Aug 27, 2019 14:27 Asia/Jakarta
  • Banyak warga kulit hitam terbunuh di tangan polisi AS.
    Banyak warga kulit hitam terbunuh di tangan polisi AS.

Seperti dijelaskan di edisi sebelumnya, kekerasan polisi terhadap kaum minoritas di Amerika Serikat terus tumbuh sejak berakhirnya Perang Dunia II. Praktek ini bahkan naik secara sistematis bersamaan dengan diskriminasi rasial, agama, politik serta kesenjangan sosial dan ekonomi.

Di akhir abad ke-20, masyarakat Amerika menyaksikan fenomena militerisasi polisi dan membekali polisi dengan peralatan standar militer. Berdasarkan sebuah undang-undang yang disahkan pada 2008, Departemen Pertahanan AS (Pentagon) diizinkan untuk memberikan peralatan militer yang tidak terpakai kepada polisi, termasuk senjata dan kendaraan militer.

Pasca peristiwa 11 September 2001, Kepolisian AS mulai meningkatkan penggunaan personel dengan pengalaman dan keahlian militer serta keterampilan khusus dengan alasan menciptakan keamanan dan memerangi terorisme. Sejak itu unit polisi khusus atau SWAT (Senjata dan Taktik Khusus) mulai beroperasi. Unit ini kadang diterjunkan hanya untuk memastikan keberhasilan sebuah operasi dalam melawan kriminal tanpa kekerasan.

Militerisasi polisi di AS membawa banyak konsekuensi yang buruk. Di antaranya adalah personel polisi selalu menaruh rasa curiga kepada warga dan kekerasan mereka terhadap etnis minoritas juga meningkat.

Jelas bahwa pasukan khusus yang tidak memiliki keterampilan polisi dan penegakan hukum, tidak akrab dengan aksi-aksi protes di daerah perkotaan. Mereka cenderung memandang aksi ini sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, apalagi aksi yang melibatkan warga minoritas. Pola pikir ini mendorong pasukan khusus polisi meningkatkan kekerasan terhadap warga.

Sejalan dengan kebijakan militerisasi polisi, beberapa pejabat AS mengatakan bahwa polisi AS bisa belajar dari pengalaman rezim Zionis Israel dan bahkan beberapa program pelatihan dilakukan di bawah bimbingan pelatih Israel.

Polisi AS membunuh warga kulit hitam yang tidak bersenjata.

Pensiunan kolonel Korps Marinir AS, Oliver North dalam sebuah wawancara dengan majalah Times Israel pada 2015, terang-terangan meminta polisi AS untuk belajar dari militer rezim Zionis.

Seorang analis senior Amerika, Gordon Duff dalam sebuah artikel, Israelification of American Domestic Police Departments yang terbit di situs Veterans Today pada 14 Agustus 2016 menulis, "Perlahan, setiap personel polisi di departemen kepolisian AS, atas perintah Departemen Keamanan Dalam Negeri, sedang dilatih oleh tim pelatih Israel. Sebagai bagian dari pelatihan ini, ada peningkatan gerakan untuk menggunakan seragam militer, kendaraan lapis baja, senjata berat, pengawasan ilegal, berbohong kepada orang-orang, pers dan pengadilan, dan gangguan sistematis dalam sistem pemilu."

Setelah peristiwa 11 September 2001 dan di era pemerintahan George W. Bush, pasukan polisi AS dilatih oleh kelompok-kelompok Israel. Pelatihan ini dilakukan atas perintah Michael Chertoff, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, seorang warga Amerika-Israel. Tujuannya adalah untuk melatih pasukan polisi agar lebih lihai dalam mengontrol demonstrasi jalanan, melawan terorisme, dan mengumpulkan informasi.

Situs berita BBC pada 26 Mei 2015 menerbitkan sebuah artikel yang mengutip pernyataan Seth Stoughton, mantan perwira polisi dan profesor hukum di University of South Carolina. Dia mengungkap fakta baru tentang bagaimana peran pelatihan polisi berkontribusi pada kematian yang dapat dihindari.

Stoughton menuturkan bahwa tentang prinsip pertama yaitu kelangsungan hidup petugas dari setiap serangan dan ancaman potensial oleh warga. Namun, prinsip ini pada akhirnya membahayakan warga sipil alih-alih melindungi keselamatan petugas.

"Budaya prajurit - kepercayaan bahwa petugas polisi adalah tentara yang terlibat dalam pertempuran dengan unsur kriminal - telah berkontribusi pada beberapa penembakan yang kemungkinan besar dapat dihindari," ungkapnya.

"Pelatihan menghabiskan waktu rata-rata sekitar 60 jam dengan kekuatan mematikan - penggunaan senjata api - dan lebih dari 60 jam untuk pertahanan diri. Bandingkan dengan pelatihan peningkatan resolusi konflik: rata-rata hanya ada delapan jam pelatihan, dan sebagian besar itu berbasis kelas," jelas Stoughton.

