May 04, 2020 17:59 Asia/Jakarta

Sejarah politik kontemporer Iran mencatat berbagai peristiwa cemerlang dan penting mengenai ketegaran bangsa Iran dalam menghadapi berbagai intervensi asing, terutama AS dan Inggris. Dari sekian peristiwa menentukan ini, gerakan Revolusi Islam Iran menorehkan prestasi terbesar yang terus berkibar selama empat dekade hingga kini.

Peristiwa revolusi ini dimulai oleh gerakan bersejarah Imam Khomeini menentang rezim despotik Shah yang berada dalam kendali asing, pada 15 Khordad 1342 Hs (1963). Sebelum kemenangan Revolusi Islam, Inggris dan kemudian AS melakukan berbagai cara untuk menancapkan cakarnya di Iran, termasuk merancang kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh di tahun 1332 Hs (1953).

Rentetan peristiwa politik pada tahun 1954 dan setelahnya menunjukkan intervensi AS di berbagai bidang di Iran, mulai dari politik, budaya, ekonomi hingga militer. Saking luasnya pengaruh asing tersebut, sehingga praktis pemerintah Iran hanya menjadi boneka AS dan berada di bawah kekuasaan Washington. Meski demikian, bangsa Iran terus melawan intervensi tersebut hingga terbentuk Republik Islam.

Mengkaji penggalan sejarah politik Iran menunjukkan bahwa pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, AS terus-menerus melancarkan konspirasi supaya Iran tidak mandiri dan bergantung kepada Gedung Putih. Oleh karena itu, melalui kedutaan besarnya di Tehran yang menjadi markas spionase AS terhadap Revolusi Islam Iran, Washington menyusun dan melakukan aksi-aksi konspirasi anti Iran.

Bangsa Iran yang mengetahui itu, terutama dari para mahasiswa mengambil tindakan untuk menduduki Kedubes AS. Dampak dari aksi pendudukan Kedubes AS ini, Washington mengambil langkah-langkah politik hingga militer.

Pada tanggal 5 Ordibehesht 1359 Hijriyah Syamsiah (24 April 1980), 6 pesawat dan 8 helikopter Amerika Serikat menyusup ke wilayah Iran dengan alasan membebaskan 53 sandera di Tehran. Namun, tujuan asli agresi itu adalah melaksanakan skenario kudeta militer dan menggulingkan sistem Republik Islam Iran yang baru berdiri, yang bangkit menentang hegemoni AS.

Pada 4 November 1979, AS membentuk unit Delta Force yang terdiri dari 132 personel terlatih untuk menyerang Iran dan membebaskan para sendera. Agresi militer AS di Gurun Tabas ini dilancarkan dengan sandi Operation Eagle Claw.

Ketika sedang mengudara di wilayah Iran, salah satu helikopter mengalami kerusakan teknis di 120 km Kerman dan terpaksa mendarat. Seluruh awaknya kemudian menumpang helikopter lain. Helikopter kedua ini pada akhirnya juga mengalami kendala teknis dan terpaksa kembali ke kapal induk.

Namun, 6 pesawat dan 6 helikopter lainnya berhasil sampai di Gurun Tabas dan mendarat di daerah terpencil ini di kegelapan malam. Sialnya, sebuah helikopter lain mengalami gangguan teknis ketika mengisi bahan bakar dan ketika misi utama belum dijalankan, tiga helikopter telah berkurang.

Setelah menerima informasi dari pusat komando, Presiden AS waktu itu, Jimmy Carter memerintahkan pembatalan operasi dan meminta pasukan kembali ke markas. Tapi ketika pesawat dan helikopter mulai mengudara, tiba-tiba terjadi badai pasir. Pesawat C-130 dan helikopter CH-53 terbakar setelah bertabrakan di udara. Dalam insiden itu, delapan personel AS tewas terbakar dan empat helikopter gagal terbang dan ditinggalkan. Sisa pasukan Amerika meninggalkan Tabas dengan lima pesawat tersisa dan kembali ke kapal induk USS Nimitz.

Pasukan komando AS ini sebelumnya dikirim ke Arizona dan menjalani latihan keras di wilayah yang mirip dengan Gurun Tabas, Iran. Latihan ini untuk mempersiapkan mereka menghadapi medan sulit dan siap melancarkan operasinya.

