Jul 04, 2019 17:55 Asia/Jakarta
  • Stop Islamphobia
    Stop Islamphobia

Tingkat kekerasan terhadap komunitas Muslim di Amerika Serikat sampai saat ini masih menjadi perdebatan di antara lembaga riset. Berbagai lembaga riset ini memberikan data beragam mengenai tingkat kekerasan terhadap muslim di Amerika.

Menurut data-data tersebut, komunitas Muslim di Amerika sekitar enam hingga sepuluh juta jiwa. Para pemimpin komunitas Muslim dan lembaga pembela Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan jumlah populasi warga Muslim di Amerika mendekati angka sepuluh juta jiwa. Jumlah ini sepertinya rasional mengingat eskalasi imigrasi Muslim ke AS sejak dekade 60-an, meningkatkan kecenderungan terhadap Islam serta laju populasi baru Muslim serta tingginya angka kelahiran di antara Muslim Amerika.

 

Poin penting lainnya terkait komunitas Muslim Amerika adalah masyarakat ini di banding dengan populasi total Amerika cenderung lebih muda, di mana 60 persen dari total populasi Muslim AS berusia antara 18-39 tahun. Mayoritas mereka adalah pelajar dan mahasiswa. Data juga menunjukkan sepertiga masyarakat muslim Amerika lahir di negara ini.

Dari sisi keragaman etnis, minoritas Muslim Amerika terdiri dari 30 persen kulit putih, 23 persen keturunan Afrika-AS, 21 persen Asia, 7 persen Spanyol dan 19 persen dari etnis lainnya. Mayoritas Muslim Amerika adalah imigran yang berhijrah ke negara ini dari selatan atau barat Asia ataupun dari anak serta generasi ketiga para imigran tersebut.

 

Menurut laporan lembaga riset PEW yang dirilis tahun 2014, Muslim di Amerika Serikat lebih konvergen daripada rekan mereka di Eropa Barat dengan komunitas tuan rumah. Masih menurut sumber ini, imigran Muslim yang memasuki Amerika menyatu dengan garis utama masyarakat Amerika. Mereka berbeda dengan imigran muslim di Eropa yang cenderung mempertahankan dan mengambil jarak dari sisi budaya dan ekonomi dengan masyarakat tuan rumah. Imigran muslim di Amerika cenderung berbaur dengan masyarakat lokal.

 

Meski mayoritas imigran muslim di Amerika cenderung konvergen dengan nilai-nilai budaya masyarakat lokal, namun begitu mereka masih menghadapi diskriminasi dan kekerasan polisi. Perlakuan buruk ini selama beberapa tahun terakhir semakin meningkat, khususnya pasca insiden 11 September 2001 yang menurut laporan resmi Kongres, Arab Saudi memiliki peran di dalamnya. Dengan demikian kekerasan dan perlakuan buruk polisi Amerika terhadap etnis Muslim semakin meningkat.

 

Alasan terbentuknya persepsi buruk dan pandangan diskriminatif di masyarakat AS terhadap Muslim dikarenakan pendekatan tak adil dan bias media Amerika serta tokoh Zionis yang memiliki pengaruh terhadap peristiwa dan transformasi Muslim serta negara-negara Islam. Bahkan sejumlah media ini dengan asumsi yang telah diprogram dan sepenuhnya disengaja, seluruh peristiwa teror di berbagai belahan dunia dinisbatkan kepada Muslim dan mereka ini memainkan peran penting dalam menyebarkan gelobang Islamphobia di dunia.

 

Menyusul insiden 11 September, muslim Amerika mengalami kendala baru Islamphobia di berbagai bidang sosial dan politik. Selain itu, kejahatan kelompok teroris Takfiri di Irak dan Suriah selama beberapa tahun terakhir kian memperparah kondisi ini. Akibat fenomena ini, mayoritas muslim yakni muslin non kulit putih di Amerika saat ini menghadapi represi dua kali lipat. Hal ini karena bukan saja dari sisi agama, bahkan karena etnis mereka terhitung kaum minoritas. Mereka terkadang mendapat perlakuan diskriminatif karena agama atau etnisnya serta perlakuan buruk polisi.

 

Berdasarkan undang-undang sipil yang diratifikasi tahun 1964 dan ditandatangani oleh Lyndon B. Johnson, presiden Amerika saat itu, segala bentuk diskrimansi etnis, warna kulit, agama, gender dan keturunan seseorang di Amerika dilarang. Namun perilaku diskriminatif dan kekerasan polisi Amerika yang terus meningkat terhadap kaum minoritas etnis dan agama menunjukkan bahwa setelah lebih dari setengah abad dari peratifikasian undang-undang ini, peraturan tersebut dalam prakteknya tidak dihormati meski para pemimpin Amerika berusaha memamerkan perealisasiannya.

 

Barack Obama, mantan presiden Amerika dalam sebuah acara tahun 2014 bertepatan dengan penandatanganan UU hak Sipil ke 50 di perpustakaan Lyndon B. Johnson di Texas, menyampaikan pidato di samping Bill Cliton, mantan presiden AS kulit putih. Meski demikian semua pihak menyadari bahwa dalam praktek undang-undang ini tidak mencakup kondisi minoritas termasuk muslim Amerika.