Karena pelatihan semacam inilah polisi AS memiliki korban terendah dalam misi-misi mereka, dibandingkan dengan polisi di negara-negara lain.

Kekerasan polisi Amerika terhadap warga minoritas.

Media Rusia, Sputnik dalam sebuah laporan pada 19 Juli 2018 menulis bahwa bahaya nyata kematian warga Amerika di tangan polisi dua kali lebih tinggi dari yang dilaporkan dalam database resmi Departemen Kehakiman AS.

Dalam sebuah studi oleh tim sosiolog dari Universitas Cornell dan Washington menemukan bahwa pria Latin dan kulit hitam berisiko lebih besar terbunuh oleh polisi AS daripada orang kulit putih.

Polisi Amerika rata-rata membunuh 2,8 orang per hari. Polisi bertanggung jawab atas sekitar 8 persen dari semua pembunuhan dengan korban pria dewasa antara 2012 dan 2018. Risiko kematian pria kulit hitam adalah antara 1,9 dan 2,4 kematian per 100.000 orang per tahun, risiko pria Latin antara 0,8 dan 1,2, dan risiko pria kulit putih antara 0,6 dan 0,7 persen.

Data ini menunjukkan bahwa pria kulit hitam, rata-rata, tiga kali lebih mungkin dibunuh oleh polisi daripada pria kulit putih. Risiko pria Latin terbunuh oleh polisi adalah sekitar 40 persen lebih tinggi daripada risiko yang dihadapi oleh pria kulit putih.

Presiden Barack Obama pada 7 Juli 2016, menyerukan reformasi di tubuh kepolisian AS menyusul kasus penembakan terhadap seorang warga kulit hitam oleh polisi di Minnesota.

"Negara kita sudah terlalu sering menyaksikan tragedi semacam ini. Selama ini kaum kulit hitam telah lama dipinggirkan dan warga kulit putih di AS perlu memperhatikan kondisi ini dan tak memandangnya sebelah mata. Ini bukan semata-mata persoalan warga kulit hitam saja. Ini juga bukan perkara kaum Hispanik saja, ini adalah masalah di Amerika Serikat, kita semua harus peduli dengan itu," kata Obama di Warsawa, Polandia di sela Konferensi Tingkat Tinggi NATO.

Di samping masalah diskriminasi rasial dan pola pendidikan yang tidak tepat, budaya penggunaan senjata api dan undang-undang kebebasan memiliki senjata, berkontribusi pada peningkatan kekerasan polisi di Amerika. Kebebasan penggunaan senjata api di AS selain meningkatnya kekerasan polisi, juga selalu memicu penembakan massal di antara sesama warga.

Aksi protes menentang kekerasan polisi Amerika.

Ketua American Medical Association, Steven J. Stack pada Mei 2016 mengatakan, "Dengan sekitar 30.000 pria, wanita, dan anak-anak terbunuh setiap tahun oleh senjata api di sekolah dasar, bioskop, tempat kerja, rumah ibadah, dan di acara televisi, Amerika Serikat menghadapi krisis kesehatan masyarakat akibat kekerasan senjata."

Dapat dikatakan bahwa rasisme akut dan bentuk-bentuk barunya di AS, tidak adanya undang-undang transparansi dalam menindak polisi yang bersalah, berlanjutnya praktek diskriminasi terhadap minoritas, perlindungan pengadilan untuk polisi yang bersalah, kebebasan untuk memiliki dan membawa senjata api, pelatihan petugas polisi yang tidak tepat, penggunaan peralatan militer di kepolisian, dan militerisasi polisi adalah di antara faktor utama yang memicu meningkatnya kekerasan polisi terhadap warga sipil, terutama minoritas.

Perlu dicatat bahwa media telah memutarbalikkan fakta tentang kekerasan polisi AS. Personel polisi AS di film-film Hollywood digambarkan bukan sebagai pelaku kekerasan, tetapi sebagai penegak hukum sejati yang melindungi hak-hak warga sipil.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidato pada 25 November 2015 mengatakan, "… Di film-film Hollywood, ketika polisi datang dan ingin menangkap satu orang, kalimat pertama yang mereka katakan adalah hati-hati, apapun yang engkau ucapkan dapat digunakan untuk melawanmu di pengadilan, yakni sebaik itukah polisi AS, apakah benar polisi AS seperti itu? Ini adalah film-filam Hollywood.

Polisi Amerika setelah memborgol satu orang, ia akan dipukuli, ditembak, dan dibunuh. Polisi menembak dan membunuh seseorang karena adanya senjata mainan di sakunya. Inilah polisi Amerika. Film-film mereka secara bohong mencitrakan kesan baik pada pengadilan, polisi, dan lembaga-lembaga pemerintah…" (RM)

Tags