Transformasi Israel di tahun 2019
https://parstoday.ir/id/radio/west_asia-i77038-transformasi_israel_di_tahun_2019
Rezim Zionis Israel di tahun 2019 mengalami tahun paling berbeda selama 71 tahun usianya. Rezim ini mengakhiri tahun 2018 dengan tumbangnya kabinet Benjamin Netanyahu, namun tahun 2019 berakhir dengan kegagalan rezim ini membentuk pemerintahanbaru dan keputusan untuk menyelenggarakan pemilu parlemen ketiga dalam setahun.
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Des 30, 2019 15:35 Asia/Jakarta
  • Bendera Israel
    Bendera Israel

Rezim Zionis Israel di tahun 2019 mengalami tahun paling berbeda selama 71 tahun usianya. Rezim ini mengakhiri tahun 2018 dengan tumbangnya kabinet Benjamin Netanyahu, namun tahun 2019 berakhir dengan kegagalan rezim ini membentuk pemerintahanbaru dan keputusan untuk menyelenggarakan pemilu parlemen ketiga dalam setahun.

Berbagai media ketika menganalisa tahun 2019 bagi Israel menulis, "Tahun 2019 tahun penuh guncangan dan era pemilu tak berakhir bagi rezim Zionis Israel."

Israel tahun 2018 menyerang Jalur Gaza, namun hanya empat hari, rezim ini terpaksa menerima gencatan senjata. Sikap Israel menerima gencatan senjata menuai respon sejumlah kubu dan tokoh khususnya Avigdor Lieberman, menteri peperangan saat itu dan pemimpin Partai Yisrael Beiteinu. Selain keluar dari kabinet Netanyahu, Lieberman juga menarik dukungan partainya terhadap pemerintah sehingga secara praktis kabinet Netanyahu tumbang.

Pemilu Israel

Setelah tumbangnya kabinet Netanyahu, perdana menteri Israel tersebut menyatakan bahwa pemilu dini parlemen akan digelar 9 April dan tujuh bulan lebih cepat dari jadwal semestinya.

Pemilu dini parlemen digelar 9 April dan koalisi pimpinan Netanyahu berhasil meraih 36 kursi parlemen serta mendapat suara mayoritas di Knesset. Oleh karena itu, Presiden Israel Reuven Rivlin untuk keempat kalinya secara berturut-turut selama satu dekade dan untuk kelima kalinya selama 23 tahun, menunjuk Netanyahu sebagai perdana menteri.

Netanyahu untuk membentuk kabinet, pertama-tama memiliki waktu 28 hari, tapi gagal membentuk koalisi dengan kubu lain. Hal ini mendorongnya mendapat tambahan 14 hari untuk membentuk kabinet. Tapi selama 14 hari tersebut dan total 45 hari, Netanyahu masih gagal membentuk pemerintahan baru.

Alasan utama kegagalan Netanyahu membentuk kabinet baru adalah friksi antara dirinya dengan Avigdor Lieberman. Partai Yisrael Beiteinu memiliki lima kursi di parlemen dan Netanyahu harus meraih dukungan 65 suara anggota Knesset untuk membentuk kabinet. Namun tuntutan Lieberman mendorong kegagalan terbentuknya koalisi baru.

Salah satu friksi yang mendorong terhentinya perundingan terkait pembentukan kabinet baru Israel terkait draf wajib militer di mana murid di sekolah Talmudi (sekolah ortodoks Israel) dikecualikan dalam wajib militer. Avigdor Lieberman memberi syarat partisipasinya di kabinet koalisi dengan penghapusan total pengecualian santri sekolah Talmudi, namun Netanyahu tercatat sebagai pendukung pengecualian tersebut.

Netanyahu setelah kegagalan pembentukan kabinet menuding Lieberman tidak ingin mencapai kesepakatan di perundingan. Netanyahu mengatakan, haus kekuasaan satu orang telah membuat warga Israel terpaksa kembali memberikan suaranya di TPS.

