Partisipasi Rakyat dalam Demokrasi Religius di Iran
Setelah kemenangan Revolusi Islam, Iran memasuki era baru kedaulatan rakyat yang menentukan nasibnya di tangan mereka sendiri.
Pemilu di Iran menjadi salah satu manifestasi dari kehendak rakyat. Partisipasi tinggi rakyat Iran dalam pemilu dengan mendatangi kotak-kotak pemungutan suara sebagai bentuk dukungan mereka terhadap Republik Islam.
Pemilu dan hak pilih memiliki sejarah panjang. Di banyak negara di masa lalu, hanya sejumlah kecil orang yang diberikan hak untuk memilih, sebab merupakan hak istimewa. Tentu saja, kondisi tiap masyarakat berbeda, dan masing-masing memiliki pengalamannya sendiri. Di era Yunani kuno, misalnya, hanya mereka yang memiliki kewarganegaraan yang memiliki hak untuk memilih. Di beberapa negara, partisipasi perempuan dalam pemilihan dan administrasi urusan masyarakat dilarang, bahkan masih diterapkan hingga saat ini di sejumlah negara.
Bahkan sekitar tahun 1920, di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain perempuan tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam politik. Di beberapa masyarakat, tidak ada partisipasi efektif karena monarki dan kediktatoran, termasuk beberapa negara Arab seperti Uni Emirat Arab. Di beberapa negara, pemilu tidak diakui sebagai hak, tetapi sebagai tugas, sehingga mereka yang memenuhi syarat harus mencalonkan diri untuk jabatan, dan ketidakhadiran mereka akan menghasilkan penuntutan hukum dan denda, dan bahkan perampasan hak sosialnya.
Ada beberapa jenis pembatasan dan perampasan hak lainnya sebagian masyarakat dalam berdemokrasi. Tentu saja, masalah pembatasan dalam partisipasi politik memiliki beberapa aspek positif juga, karena beberapa pembatasan memiliki alasan yang sah dan ditujukan untuk melindungi hak-hak masyarakat. Misalnya, usia pemilih minimal 16 tahun, dan di sebagian negara 23 atau 25 tahun.

Pembatasan lainnya mengenai masalah kewarganegaraan. Di Prancis dan Mesir, misalnya, imigran yang telah menerima kewarganegaraan, setidaknya lima tahun setelah tanggal penerimaan baru berhak memilih. Selain masalah kewarganegaraan, tingkat kemmpauaan akademis, dan literasi juga dibutuhkan di beberapa negara untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Prancis dan Belgia memberikan pembatasan khusus kepada mereka yang mencalonkan diri sebagai kandidat yang akan dipilih. Beberapa negara juga memiliki hak untuk memilih dengan jumlah pajak tertentu. Pembatasan semacam itu terkait dengan masalah kegiatan sosial.
Republik Islam Iran juga memiliki batasan dan pembatasan untuk pemilu, seperti pembatasan usia untuk berpartisipasi dalam pemilu atau larangan untuk orang-orang yang memiliki kasus-kasus hukum dengan catatan kriminal dan pelanggaran yang ditetapkan oleh pengadilan.
Jika dikaji lebih jauh, sejumlah pembatasan tersebut sebagai keharusan untuk memastikan nilai-nilai pemilu, dan penyelenggaraannya yang adil. Dengan kata lain, nasib suatu bangsa tidak bisa menyerahkan urusan masyarakatnya kepada orang-orang yang tidak memiliki perhatian terhadap urusan sosial, maupun memiliki masalah hukum, maupun tidak memiliki kelayakan sebagai pejabat negara.
Aspek penting lain dari pemilu adalah tingkat partisipasi publik dan penerimaan pemilu. Tingkat partisipasi yang tinggi dalam pemilu menunjukkan rasa tanggung jawab sosial dan politik masyarakat terhadap nasib bangsa dan negaranya.
Melihat dari dekat tingkat partisipasi rakyat Iran dalam pemilihan presiden dan parlemen yang tinggi menunjukkan besarnya kepercayaan terhadap pemerintah dan negara di tengah gencarnya upaya musuh untuk mendiskreditkan Republik Islam.
Partisipasi luas rakyat Iran dalam semua pemilu telah mengubah ranah politik dan sosial menjadi budaya publik di mana individu-individu dalam masyarakat menganggap pemilu sebagai hak dan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Beberapa negara telah menggunakan insentif khusus untuk menarik partisipasi maksimum untuk mendorong kehadiran rakyatnya dalam pemilu. Namun, pengalaman pahit dari era pemaksaan telah menyebabkan negara-negara ini meninggalkan praktik tersebut dan menerima partisipasi sukarela. Belanda adalah salah satu negara yang memiliki sejarah mewajibkan partisipasi politik dan sejarah partisipasi sukarela. Menariknya, dalam pemilu sukarela pertama di negara ini hanya mendapatkan dukungan 20 persen, sedangkan di era pemaksaan tingkat partisipasinya sebesar 90 persen.

Perbedaan dalam partisipasi dalam di era otoriter dan sukarela menunjukkan tingkat ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem demokrasi di negara ini. Secara umum, mayoritas pemilihan umum yang diadakan di dunia memiliki tingkat partisipasi pemilih rata-rata kurang dari 50 persen, sementara Republik Islam Iran telah mengalami partisipasi pemilih yang jauh lebih besar. Misalnya tingkat partisipasi dalam referendum tentang pembentukan Republik Islam mencapai 98 persen. Demikian pula dengan pemilu lain seperti pemilu presiden, parlemen dan lainnya yang digelar secara periodik di Iran.
Statistik resmi menunjukkan di banyak negara, jumlah pemilih tidak signifikan, meskipun memiliki rekam jejak panjang. Dalam beberapa tahun terakhir, partisipasi di negara-negara Barat juga menurun karena krisis politik dan ekonomi. Misalnya, pada abad terakhir setengah dari populasi AS tidak berpartisipasi dalam pemilu presiden.
Jumlah pemilih untuk pemilihan anggota Kongres AS juga berfluktuasi antara 30 dan 40 persen, yang tidak merepresentasikan jumlah mayoritas rakyat AS. Tingkat partisipasi pemilu parlemen Prancis juga berkisar antara 40 hingga 60 persen. Tapi jumlah pemilih dalam beberapa pemilu belakangan ini telah turun di bawah 50 persen. Di Asia Barat (Timur Tengah), pemilu dan pemungutan suara masih merupakan tantangan utama.
Sementara di Republik Islam Iran, pemilihan umum telah diadakan selama lebih dari 40 tahun terakhir, dengan jumlah pemilih rata-rata bervariasi dari 51 persen hingga 71 persen, yang lebih tinggi dari rata-rata negara-negara Barat.(PH)