Namun, Operation Eagle Claw berubah menjadi neraka yang membakar pasukan AS di Gurun Tabas dan operasi ini berakhir dengan kegagalan total. Menteri Pertahanan AS waktu itu, Harold Brown mengatakan, "Delapan tentara Amerika tewas dalam operasi gagal Tabas dan para sandera belum dibebaskan hingga Ronald Reagen menjabat presiden pada Januari 1981."

Myles Kaplan, mantan pejabat CIA yang terlibat dalam kudeta 28 Mordad 1332 Hs di Iran menjelaskan tujuan agresi militer AS ke Iran yang kandas di Tabas. Ia mengatakan, "Serangan militer melalui Tabas tidak hanya untuk membebaskan para sandera, tapi tujuan utamanya adalah kudeta dan menumbangkan rezim Iran."

Peristiwa Tabas kembali menguak sifat agresor Amerika. Namun demikian skandal ini bukan akhir dari agresi negara itu. AS tidak belajar dari kegagalan di Tabas dan terus mengobarkan permusuhan terhadap Iran dengan berbagai cara.

Saat ini AS mengadopsi kebijakan untuk mengucilkan Iran dengan membentuk koalisi dan kampanye anti-Tehran. Mengesankan Iran sebagai ancaman bagi tetangganya dan bahkan Eropa telah menjadi sebuah tujuan strategis bagi AS.

Tetapi, AS dengan kemunafikannya telah menyebabkan ketegangan, konflik, serta penyebaran terorisme dan ekstremisme di wilayah Asia Barat (Timur Tengah). Kebijakan keliru yang diadopsi AS selama beberapa dekade terakhir, mendorong Donald Trump untuk berkata, "AS telah menghabiskan 7 triliun dolar di kawasan tanpa mencapai apapun." Tentu saja Trump melanjutkan jalan salah yang sama.

AS mengambil banyak langkah untuk merusak stabilitas regional dan mengusik Iran seperti, memberlakukan kontrol ilegal terhadap kebebasan navigasi di kawasan, memperkuat armada tempurnya serta mengerahkan pasukan dan peralatan militer di Suriah dan Irak.

AS memperkenalkan dirinya sebagai pendukung bangsa Iran ketika negara itu justru meningkatkan tekanan terhadap rakyat Iran. Sebagai contoh, Washington menentang pengiriman bantuan medis internasional kepada Tehran dan menghalangi negara ini mengimpor peralatan medis untuk melawan wabah virus Corona, COVID-19.

Langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan konfrontatif AS terhadap Iran semakin kehilangan akal sehat. Demi memperlihatkan taringnya, negara adidaya ini rela melakukan tindakan anti-kemanusiaan yang paling bawah sekalipun yaitu melarang pengiriman obat-obatan dan bahan pangan ke Iran. AS memanfaatkan momen penyebaran virus Corona di Iran untuk meningkatkan tekanannya dengan tujuan strategis menggulingkan rezim.

Iran – di tingkat regional dan internasional serta dari segi ekonomi – bukanlah sebuah negara yang lemah. Sebaliknya, Amerika-lah yang berada pada posisi yang pasif.

Para pejabat AS tidak pernah berhenti memusuhi bangsa Iran dan sistem Republik Islam selama 14 tahun terakhir. AS mulai memperlihatkan permusuhannya terhadap bangsa Iran sejak kemenangan revolusi. Negara itu melakukan berbagai cara untuk menumbangkan sistem Republik Islam termasuk, intervensi militer, aksi kudeta, dukungan kepada rezim Saddam untuk menyerang Iran, serta mengganggu keamanan perbatasan Iran dengan membentuk dan mendukung kelompok-kelompok teroris.

AS mengesankan Iran sebagai pembuat onar di kawasan dan mencoba merusak hubungan Tehran dengan negara-negara regional. Sejalan dengan misi itu, Washington memasukkan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) dalam daftar organisasi terorisme. Padahal, IRGC selalu membela bangsa Iran dan keamanan regional pada kondisi yang paling sulit sekali pun.

Pada 3 Januari 2020, AS dalam sebuah tindakan terorisme membunuh Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani dan rekan-rekannya di dekat Bandara Internasional Baghdad.

Mereaksi kejahatan itu, IRGC pada 8 Januari menembakkan 13 rudal ke pangkalan militer Amerika, Ain al-Assad di Provinsi al-Anbar, Irak. Republik Islam Iran tidak pernah menjadi pihak yang memulai perang, tetapi jika terancam dan diserang, ia siap membela keamanannya dengan penuh kekuatan.

