulit hitam Afrika dipindahkan ke benua Amerika. Meskipun perbudakan berakhir dengan Amandemen Ketigabelas Konstitusi AS pada tahun 1865, tapi rasisme tidak hilang dari masyarakat Amerika.

Banyak orang kulit hitam terus hidup dalam kemiskinan dan marjinalisasi, dan anak-anak mereka bahkan tidak diizinkan hadir di sekolah kulit putih. Orang kulit hitam juga dirampas hak-hak sipil lainnya. Hak properti untuk orang kulit hitam, misalnya, memiliki batasan khusus dan mereka tidak memiliki hak untuk memegang jabatan politik.

Kekerasan kulit putih rasis terhadap orang kulit hitam dan ketidakmampuan untuk membawanya masalah ini ke ranah hukum telah memberikan kontribusi lebih lanjut terhadap pelanggaran berkelanjutan dalam masalah keamanan dan kewarganegaraan kulit hitam. Pecahnya Perang Dunia II dan meluasnya partisipasi orang kulit hitam dalam perjuangan melawan Front Sekutu menciptakan harapan bagi etnis minoritas untuk mendapatkan status yang setara dengan orang kulit putih.

Namun, harapan ini tidak lebih dari fatamorgana. Ketika rasisme terus bercokol di tengah masyarakat Amerika, komunitas kulit hitam telah menyadari diperlukannya perjuangan baru untuk memberantas diskriminasi ras termasuk dengan melancarkan perjuangan gerakan hak-hak sipil.

Gerakan hak-hak sipil 1955-1968 adalah tonggak penting dalam sejarah perjuangan kulit hitam Amerika. Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Martin Luther King, seorang pendeta dan pejuang Amerika, telah mengambil langkah besar dalam menghapus diskriminasi terhadap orang kulit hitam dan menyuarakan hak sipil mereka dengan memberlakukan aturan hak-hak sipil.

Tetapi selama gerakan ini, rasisme di tengah masyarakat Amerika terus meminta korban. Malcolm X, seorang Muslim terkemuka dan aktivis hak-hak kulit hitam dibunuh pada tahun 1965. Pemimpin gerakan hak sipil Martin Luther King yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian untuk kegiatannya juga dibunuh pada tahun 1968. Pembunuhan kedua tokoh ini menunjukkan betapa dalamnya masalah rasialisme di AS.

Meskipun diskriminasi rasial terhadap minoritas mencoba dihilangkan dengan adanya Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, tapi secara praktis diskriminasi terhadap minoritas di tengah masyarakat Amerika terus berlangsung. Misalnya, menurut Laporan Deutsche Welle, dari tahun 1974 hingga 2018, pendapatan rata-rata orang kulit hitam di tahun-tahun tersebut masih termasuk yang terendah di Amerika.

Selain itu, menurut laporan Biro Penjara AS 2011, sekitar 40 persen dari semua tahanan AS berkulit hitam. Populasi minoritas, menurut sensus 2010, hanya 12 persen dari populasi AS. Juga, menurut laporan yang sama, pendapatan rata-rata orang Amerika adalah sekitar $26.000 per tahun, sedangkan rata-rata orang Afrika-Amerika hanya berpenghasilan sekitar $ 17.000 per tahun. Kondisi politik, ekonomi, dan yudisial yang tidak adil di AS selama beberapa dekade terakhir telah menyebabkan sedikitnya lima puluh persen anak-anak kulit hitam hidup dalam kemiskinan.

Menurut statistik resmi, tingkat pengangguran di antara orang kulit hitam jauh lebih tinggi daripada orang kulit putih, dan pendapatan yang diperoleh orang kulit hitam jauh lebih rendah, bahkan dalam beberapa kasus separuh dari kulit putih.

Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh situs Pundit Fact AS pada 26 Agustus 2014 oleh Katie Sanders, rata-rata 36 jam pada 2012 dan 28 jam di tahun 2013, warga kulit hitam terbunuh oleh polisi Amerika. 

Bukti menunjukkan bahwa AS, meskipun memiliki klaim yang tinggi tentang hak asasi manusia dan martabat manusia masih menempati urutan teratas dalam daftar negara yang terlibat dalam rasisme dan pelanggaran hak-hak minoritas.

 

Unjuk rasa di Washington untuk menuntut penghapusan diskriminasi 

 

Pada April 1999, Pusat Kepolisian New Jersey melakukan penelitian yang mengkonfirmasi rasisme polisi. Kriteria petugas kepolisian New Jersey untuk menghentikan mobil dengan dugaan narkotika atau penyelundupan adalah persentase yang sangat tinggi dari ras pengemudi. Orang kulit hitam, Afrika, dan Latin, lebih dari pengemudi lain menerima peringatan berhenti untuk inspeksi kendaraan mereka.

Dalam salah satu inspeksi tahun 1998, yang menjadi sorotan di Amerika Serikat, petugas polisi menembak seorang pria Latin dan Hitam di jalan raya New Jersey tanpa pemberitahuan sebelumnya yang menyebabkan ketiganya terluka parah. Hasil investigas menemukan bahwa ketiganya sedang menuju ke pertandingan bola basket di New Jersey.

Ini adalah satu sisi cerita bahwa orang kulit berwarna yang tidak bersalah, tidak bersenjata atau minoritas lainnya terluka atau terbunuh oleh polisi. Di sisi lain, ada jenis peradilan diskiriminatif terhadap polisi yang bersalah.

Pada tahun 1999, empat polisi Kota New York menembak dan membunuh 41 imigran Amadou Diallo. Tapi keempat polisi itu dibebaskan. Pembebasan mereka membuka jalan bagi tindakan kekerasan dan diskriminasi lebih lanjut terhadap minoritas. Salah satu masalah utama di AS, tampaknya mengenai kelemahan sistem peradilan, setidaknya dalam penilaian yang dibuatnya untuk menangani polisi minoritas terhadap minoritas.

Polisi membubarkan unjuk rasa anti-diskriminasi

 

Meskipun terjadi protes, perlakuan diskriminatif terhadap sistem peradilan AS dan dukungannya bagi petugas polisi yang bersalah terus berlanjut. Jika kasus serupa  terjadi di negara berkembang, maka AS akan dengan cepat menyebarkannya melalui corong media mereka.

Namun, dalam banyak kasus, kelemahan dan ketidakadilan peradilan Amerika dalam masalah petugas kepolisian mudah disembunyikan. Pada tahun 1973, seorang petugas kepolisian Kota New York bernama Thomas Shea membunuh seorang anak kulit hitam berusia sepuluh tahun.

Untuk membela diri, dia mengklaim anak itu bermaksud untuk menembaknya. Aspek yang disayangkan dan umum dari semua ini adalah bahwa korban tidak bersalah dan tidak bersenjata. Sangat disayangkan pula, sebelum pembunuhan anak berusia 10 tahun ini, Thomas Shiea diinterogasi karena membunuh anak lain yang berusia 14 tahun, sebelum pergi ke pengadilan karena membunuh seorang anak berusia 22 tahun yang diduga melakukan perampokan. Tapi ia dengan cepat dibebaskan dan kembali bekerja.

Tampaknya, polisi di pengadilan AS telah menjadi simbol bagi para hakim negara ini yang tidak dapat disangkal sehingga harus dibebaskan dari tuduhan apa pun, bahkan kasus pembunuhan terhadap korban yang tidak bersalah. Tentu saja, jarang ada kasus di mana petugas kepolisian mengungkap kejahatan rasis rekan-rekan mereka dalam pembunuhan minoritas yang tidak bersalah.(PH)