Ghadir Khum dan Ayat Wilayah Menurut Al-Quran
(last modified Tue, 20 Sep 2016 04:05:03 GMT )
Sep 20, 2016 11:05 Asia/Jakarta

Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah Saw adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat mutawatir. Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah).

Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”.  Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat ke 67 surat al-Maidah.

 

Ayat yang berbicara mengenai imamah dan wilayah Imam Ali banyak ditemukan di al-Quran. Salah satu ayat mengenai imamah Imam Ali adalah ayat 67 surat al-Maidah. Banyak ulama baik itu dari Ahlu Sunnah maupun Syiah berpendapat bahwa ayat ini turun terkait peristiwa Ghadir Khum.

 

Rasulullah Saw telah mengerahkan segenap upaya dan kemampuannya untuk menyebarkan agama Islam dan tidak pernah melewatkan satu peluang pun yang ada. Pengorbanan besar Rasulullah bahkan beliau hampir mengorbankan nyawanya sendiri bagi keimanan umatnya. Seperti dijelaskan oleh ayat ketiga surat al-Syuara ketika Allah berfirman yang artinya, “Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.”

 

Sementara di ayat 128 surat al-Taubah dijelaskan, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” Adapun di akhir usia beliau, Allah Swt memberi peringatan keras kepada rasul-Nya agar menyampaikan seluruh ajarannya secara sempurna kepada masyarakat, jika tidak ia akan dicabut sebagai utusan Tuhan. Hal ini karena seorang nabi jika tidak menaati perintah Allah, maka ia bukan lagi seorang Rasul.

 

Ayat 67 Surat al-Maidah yang dikenal dengan sebutan ayat Iblagh, menjelaskan isu-isu penting dunia setelah masalah kenabian. Di ayat yang diturunkan ketika Rasul menjelang akhir usianya tersebut, beliau diperintahkan untuk menjelaskan secara gamblang masalah penggantinya dan memperjelas kewajibat umat Islam atas masalah tersebut.

 

Ayat ini menyatakan, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

 

Ayat 67 surat al-Maidah turun dengan nada khusus yang disertai peringatan keras kepada Nabi Muhammad dan hal ini menunjukkan sebuah masalah penting terkait risalah nabi akhir zaman ini. Dengan kata lain sesuatu yang sama pentingnya dengan kenabian tidak disampaikan, maka risalah Muhammad tidak lengkap. Di seluruh ayat al-Quran, ini adalah ayat satu-satunya yang memperingatkan Nabi dengan keras jika menyembunyikan pesan. Jika Muhammad tidak menyampaikannya maka apa yang ia sebarkan selama 23 tahun menjadi sia-sia.

 

Tak diragukan lagi sesuatu tersebut bukan shalat, puasa, haji, jihad, zakat dan ajaran Islam lainnya. Hal ini karena surat al-Maidah diturunkan di akhir usia Rasulullah dan merupakan surat terakhir.

 

Berikut peristiwa Ghadir Khum terjadi. Tanggal 18 Dzulhijjah, karavan haji tiba di sahara Juhfah. Di sahara inilah karavan yang berasal dari berbagai daerah dan kabilah akan berpisah satu dengan yang lain. Di tempat itu, wahyu ilahi turun menyapa kalbu suci Rasul:

 

"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepada-Mu, dan jika hal ini tidak engkau lakukan, maka engkau (sama saja dengan) tidak menunaikan (sama sekali) risalah-Nya, dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia."

 

Wahyu ini turun dengan nada tegas dan tidak memberi peluang bagi Rasul untuk tidak melaksanakannya. Sedemikian vital tugas ini sehingga jika beliau tidak melaksanakannya, maka beliau akan dianggap tidak melaksanakan risalah Allah sama sekali. Dengan begitu akan runtuh semua fondasi risalah yang telah beliau bangun selama ini. Demi terlaksananya tugas ini, Allah berjanji akan melindungi Rasul dari gangguan musuh, dan karena itu tidak ada pula peluang bagi Rasul untuk merisaukan resiko pelaksanaan tugas tersebut.

 

Rasulpun bertekad untuk menyampaikan wahyu ilahi tersebut kepada umat. Dalam rangka ini, beliau memerintahkan supaya rombongan yang ada didepan kembali ke belakang, sedangkan rombongan yang di belakang beliau perintahkan agar segera menyusul ke tempat beliau berada. Sesuai instruksi Rasul, semua karavan terkumpul di suatu padang gersang yang hanya ditumbuhi rumput-rumput kering berduri dan segelintir pohon. Di tempat itu, karavan terkonsentrasi di tepi sebuah telaga tua di daerah Khum. Terik panas matahari yang tepat berada di atas kepala menjilat tubuh semua orang. Tanah dan bebatuan seakan membara sehingga banyak orang yang terpaksa menggunakan pakaiannya sebagai alas untuk menahan sengatan panas.

