Amerika Imperial Rasis (10)
Edisi kali ini menelisik tentang dampak kebebasan menguasai senjata api oleh warga dan metode pendidikan polisi terhadap peningkatan kekerasan aparat keamanan Amerika Serikat.
Kata "senjata api" sudah tidak asing lagi bagi warga Amerika. Kepemilikan senjata api menyatu dengan budaya mereka dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah AS.
Masyarakat AS merasa tidak aman pada tahun-tahun pertama berdirinya negara itu. Memiliki senjata api adalah sebuah urgensitas karena perang internal serta krisis sosial dan politik seperti, bahaya yang mengancam kemerdekaan AS dan diskriminasi rasial secara sistematis terhadap warga kulit hitam, yang dibawa ke AS sebagai budak.
Jadi, senjata api wajib dimiliki karena instabilitas sosial dan politik serta rasa takut terhadap aksi kekerasan dan perlakuan diskriminatif.
Para pemilik tanah juga wajib menenteng senjata untuk melindungi ladangnya, di mana sering kali diperoleh melalui perang berdarah dan sebagai rampasan perang. Jadi, senjata sudah menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup.
Di masyarakat modern Amerika, alasan membawa senjata api bukan lagi soal membela diri atau masa lalu yang penuh konflik, tetapi rasa tidak aman dan pengucilan sosial telah menghidupkan budaya penggunaan senjata api.
Ancaman terbuka dan terselubung terhadap keamanan pribadi telah meningkatkan permintaan akan senjata otomatis dan mendorong para produsen untuk memproduksi lebih banyak demi keuntungan yang lebih besar. Menurut penelitian The Small Arms Survey yang dilakukan pada 2017, ada lebih dari satu miliar senjata api di dunia, di mana 85 persennya berada di tangan warga sipil dan sisanya di tangan tentara dan polisi.
Dari jumlah itu, warga Amerika memiliki lebih dari 270 juta pucuk senjata pribadi. Dengan demikian, ada 120 pucuk senjata api dari setiap 100 orang Amerika.
Aeron Curp, salah satu kontributor dalam riset ini percaya bahwa penyumbang terbesar bagi peningkatan kepemilikan senjata di kalangan sipil di dunia adalah kepemilikan senjata oleh warga di Amerika Serikat. Menurutnya, dalam setiap tahun saja, warga Amerika membeli sekitar 5 juta senjata impor baru.
Salah satu penyebab utama tingginya angka kekerasan di AS adalah kebebasan memiliki senjata api, terutama oleh oarang-orang yang tidak berpendidikan. Tren kekerasan yang semakin naik dan meluasnya penggunaan senjata api di AS, telah menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan pribadi dan sosial warganya. Namun, hak atas keamanan yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar, selalu dilanggar di Amerika.
Berdasarkan laporan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada 2016, 30.000 orang terbunuh oleh senjata api di AS setiap tahun dan lebih dari 700 orang terbunuh secara tidak sengaja - ketika membersihkan atau mengisi ulang senjata mereka.
Amandemen Kedua Konstitusi AS tentang hak individu untuk memegang dan membawa senjata pada 15 Desember 1791, merupakan bagian dari 10 amandemen yang tertuang dalam Deklarasi Hak-Hak AS.
Amandemen kedua ini berbunyi, "Sebuah milisi yang diatur dengan regulasi yang baik diperlukan untuk keamanan negara yang bebas, hak rakyat untuk menyimpan dan membawa senjata harus dihormati."
Kebijakan keliru pemerintah AS tentang perdagangan bebas senjata api telah mendorong polisi untuk mengadopsi perilaku yang lebih agresif dalam menghadapi orang-orang yang dicurigai.
UU kepemilikan senjata api membuat aparat polisi AS sangat skeptis dan curiga terhadap siapa pun dengan gerak-gerik sekecil apapun, terutama dari ras minoritas. Mereka dicurigai membawa senjata api dan dianggap ancaman.
Kebanyakan polisi kulit putih menganggap ras minoritas sebagai "individu yang berbahaya" di mana undang-undang kepemilikan senjata api memberi mereka kebebasan untuk berbuat kriminal. Oleh sebab itu, polisi AS langsung melepaskan tembakan terhadap orang yang dicurigai, tanpa memberikan kesempatan apapun kepadanya.
