Mengenal Para Ulama Besar Syiah (2)
Abu Jakfar Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, lebih dikenal dengan Tsiqat al-Islam al-Kulaini adalah penulis kitab hadis yang paling populer, al-Kafi dan termasuk salah satu ahli hadits paling kesohor di kalangan Syiah.
Syeikh Kulaini memiliki keahlian khusus dalam mengidentifikasi hadits dan riwayat sehingga ia dianggap sebagai referensi di kalangan Syiah dan Sunni. Oleh sebab itu, ia dijuluki sebagai Tsiqat al-Islam yaitu orang kepercayaan Islam. Syeikh Kulaini adalah penulis kitab al-Kafi, karyanya yang paling penting dan menjadi salah satu dari empat kitab hadits rujukan Syiah.
Syeikh Kulaini adalah seorang ulama besar, faqih, dan ahli hadits yang paling terkenal di kalangan Syiah pada abad ketiga Hijriyah. Menurut catatan sejarah, ia lahir bersamaan dengan masa kepemimpinan Imam Hasan al-Askari pada tahun 258 H di sebuah keluarga religi di desa Kulain yang berjarak sekitar 38 kilometer dari kota Rey, salah satu kota kuno yang paling masyhur di Iran. Ayah dan pamannya termasuk ulama dan ahli hadits yang terkenal di masanya.
Setelah memberikan kontribusi besar untuk kemajuan dunia Islam, muhaddis besar ini meninggal dunia pada tahun 329 H, bertepatan dengan periode kegaiban besar Imam Mahdi as.
Penelitian dan kegiatan ilmiah Syeikh Kulaini berlangsung pada periode keghaiban shugra Imam Mahdi as. Dengan kata lain, ia hidup sezaman dengan empat orang wakil khusus Imam yang menjadi perantara antara dirinya dan masyarakat dan tentu saja tidak ada halangan bagi Syeikh Kulaini untuk membangun hubungan dengan Imam Mahdi as, paling tidak lewat para wakil khusus tersebut.
Syeikh al-Kulaini menempuh jenjang pendidikan dasar agama di bawah asuhan sang ayah dan pamannya sendiri. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di kota Rey. Pada masa itu, kebanyakan masyarakat Rey bermadzhab Syafi'i dan Hanafi, tetapi desa-desa di kota itu menjadi pusat konsentrasi penduduk Syiah dan pecinta Ahlul Bait Nabi as.
Mayoritas warga Sunni tingga di kota Rey pada masa itu, tapi masyarakat Syiah dihormati di sana karena akhlaknya. Oleh karena itu, Rey kemudian terkenal sebagai kota penduduk Syiah.
Pengikut mazhab Isma’iliyah juga memilih kota Rey sebagai pusat kegiatan mereka. Dengan demikian, kota Rey menjadi pusat pertukaran pemikiran antara pengikut mazhab Isma'iliyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syiah Imamiyah.
Di kota ini, Syeikh Kulaini mempelajari ilmu hadits dari Abul Hasan Muhammad bin Asadi al-Kufi. Pada masa itu pula, kaum Qarmatian – yang memadukan ajaran Zoroaster, Manichean, dan Islam – melakukan serangan terhadap akidah dan kesucian kaum Muslim. Syeikh Kulaini meladeni kaum Qarmatian dengan menulis buku, “Al-Rad ‘ala Al-Qaramithah.” Buku ini bertujuan untuk menjaga kaum Muslim dari penyimpangan akidah dan penyesatan.
Syeikh al-Kulaini kemudian hijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu agamanya. Di sana, ia bertemu dengan banyak ahli hadits yang menukil hadits langsung dari lisan Imam Hasan al-Askari atau Imam Ali al-Hadi as serta berguru kepada para ulama besar.
Setelah dari Qum, ilmuwan besar ini bertolak ke kota Kufah untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya. Kufah di masa itu merupakan salah satu pusat besar ilmu pengetahuan, di mana para ulama besar datang ke kota itu untuk mengajar dan menuntut ilmu.
Tsiqat al-Islam kemudian berangkat ke Baghdad dan di sana, ia memperoleh popularitas yang besar di mana masyarakat Syiah dan Sunni merujuk kepadanya untuk memecahkan persoalan agama. Syeikh Kulaini kemudian menjadi kepercayaan kelompok Syiah dan Sunni dalam urusan agama.
Pada periode keghaiban sughra, masyarakat tidak bisa lagi membangun hubungan langsung dengan Imam Mahdi as. Sebagian pihak memanfaatkan kevakuman ini untuk memproduksi hadits palsu atau mendistorsi hadits-hadits yang sudah ada.
Dalam situasi seperti itu, para ulama dari semua mazhab melakukan upaya serius untuk melindungi riwayat dan hadits dari penyimpangan sehingga era itu juga dikenal dengan "Periode Hadits."
Perlu dicatat bahwa Kutubus Sittah (enam buah kitab induk hadits di kalangan Ahlu Sunnah) ditulis pada periode itu, tapi mazhab Sunni tidak membedakan antara Ahlul Bait dengan sahabat lain dan para muhaddits dalam menukil haditsnya. Ketika mereka melakukan pengumpulan hadits pada abad ketiga Hijriyah, mereka memiliki jarak 300 tahun dari sumber hadits.
Namun, mazhab Syiah memiliki para imam maksum dari Ahlul Bait yang merupakan khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul wafat, pengikut Syiah menukil hadits dan riwayat dari para imam maksum serta mempelajari agama dari mereka.
Ketika Syeikh Kulaini melakukan pengumpulan hadits pada periode keghaiban sughra, para ulama masih bisa membangun kontak dengan Imam Mahdi as melalui wakil-wakil khususunya. Di samping itu, ada juga para ahli hadits yang menukil langsung hadits dari Imam Ali al-Hadi dan Imam Hasan al-Askari as.
Syeikh Kulaini memahami dengan baik apa yang dibutuhkan umat pada periode genting itu. Ia mulai mengumpulkan hadits dan makrifat Ahlul Bait untuk menyelamatkan masyarakat dari penyimpangan. Ulama besar ini kemudian melakukan perjalanan ke berbagai kota Islam untuk mengumpulkan hadits dari para perawi sehingga masyarakat bisa memanfaatkan peninggalan Rasulullah Saw dan Ahlul Bait sebagai petunjuk.
Kerja keras dan perjuangan Syeikh Kulaini dituangkan dalam sebuah kitab dengan judul, al-Kafi untuk dimanfaatkan oleh para ulama dan kaum Muslim. Para ulama dari berbagai mazhab sampai sekarang masih menjadikan kitab ini sebagai salah satu rujukan mereka. Kumpulan hadits Rasulullah Saw dan para imam maksum yang dilakukan Syeikh al-Kulaini menjadi sangat berharga.
Menurut Najashi, Syeikh Kulaini adalah pemimpin ulama Syiah dan sosok cemerlang di zamannya yang paling dapat diandalkan dalam hadits. Ia menjadi salah satu figur besar ulama yang mendermakan hidupnya demi Islam dan kepentingan kaum Muslim. Dengan menerbitkan banyak buku, Syeikh Kulaini menunjukkan kontribusi besarnya untuk Islam.
Di zamannya, para ulama Syiah dan Sunni memberikan penghormatan yang tinggi terhadap keilmuan dan kiprah besarnya, terutama di bidang hadits. Beliau digaliri sebagai Tsiqah al-Islam karena tingginya kepercayaannya masyarakat dan ulama terhadap keilmuan dan keluhuran akhlaknya. (RM)