Jul 14, 2019 17:36 Asia/Jakarta
  • Data Islamophobia di Amerika
    Data Islamophobia di Amerika

Sebelumnya kita telah mengkaji proses terbentuknya Islamphobia dan pelanggaran hak sipil Muslim di Amerika Serikat. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas eskalasi Islamophobia dan kekerasan polisi Amerika terhadap minoritas Muslim dari berbagai dimensi.

Aksi kekerasan polisi Amerika Serikat terhadap minoritas Muslim di negara ini yang terus meningkat mendorong Human Rights Watch (HRW) tahun 2014 menyatakan aksi kekerasan polisi dan kekerasan lainya terhadap muslim di Amerika sebagai bentuk nyata dari pelanggaran HAM dan mengharuskan pemerintah AS melakukan langkah-langkah pencegahan lebih banyak di bidang ini.

 

Selama beberapa tahun pasca insiden teror mencurigakan 11 September 2001 dan pengumuman perang oleh Presiden George Bush waktu ini terhadap terorisme, petinggi Washington dengan menebar Islamophobia memicu keraguan dan prasangka buruk terhadap Muslim di tengah masyarakat Amerika.

Protes Muslim AS atas maraknya Islamophobia

Di masa kampanye pilpres tahun 2008, 2012 dan 2016, Islamophobia merupakan salah satu strategi utama sejumlah kandidat untuk meraup suara. Penyebaran Islamophobia oleh petinggi Amerika mendorong kekerasan polisi dan kubu ekstrim rasis terhadap minoritas Muslim di negara ini selama beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Di sisi lain, hal ini juga memicu pandangan negatif di antara Muslim Amerika terhadap perilaku non Muslim.

 

Dalam sebuah jajak pendapat lembaga riset Pew yang dirilis tahun 2013, Muslim Amerika mengungkapkan pandangan beragam dan sedikit rumit terkait hubungan sosial mereka dengan warga Amerika lainnya. Jajak pendapat ini menyimpulkan bahwa sekitar sepertiga Muslim Amerika berdasarkan pengalaman pribadi meyakini bahwa warga Amerika lainnya tidak menghormati warga Muslim.

 

Sementara sepertiga lainnya meyakini bahwa warga Amerika lainnya perperilaku baik dan menghormati etnis Muslim. Namun mayoritas Muslim Amerika mengatakan bahwa paling tidak salah satu sahabat atau anggota keluarga mereka pasca insiden 11 September 2001 menghadapi perlakuan rasis dan kekerasan oleh polisi atau warga non Muslim. Bahkan warga non muslim Amerika juga mengakui hal ini.

 

Berdasarkan hasil jajak pendapat Pew di tahun 2014, 58 persen warga Amerika meyakini bahwa warga Muslim menghadapi beragam diskriminasi di tengah masyarakat negara ini. Sementara 42 responden meyakini tidak ada aksi diskrimansi seperti ini.

 

Pandangan negatif terhadap Muslim di Amerika tidak terjadi secara mendadak dan pasca insiden 11 September 2001, tapi jelas bahwa setelah insiden mencurigakan ini Islamophobia dan dan dikte negatif terkait Muslim mengalami peningkatan drastis. Bahkan selama tahun-tahun pasca insiden ini, pegawai dan bisnismen Muslim, sekolah serta lembaga sosial Islam serta masjid di Amerika senantiasa mendapat perlakuan dan prasangka buruk. Selain itu, muslim di negara ini berulang kali diserang dan diancam baik oleh warga sipil lainnya atau aparat keamanan.

 

Muslim Amerika juga meyakini bahwa media negara ini dan Hollywood tidak adil dalam menggambarkan umat Muslim. Media Amerika kerap menunjukkan citra negatif Islam dan menggambarkan Muslim sebagai teroris serta ekstrimis. Dengan demikian media Amerika juga memainkan peran dalam memprovokasi kekerasan polisi dan warga biasa terhadap minoritas Muslim Amerika.

 

Di antara bukti nyata kekerasan warga dan polisi terhadap minoritas Muslim di Amerika adalah kekerasan terhadap seorang muslimah berhijab Judy Pal, di salah satu jalan kota Birmingham, negara bagian Michigan tahun 2013. Ia bersama suaminya tengah berjalan dan diserang serta dihina oleh sejumlah warga Amerika yang benci Islam. Menurutnya aparat kepolisian Michigan menyaksikan dari dekat peristiwa tersebut tidak menunjukkan respon untuk menyelamatkan mereka. Mereka diam meski menyaksikan insiden tersebut dan pemukulan suami Judy Pal. Setelah Judy dan suaminya berhasil melarikan diri dari tangan warga eskrim tersebut, polisi bukannya menyelamatkan mereka, tapi malah menangkap perempuan muslim ini beserta suaminya.

Foto Nabra Hassanen

Menurut laporan HuffPost, salah satu contoh lain kekerasan terhadap etnis Muslim, seorang muslimah Amerik pada November 2016 diserang dua orang pria ketika keluar dari Universitas San Diego dan dirampok. Namun ada peristiwa sangat menyedihkan di musim panas tahun 2017. Nabra Hassanen, remaja muslimah 17 tahun warga kota Herndon, negara bagian Virginia di timur Amerika setelah menunaikan shalat subuh berjamaah di bulan Ramadan di salah satu masjid dan ketika keluar dari masjid bersama teman-temannya, mereka dibubarkan oleh pengendara motor dan Hassanen terpisah dari rombongan.

