Jan 13, 2020 18:41 Asia/Jakarta
  • Warga Muslim Amerika memprotes perintah kontroversial Trump.
    Warga Muslim Amerika memprotes perintah kontroversial Trump.

Mahkamah Agung Amerika Serikat memperkuat larangan warga dari beberapa negara Muslim masuk ke wilayah AS. Larangan ini diberlakukan Presiden Donald Trump sejak awal dia menjabat tahun 2017.

Pada 27 Januari 2017, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang masuk warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Larangan itu bertujuan untuk "melindungi bangsa dari penyusupan teroris asing ke Amerika Serikat."

Tujuh negara Muslim yang warganya dilarang masuk AS adalah Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman.

Perintah kontroversial ini memicu gelombang protes dan kritik terhadap presiden AS. Ini adalah tindakan pertama Trump mengobarkan Islamophobia dan menunjukkan sentimennya terhadap Muslim.

Para jaksa dari beberapa negara bagian AS menilai keputusan Trump dilatari oleh fanatisme dan sentimen anti-Islam serta bertentangan dengan Konstitusi AS. Karena banyaknya gugatan, Pengadilan Tinggi AS menangguhkan pelaksanaan perintah eksekutif Trump sehingga semua gugatan dapat diproses oleh pengadilan.

Trump kemudian merevisi perintahnya dan melarang warga dari lima negara Muslim (Iran, Suriah, Libya, Somalia, dan Yaman) memasuki Amerika, dan menambahkan nama Korea Utara dan Venezuela dalam daftar larangan.

Dengan perubahan itu, Trump telah meredam kritikan terhadap perilaku anti-Islam yang diadopsinya, sekaligus meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara dan Venezuela karena membangkang kepada AS.

Para hakim Mahkamah Agung AS – mayoritas mereka dari kubu konservatif – mengukuhkan perintah eksekutif Trump, yang melarang perjalanan bagi warga dari lima negara Muslim ditambah Korea Utara dan Venezuela ke Amerika. Dalam putusan tersebut, lima hakim agung mendukung dan empat hakim agung menolak.

Moustafa Bayoumi, profesor bahasa Inggris dan penulis buku "This Muslim American Life: Dispatches from the War on Terror" menuturkan, "Ada banyak alasan untuk khawatir bahwa Mahkamah Agung AS akan memutuskan mendukung Trump."

Momentum awal penentangan terhadap larangan telah melemah setelah berbulan-bulan pertempuran hukum. "Saya khawatir bahwa kita semua akan lelah oleh pemerintahan tanpa belas kasihan ini. Sementara itu, pemerintahan Trump menempatkan masalah xenophobia dan Islamophobia bersama-sama di jalur yang berbahaya," kata Bayoumi.

Perlu dicatat bahwa warga Arab Saudi tidak dimasukkan dalam daftar larangan berkunjung ke AS. Padahal 15 dari 19 pelaku serangan 11 September adalah warga negara Saudi. Namun, warga Saudi secara bebas dapat berkunjung ke negara tersebut. Pengecualian ini menunjukkan bahwa ada motivasi yang lebih besar daripada isu keamanan dalam larangan imigrasi Trump.

Surat kabar The New York Times dalam sebuah laporan mengenai perintah eksekutif Trump pada 26 Juni 2018 menulis bahwa ini adalah sebuah trik yang sudah diperhitungkan oleh presiden AS yang haus perang untuk menebarkan ketakutan di tengah rakyat Amerika dan menyebarkan aroma xenophobia di negara itu.

Menurut media tersebut, perintah baru Trump melarang warga dari beberapa negara lain memasuki AS, akan menimbulkan pertanyaan penting di benak setiap orang, 'Apakah keputusan ini benar-benar membuat Amerika lebih aman?' Seperti yang disimpulkan dari pendapat orang-orang Amerika, jawaban untuk pertanyaan ini adalah 'tidak'."

Larangan ini menargetkan negara-negara yang tidak melanggar atau bahkan tidak mempermasalahkan standar screening untuk memasuki wilayah AS.

The New York Times menambahkan perintah eksekutif Trump benar-benar anti-Islam dan dimasukkannya dua negara (Korea Utara dan Venezuela) ke dalam daftar tersebut, hanya untuk mengelabui opini publik dan membenarkan putusan para hakim agung yang menyetujui larangan imigrasi presiden.

Adapun Korea Utara, jumlah warga negara itu yang memasuki Amerika setiap tahunnya tidak mencapai puluhan. Dalam kasus Venezuela, larangan tersebut hanya berlaku untuk para pejabat pemerintah Maduro (musuh bebuyutan Trump) dan anggota keluarga mereka.

Yang lebih penting, sama sekali tidak ada warga dari negara-negara terlarang itu yang melakukan serangan mematikan terhadap AS dalam dua dekade terakhir.

Presiden Donald Trump.

Trump juga telah memberlakukan screening yang sangat ketat untuk orang-orang yang akan masuk ke Amerika. Sistem pemeriksaan dan penyaringan AS untuk penerbitan visa adalah sistem yang paling sempurna dan paling akurat dari jenisnya di dunia. Dengan penyaringan yang ketat ini, maka risiko ancaman dan serangan teroris oleh turis asing di negara itu, secara drastis berkurang.

Mengenai pemikiran dan kepribadian anti-Islam Trump, The New York Times menulis, "Trump pada dasarnya adalah seorang presiden yang selalu dan tanpa malu-malu menunjukkan permusuhan lamanya terhadap para pengikut sebuah agama besar. Trump bahkan membuktikan sentimennya ini dalam bentuk tindakan. Contohnya adalah larangan warga negara Muslim untuk memasuki Amerika atau permusuhannya yang luar biasa terhadap para imigran."

Setelah Trump berkuasa, aktivitas kelompok-kelompok radikal kanan termasuk kelompok anti-Islam di Amerika meningkat.

Southern Poverty Law Center (SPLC), sebuah lembaga yang mengawasi penegakan hak-hak sipil di AS, dalam sebuah laporannya menyatakan bahwa pada 2017 yang bertepatan dengan tahun pertama kepresidenan Donald Trump, jumlah kelompok anti-Islam di Amerika meningkat dari 101 menjadi 114 kelompok.

Lembaga tersebut juga mencatat bahwa jumlah kelompok radikal kanan di Amerika meningkat 20 persen selama tiga tahun terakhir. Pada 2017, 954 kelompok radikal kanan melakukan aktivitas di negara itu dan jumlah mereka tumbuh 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Peningkatan kebencian anti-Muslim dipicu oleh retorika rasis Trump, termasuk janji kampanyenya untuk melarang Muslim memasuki Amerika. Dalam 10 hari pertama setelah pemilihannya, SPLC mendokumentasikan 867 insiden yang berhubungan dengan bias, termasuk lebih dari 300 yang menargetkan imigran atau Muslim. (RM)