Polisi AS telah menciptakan teror di masyarakat dengan menggunakan instrumen yang tidak rasional seperti senjata listrik dan tembakan terhadap orang yang dicurigai dari ras minoritas.
Kekerasan polisi di tiga negara bagian AS lebih luas dan lebih parah yaitu di New York, Illinois, dan California. Karena kepadatan penduduk, aktivitas dan tingkat kekerasan polisi terhadap ras minoritas terlihat sangat nyata.
Kekerasan polisi AS mendorong masyarakat untuk memprotes tindakan mereka pada 2 Oktober setiap tahun, yang disebut Hari Internasional Anti-Kekerasan. Masyarakat menyerukan perbaikan situasi saat ini dan menuntut polisi AS untuk mengambil sebuah pendekatan baru dalam berurusan dengan warga.
Seorang sisiolog Amerika, Arthur Kobler percaya bahwa brutalitas polisi di AS berakar pada kurangnya pengawasan di dalam pemerintahan, bukannya berakar pada persoalan hukum dan struktur hukum yang berbeda di setiap negara bagian. Masalah ini menyulitkan publik Amerika untuk menerima polisi sebagai sebuah lembaga netral.
Surat kabar The Washington Times dalam sebuah laporan pada 2014 menulis, "Pasukan polisi di seluruh Amerika Serikat melakukan militerisasi dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, seringkali tanpa sepengetahuan orang-orang yang menggaji mereka."
Tim Lynch, direktur Proyek Peradilan Pidana di Cato Institute mengatakan, polisi melakukan militerisasi dengan sedikit pengawasan atas penggunaan kekuatan mereka.
Laporan The Washington Times juga menyoroti metode pendidikan polisi AS yang mendorong mereka bertindak keras terhadap setiap gerak-gerik yang mencurigakan.
Menurut Lynch, polisi harus dibekali dengan pemahaman yang tepat tentang perilaku yang mencurigakan dan metode menanganinya secara rasional, karena banyak dari perilaku itu dianggap mencurigakan hanya dari pemahaman sepihak. Namun, polisi hanya dididik untuk bertindak tegas dengan kekerasan dan menggunakan peralatannya untuk menumpas setiap aksi.
Dalam laporannya, Lynch juga mempertanyakan penggunaan kendaraan lapis baja pengangkut personel oleh polisi AS dan memperingatkan tentang bahaya dari penggunaan peralatan militer oleh polisi.
"Beberapa dewan kota di AS hanya mengetahui peralatan apa yang dimiliki oleh polisi mereka dan apa yang telah mereka lakukan setelah tragedi terjadi," kata Lynch. "Kemudian anggota dewan kota mulai mengajukan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan sebelum semua terjadi," tambahnya.
"Pasukan polisi AS terus meningkatkan pelatihan yang dilakukan oleh militer dan hal ini sangat mengkhawatirkan, karena militer dan polisi memiliki dua peran yang benar-benar berbeda," tegas Lynch.
Tuntutan warga kulit hitam Amerika dan ras minoritas lainnya dan bahkan banyak orang kulit putih yang mengambil bagian dalam protes jalanan tersebut adalah bahwa polisi AS harus menghindari kekerasan fisik sebisa mungkin.
Masyarakat juga menuntut pengusutan terhadap kasus kriminal yang melibatkan polisi dan mengadili mereka. Masyarakat juga memprotes tim khusus polisi AS yang mendatangi rumah-rumah warga non-kulit putih dengan alasan mencari buron.
Tim khusus polisi bahkan menggunakan granat tangan dan granat asap dalam serbuan mereka di rumah-rumah penduduk, yang kadang memiliki konsekuensi yang fatal. Misalnya pada Mei 2014, petugas polisi Georgia (AS) melemparkan granat tangan ke sebuah rumah tanpa memberi peringatan apapun dengan alasan mengejar mafia narkoba. Granat itu jatuh ke ranjang balita yang mengakibatkan ia terluka parah dan koma.
Polisi bahkan tidak memberi ibu balita kesempatan untuk melihat putranya itu, dan dia langsung ditangkap dan dibawa pergi oleh polisi. Meskipun ada tekanan dari publik, polisi AS menolak untuk meminta maaf atas kesalahan itu. (RM)