Feb 10, 2020 12:00 Asia/Jakarta
  • Lintasan Sejarah 10 Februari 2020

Perang Jamal Antara Pasukan Imam Ali as dan Nakitsin

1405 tahun yang lalu, tanggal 15 Jumadil Tsani 36 HQ, terjadi perang Jamal antara pasukan Imam Ali as dan kelompok Nakitsin.

 

Tidak berapa lama setelah Imam Ali as menjadi khalifah umat Islam dan baiat yang yang dilakukan masyarakat waktu itu, Talhah dan Zubair, dua sahabat besar Rasulullah Saw gagal mendapat saham yang besar dari pemerintah membatalkan baiatnya dan pergi ke Mekah. Mereka kemudian bertemu dengan Aisyah, isteri Rasulullah Saw dan bersekongkol mengajak masyarakat bangkit menuntut kematian Utsman bin Affan, Khalifah sebelumnya terhadap Imam Ali as.

 

Imam Ali as tahu apa yang sedang terjadi dan kemudian mempersiapkan kekuatan militernya untuk memberangus fitnah Nakitsin (para pelanggar janji). Tapi pengikut Talhah dan Zubair telah menguasai kota Basrah dan memberontak terhadap Imam Ali as, beliau memerintahkan pasukannya untuk memadamkan pemberontakan.

 

Sebelum memulai perang, Imam Ali as berdiri di tengah-tengah dua pasukan yang siap berperang dan menasihati Aisyah, Talhah dan Zubair. Kepada Aisyah, beliau menasihati agar kembali ke rumah, sementara kepada Talhah dan Zubair beliau mengingatkan mengapa mereka membatalkan baiatnya. Sekalipun Imam melihat tidak mungkin terjadi perdamaian, tapi beliau tetap harus mengingatkan mereka demi melengkapi hujjah.

 

Akhirnya Pada 15 Jumadil Tsani 36 Hq perang meletus. Talhah dan Zubair tewas dalam perang itu bersama 16 ribu orang pengikutnya. Sementara di sisi Imam Ali as lebih dari 1000 pasukannya yang tewas. Perang ini berakhir dengan pengakuan kemenangan pasukan Imam Ali as. Perang ini diberi nama Jamal karena Aisyah dalam peristiwa itu mengendarai unta yang dalam bahasa Arab adalah jamal.

Pemerintahan Militer Gagal Berkat Perintah Imam Khomeini ra

 

41 tahun yang lalu, tanggal 21 Bahman 1357 HS, pemerintah militer Iran gagal terbentuk berkat perintah Imam Khomeini ra.

 

Pada detik-detik terakhir dari umur rezim Shah Pahlevi, para jenderal rezim Shah memutuskan untuk memperpanjang masa darurat militer di Tehra guna mengontrol kondisi. Keputusan ini diambil dengan tujuan mencegah warga berkumpul dan bila memungkinkan mereka berusaha menangkap Imam Khomeini ra dan tokoh-tokoh pejuang berpengaruh di sekeliling beliau dan setelah itu membunuh mereka.

 

Tapi dengan kewaspadaannya, Imam Khomeini ra pada 21 Bahman 1357 HS, untuk tidak mempedulikan aturan yang diterapkan pemerintahan militer. Setelah mendapatkan informasi mengenai pesan Imam Khomeini ra, warga revolusioner Iran keluar dan turun ke jalan-jalan dan konflikpun terelakkan, bahkan semakin meluas hingga ke pusat-pusat konsentrasi militer rezim Pahlevi di Tehran di kota-kota lainnya. Di sisi lain, mayoritas militer yang diperintahkan menindak warga tidak bersedia melakukannya, bahkan banyak dari mereka yang bergabung dengan warga.

Imam Khomeini ra.

Pembebasan Nelson Mandela

 

30 tahun yang lalu, tanggal 10 Februari 1990, pejuang anti diskriminasi di Afrika Selatan (Afsel), Nelson Mandela, bebas dari penjara. Dia sebelumnya ditahan selama hampir 26 tahun oleh rezim Apartheid, yang menerapkan kebijakan supremasi warga kulit putih di Afsel.

 

Pembebasan Mandela berkat peran dari presiden Afsel saat itu, F. W. de Klerk. Pembebasan Mandela merupakan bagian kebijakan de Klerk untuk menghapus politik apartheid secara bertahap.

 

Seminggu sebelum pembebasan bersejarah itu, de Klerk mencabut undang-undang apartheid yang melarang aktivitas organisasi kulit hitam, seperti Kongres Nasional Afrika (ANC) dan sejumlah organisasi anti apartheid lainnya.

 

Mandela ditahan oleh rezim Apartheid pada Juni 1964 karena dituduh melakukan makar dan sabotase. Ia kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan menghabiskan sebagian besar masa tahanannya di Pulau Robben, tidak jauh dari Cape Town.