 

Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa lebih dari separuh warga Amerika menilai peratifikasian UU hak Sipil sebagai peristiwa positif di sejarah negara mereka dan meyakini bahwa setelah beberapa waktu berlalu, implementasi undang-undang ini di AS semakin baik. Misalnya sebuah jajak pendapata yang digelar oleh televisi CBS tahun 2016 menunjukkan 52 persen warga AS optimis dengan pencabutan segala bentuk diskriminasi di negaranya, namun 48 persen responden meyakini diskriminasi akan tetap mendominasi masyarakat Amerika.

 

Bagaimanapun juga ketika UU hak sipil menjamin warga untuk mengekspresikan keyakinan mereka, kebebasan beragama dan aksi demo damai, namun demikian dalam prakteknya hak kaum minoritas Muslim di Amerika masih tetap dilanggar. Berdasarkan laporan Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) yang bermarkas di Washington terkait kondisi Muslim di AS selama bertahun-tahun pasca insiden 11 September menunjukkan tahun 2004 tercatat pelanggaran sipil terbesar terhadap minoritas Muslim di Amerika. Angka ini naik 50 persen dibanding dengan tahun 2003.

Tahun 2003 pengaduan masyarakat Muslim terhadap lembaga pelaksana hukum hanya 7 persen dari seluruh pengaduan. Sementara angka ini di tahun 2004 mencapai 26 persen. Mayoritas kenaikan data di tahun 2004 soal pelanggaran hak sipil muslim di Amerika berkaitan dengan penangkapan dan interogasi tanpa alasan, penahanan, penggeledahan rumah dan kendaraan serta perampasan harta benda.

 

Tahun 2003 dilaporkan ada 1019 kasus yang mencakup aksi kekerasan, diskriminasi, dan pelecehan terhadap muslim oleh polisi merika dan warga. Proses ini terus berlanjut selama bertahun-tahun sesudahnya. Tahun 2012, polisi federal Amerika (FBI) dalam laporannya mengakui, aksi kekerasan terhadap muslim Amerika hanya salah satu bukti dari pelanggaran hak sipil. Dari 107 kasus di tahun 2009 meningkat menjadi 160 kasus di tahun 2010.

 

Padahal selama kurun waktu tersebut, aksi-aksi kekerasan terhadap etnis Yahudi turun empat persen. Memperhatikan laporan warga dan lembaga independen serta aksi aparat keamanan dan polisi Amerika yang suka menyembunyikan fakta, data sejati kekerasan terhadap warga muslim di negara ini pastinya lebih banyak dari angka yang diumumkan di berbagai laporan resmi.

 

Berdasarkan hasil riset pakar kriminal Amerika di 20 negara bagian dan kota New York yang hasilnya dirilis pada November 2016 oleh Koran HuffPost, aksi kriminal akibat kebencian terhadpa Muslim di Amerika pasca insiden 11 September 2001 hingga perilisan laporan ini meningkat 89 persen.

 

Laporan ini menyebutkan bahwa eskalasi Islamphobia pasca serangan 11 September, agresi AS ke Afghanistan dan Irak, serangan teror tahun 2016 di Amerika dan Eropa serta kejahatan kelompok teroris Daesh (ISIS) di Suriah dan Irak termasuk alasan meningkatkan angka kejahatan akibat kebencian terhadap muslim di Amerika.

 

Di bagian laporan tersebut dijelaskan, ketidaktahuan terkait agama Islam dan tidak adanya interaksi dengan muslim di samping propaganda dan aksi minoritas dari ekstrimis dan kekerasan mereka telah menciptakan dampak besar dalam menumbuhkan pandangan menyimpang, interpretasi keliru dan kekahawatiran terkait muslim Amerika.

Dalam hal ini, CAIR yang merupakan organisasi terbesar muslim di Amerika dalam statemennya November 2016 menyatakan, bagian terpenting dari kekerasan dan kejahatan terhadap muslim di tahun 2015 berkaitan dengan kampanye pemilu Donald Trump.

 

Berdasarkan laporan lainnya oleh Kelompok Hak-Hak Sipil Muslim Amerika yang dirilis tahun 2016 kejahatan terkait kekerasan polisi Amerika terhadap muslim selama tahun-tahun sesuedah 2001 hingga perilisan laporan ini meningkat 121 persen. Laporan ini menekankan, berbagai faktor seperti insiden 11 September dan agresi Amerika ke Afghanistan dan Irak membantu peningkatan kekerasan terhadap Muslim Amerika.

 

Peningkatan perlakuan diskriminatif dan kekerasan polisi Amerika yang disertai dengan kampanye bias serta luas tokoh anti Islam telah menggerakkan kelompok sayap kanan dan rasis ekstrimp untuk melakukan kekerasan lebih besar terhadap etnis Muslim. Di kondisi seperti ini mayoritas pengaduan muslim atas tindak kekerasan polisi juga tidak berhasil, karena pendekatan rasis pengadilan Amerika di mayoritas kasus mencegah perwira polisi yang bersalah untuk dihukum.

 

Salah satu faktor mendasar eskalasi kekerasan polisi terhadap muslim dan pelanggaran hak sipil mereka di masyarakat Amerika adalah wewenang khusus yang dilimpahkan kepada mereka oleh Kongres pasca insiden 11 September. Selain itu, maraknya Islamphobia dan pandangan buruk terhadap muslim akibat kejahatan kelompok teroris Daesh di samping pembatasan imigran oleh pemerintah Trump terhadap umat Islam kian membantu maraknya kekerasan terhadap Muslim di Amerika.

 

 

Tags