 

Dalam kondisi sedemikian sulit itu, semua orang bertanya-tanya dalam hati, gerangan apakah yang hendak dilakukan Rasul? Karena itu, perhatian semua orang terkonsentrasi kepada beliau.  Benar, di saat benak para sahabat Rasul sedang diterpa badai penasaran itulah beliau hendak menentukan garis perjalanan sejarah umat dan ajaran Islam, ajaran yang telah beliau perjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata. Di tepi telaga itulah beliau hendak mencetuskan penggalan sejarah yang determinan bagi kehidupan spiritual dan materi umat manusia.

 

Peristiwa bersejarahpun berlangsung selama hampir lima jam di lokasi sekitar telaga Khoum tersebut dalam cuaca alam yang sedemikian panas. Menjelang pernyataan wasiat Rasul itu, suasana yang tadinya riuh tiba-tiba tercekam kebisuan. Gemerincing kalung-kalung onta dan kuda bahkan ikut tertelan kesunyian.

 

Entah karena panasnya hawa yang menyengat atau mungkin karena sedemikian besarnya risalah yang hendak beliau sampaikan, wajah nurani beliau saat itu nampak bersimbah peluh. Beliau tampil ke atas mimbar yang terbuat dari beberapa bongkah batu dan pelana onta. Semua mata tertatap kepada wajah beliau yang penuh wibawa meski sudah tergurat usia 63 tahun itu. Sedemikian anggunnya wajah beliau saat itu sehingga tatapan yang tersorotnya kepadanya dapat melunturkan panasnya sengatan surya dan letihnya perjalanan panjang yang tadinya dirasakan semua orang.

 

Meskipun terjadi lebih dari 1400 tahun silam, tepatnya pada tahun 10 Hijriah, namun kenangan peristiwa besar itu tetap abadi hingga sekarang. Pesan yang terungkap dalam peristiwa itu tetap terngiang dalam benak umat. Sebab, pesan yang disampaikan Rasul saat itu bukanlah pesan yang relefansinya tersekat oleh faktor ruang dan waktu dimana beliau berada, melainkan pesan universal tentang pembangunan sebuah negeri makmur yang diidam-idamkan umat. Yaitu negeri yang jika pemimpinnya tidak terpenjara di dalam rumahnya, niscaya ajaran Islam yang murni akan terus mengalir menyusuri lorong-lorong sejarah, dan tidak akan ada lagi kebangkitan kaum celaka dan jahil yang sudah tergilas oleh Islam.

 

Dalam rangka memperingati peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Ghadir Khum (Telaga Khum) itu, yang harus disayangkan ialah kenyataan punahnya kesegaran alam spiritual umat akibat terabaikannya pesan agung Rasul tersebut. Duduk persoalannya bukan terletak pada masalah ternistakannya hak Imam Ali as, melainkan pada penyimpangan yang begitu fatal sehingga mengeringkan mata air yang sangat diperlukan bagi kehidupan materi dan spiritual umat manusia.

 

Allamah Amini menyebutkan bahwa hadis yang menceritakan peristiwa Ghadir Khum disebutkan di 16 kitab Ahlu Sunnah. Sebagian mufasir berusaha menutupi peristiwa ini dengan menafsirkan peristiwa Ghadir sebagai ungkapan kecintaan kepada Ali. Mereka berpendapat bahwa ayat sebelum dan sesudah ayat ke 67 Surat al-Maidah berbicara mengenai Ahlul Kitab dan tidak ada kaitannya dengan masalah wilayah, khilafah atau imamah.

 

Argumentasi ini tidak dapat diterima, khususnya bila datang dari mereka yang berkecimpung di bidang penafsiran kitab Samawi ini. Alasannya adalah kelompok ini dengan baik memahami bahwa ayat-ayat al-Quran diturunkan secara bertahap dan berdasarkan moment dan kebutuhan tertentu. Al-Quran bukan kitab klasik yang mengejar satu masalah tertentu. Oleh karena itu, dalam sebuah surat al-Quran kita akan menemukan tengah membicarakan beragam masalah di mana masing-masing fokus pada masalah tertentu, meski demikian di antara ayat-ayat dalam surat tersebut memiliki link universal.

 

Surat al-Maidah sendiri sebagian ayatnya membicarakan masalah Ahlul Kitab dan sebagian lain terkait peristiwa Ghadir Khum. Namun begitu dua hal ini memiliki hubungan, yakni penentuan pengganti Rasulullah juga akan memperjelas masalah Ahlul Kitab. Mereka yang berharap Islam redup dan akhirnya musnah dengan meninggalnya Rasulullah, tetap saja kehilangan harapannya dengan penentukan imamah dan wilayah Imam Ali sebagai pengganti Nabi.