Dalam sebuah aksi provokatif pada Juni 2018, AS menerbangkan sebuah drone mata-mata ke wilayah udara Iran. Namun, drone Global Hawk ini ditembak jatuh oleh pasukan udara IRGC di wilayah Kuh-e Mubarak, Provinsi Hormozgan.

Televisi CNN menyatakan AS telah mendapatkan salah satu pelajaran yang paling penting di ketinggian 22 ribu kaki.

Koresponden senior CNN, Nick Walsh dalam tulisannya dengan judul "What shooting down a $110M US drone tells us about Iran" mengatakan bahwa ini merupakan bukti nyata dari meningkatnya kemampuan militer Iran.

Analis Timur Tengah dan Afrika Utara di Jane's Defense Weekly, menuturkan, "Mereka berhasil. Insiden itu menunjukkan bahwa ketika Iran benar-benar melakukan investasi, ini benar-benar harus diperhitungkan. Kami tahu tentang rudal balistik mereka, tetapi sepertinya kondisi sistem pertahanan udara mereka juga seperti itu."

"Beberapa tahun yang lalu ini akan menjadi kejutan, tetapi sekarang perlengkapan pertahanan udara baru mereka terlihat jauh lebih mengesankan," tambahnya.

Pemerintah AS – demi mencapai target kebijakannya dan memaksa Iran untuk bernegosiasi – mencoba mengisolasi Iran di bawah tekanan politik dan ekonomi yang sangat kuat, tetapi Republik Islam bukanlah sebuah negara yang lemah.

Pada dasarnya, perilaku dan cara usang ini memperlihatkan bahwa pemerintah AS masih berpikiran seperti 40 tahun lalu dan terperangkap dalam ilusi petualangan di Gurun Tabas, yang mengakibatkan kekalahan memalukan bagi Washington.

Saat ini para pejabat AS berada dalam posisi pasif, dan dengan berbagai retorika yang agresif, berusaha mengesankan bahwa mereka menguasai situasi, padahal jalan yang mereka tempuh justru jalan buntu.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidato, mengatakan kemajuan revolusi di tengah konspirasi anti-Republik Islam selama 40 tahun, adalah bukti dari ketidakmampuan AS dalam menghentikan gerakan bangsa Iran.

"Musuh Iran telah menerapkan berbagai tekanan politik, ekonomi, dan propaganda luas terhadap bangsa ini selama 40 tahun, tapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa bahkan ketika Republik Islam baru berdiri," ungkapnya.

Ayatullah Khamenei menjelaskan Amerika, Eropa, dan bahkan Uni Soviet telah mengambil tindakan apapun yang mereka mampu untuk melawan Iran selama 40 tahun ini, tapi mereka gagal. Tentu saja aksi mereka menimbulkan gangguan dan kerugian, namun mereka tidak mampu menghentikan gerakan dan kemajuan Republik Islam.

Ketegaran rakyat Iran sejak awal kemenangan Revolusi Islam menentang kekuatan-kekuatan arogansi menunjukkan mereka masih mencintai revolusi Islam yang mereka ciptakan. Ketegaran ini pula yang membuat segala proyek Barat terhadap Iran membentur dinding.

Keteguhan sikap rakyat Iran tidak memberikan kesempatan kepada musuh untuk membuat atmosfir politik dan sosial Iran terpolusi agar digunakan untuk menumbangkan Revolusi Islam. Ketegaran ini juga yang membuat rakyat Iran senantiasa ikut serta dalam aksi nyata untuk menentukan nasib bangsanya.

Setelah AS gagal berkali-kali saat berhadap-hadapan secara langsung dengan bangsa Iran, mereka mulai berinvestasi pada konspirasi dalam negeri Iran.

Misalnya, Kongres AS mengalokasikan anggaran sebesar 400 juta dolar untuk melakukan serangan cyber ke Iran. Proyek ini bertujuan untuk menciptakan instabilitas dalam bentuk jaringan luas di dunia maya dan cyber. Sebagai contoh, mereka menyebarkan virus Stuxnet untuk menyerang instalasi nuklir Iran.

Musuh bangsa Iran senantiasa berusaha untuk merusak citra Republik Islam Iran di arena internasional. Dengan cara ini, mereka berharap dapat mencegah Iran menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab Iran saat ini menjadi simbol perlawanan terhadap arogansi dunia. Iran dianggap dunia dapat mengalahkan struktur unilaterisme yang menguasai dunia. Kini, setelah memasuki empat dekade dari kemenangan Revolusi Islam Iran, bangsa Iran tetap mampu menggagalkan segala bentuk konspirasi AS dan semua musuh Iran. (RA)