 

Naasnya jenazah Nabra ditemukan sehari kemudian di sungai di dekat lokasi kejadian oleh polisi. Meski polisi menolak insiden ini tidak ada kaitannya dengan Islamophobia, namun keluarga Nabra dan muslim lainnya menilai peristiwa mengenaskan ini hasil dari propaganda Islamophobia. Ibu Nabra dalam wawancaranya dengan HuffPost mengatakan, "Saya yakin pembunuh putriku dikarenakan ia seorang muslim dan berjilbab. Saya sekarang tidak lagi memiliki rasa aman. Saya takut mengirim anak-anakku yang lain keluar dan kemudian aku menerima jenazahnya."

 

Contoh lain dari kekerasan terhadap minoritas muslim dan juga Islamophobia di Amerika adalah pengabaian hak sipil mereka dan pelecehan terhadap sakralitas Muslim yang marak dalam beberapa tahun terakhir. Contoh nyata dari pelecehan terhadap sakralitas muslim dalam berbagai tragedi seperti provokasi dan ancaman nyata dengan pembakaran al-Quran di Florida oleh pastor Terry Jones di tahun 2013 dan ketidakpedulian polisi akan peristiwa ini merupakan contoh lain dari Islamophobia dan kekerasan terhadap Muslim di Amerika.

 

Meski ancaman ini (pastor AS) tidak terealisasi di peringatan insiden 11 September ke-12, namun ulah tersebut telah membangkitkan kemarahan dan kebencian luas muslim di seluruh dunia dan bahkan protes dari pemeluk agama lainnya. Bahaya Islamophobia ini sangat kotor dan multiplisitas sempat memaksa sejumlah elit politik Amerika seperti Hillary Clinton, menlu saat itu untuk mengambil sikap dan mengecamnya.

 

Sementara itu, juru bicara menlu AS saat itu, Philip J. Crowley menunjukkan sikap samar dan mengatakan, hal-hal seperti ini mengancam nyawa warga sipil Amerika, diplomat dan serdadu kami.

 

Berdasarkan penyidikan Departemen Kehakiman AS tahun 2006 terkait kekerasan polisi di dua negara bagian Illinois dan Ohio, polisi Amerika cenderung menggunakan kekerasan saat menghadapi kelompok minoritas khususnya muslim. Sementara itu, penelitian The Intercept tahun 2017 menunjukkan bahwa pengadilan AS juga menunjukkan perlakuan diskriminatif dan berbeda terhadap muslim dan non muslim.

 

Menurut penelitian ini, misalnya, pelaku kekerasan dengan motivasi ideologi dan kriminalitas serupa, jika ia seorang muslim maka akan mendapat hukuman berat di pengadilan. Masih menurut penelitian ini, hukuman kriminal muslim di banding dengan non muslim untuk kasus yang sama bahkan lebih berat empat kali lipat. Sementara media-media besar Amerika seperti Fox News dan CNN dalam pendekatan bias dan diskriminatif meliput aksi kekerasan muslim 7,5 kali lebih dari aksi kekerasan non muslim.

 

Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) di Washington tahun 2016 dalam sebuah laporannya ketika menganalisa respon media terhadap kekerasan ideologi di Amerika dengan transparan menjelaskan, " Media AS berusaha mencitrakan dan mempropagandakan aksi kekerasan Muslim di banding dengan non muslim secara berlebih-kebihan serta membesar-besarkan kelainan prilaku sejumlah muslim."

 

Laporan ini terkait kekerasan polisi AS menyebutkan, 25 persen polisi mengakui patner kerja mereka dari kulit putih lebih banyak melakukan kekerasan terhadap minoritas (etnis Muslim). Riset ini digelar di negara bagian Illinois dan 15 persen polisi di negara bagian Ohio.

 

Tak diragukan lagi tujuan utama berbagai kelompok dan elit dengan berbagai alasan memprovokasi dan menjustifikasi Islamphobia serta kekerasan terhadap etnis Muslim di masyarakat dan polisi Amerika adalah melawan laju Islam dan mengucilkan muslim di negara ini.

 

Namun langkah dan provokasi elit ini ternyata tidak sesuai dengan harapan mereka dan malah memperkuat motivasi untuk mengenal lebih besar Islam serta meningkatkan kecenderungan non muslim dan membuat komunitas muslim Amerika semakin aktif di sektor politik, sosial dan budaya.

 

Muslim Amerika, mengingat realita ini jika mereka masih ingin hidup di tengah masyarakat AS dan menciptakan masa depan yang lebih bagi bagi diri mereka serta anak-anaknya, maka mereka harus berjuang. Dengan demikian mereka mampu meredam mayoritas pergerakan dan konspirasi kelompok serta elit anti Islam melalui pencerahan terkait Islam, persatuan dan komitmen mereka terhadap nilai-nilai agamanya.


 

 

Tags