Poin penting lain adalah pasca kegagalan Nentayahu membentuk kabinet baru, ada dua jalan yang terbuka: pertama, presiden Israel menunjuk sosok lain untuk menjabat posisi perdana menteri. Dan kedua adalah anggota Knesset sepakat membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu baru. Pada akhirnya anggota Knesset pada 20 Mei memutuskan untuk membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu baru pada 17 September 2019.

74 anggota parlemen Israel setuju atas keputusan ini dan 45 lainnya menolak. Sementara satu anggota parlemen absen saat pengambilan voting tersebut. Netanyahu yang gagal membentuk kabinet, menyambut pembuaran parlemen, karena jika tidak demikian maka presiden akan menunjuk sosok lain sebagai perdana menteri dan ini sama halnya dengan berakhirnya dukungan politik kepada dirinya.

Knesset

Untuk memenangkan pemilu pada 17 September 2019, Netanyahu menerapkan strategi usang yakni perluasan wilayah pendudukan, memanfaatkan dukungan Presiden AS Donald Trump, berkunjung ke Rusia dan memberlakukan kondisi keamanan ketat di bumi pendudukan. Netanyahu berjanji jika menang di pemilu akan menganeksasi wilayah lembah Jordan dan utara Laut Mati ke wilayah pendudukan untuk memperluas wilayah rezim ini dan membangun distrik Zionis.

Ia juga menggelar sidang kabinet terakhir sebelum pemilu Knesset pada 15 September di Lembah Jordan, padahal biasanya sidang ini digelar di Quds pendudukan. Tujuan utama Netanyahu adalah menarik suara lebih besar kubu radikal dan garis keras agama Israel.

Netanyahu seperti pemilu 9 April 2019, berusaha memanfaatkan dukungan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk memenangkan pemilu. Donald Trump sebelum pemilu 9 April, mengakui secara resmi kedaulatan Israel terhadap Dataran Tinggi Golan  dengan harapan memberi bantuan bagi kemenangan Netanyahu. Trump menjelang pemilu parlemen 17 September di Israel kembali di cuitannya membela Netanyahu dan menulis, "Saya melakukan kontak telepon dengan Netanyahu terkait potensi sebuah kesepakatan defensif timbal balik antara Israel dan Amerika. Kesepakatan seperti ini dapat memperkuat persahabatan istimewa antara AS dan Israel."

Sementara Netanyahu di akun twitternya seraya mengucapkan terima kasih kepada sahabat terkasihnya, Donald Trump menulis, "Israel sampai saat ini tidak pernah memiliki sahabat seperti ini di Gedung Putih." Kurang dari satu pekan dari pemilu 17 September, Netanyahu juga berkunjung ke Sochi, Rusia dan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.

Taktik lain yang diambil Netanyahu untuk memenangkan pemilu adalah menciptakan atmosfer keamanan kawasan. Netanyahu sebelum penyelenggaraan pemilu 17 September menciptakan kondisi keamanan di bumi pendudukan dengan menyerang kelompok muqawama di Irak, Suriah, Lebanon dan Palestina. Melalui langkahnya ini, ia mengirim pesan bahwa hanya kabinet yang ia pimpin yang mampu memberi keamanan kepada warga Zionis.

Meski demikian, strategi ini memiliki dampak kontra bagi dirinya, karena Hizbullah Lebanon menunjukkan respon tegas atas serangan Israel dan akhirnya kondisi di bumi pendudukan mencekam. Sementara kubu muqawama Palestina di Gaza juga menembakkan roket membalas agresi Israel dan bahwa Netanyahu sendiri terpaksa mengabaikan pidato kampanyenya dan melarikan diri ke tempat persembunyian.

Pemilu parlemen kedua Israel tahun 2019 digelar 17 September. Komisi pemilihan umum Israel mengumumkan bahwa Koalisi Biru dan Putih pimpinan Benny Gantz berhasil meraih 33 kursi parlemen dan memenangkan pemilu. Sementara Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu meraih 32 kursi.

Poin penting terkait pembentukan kabinet di Israel adalah presiden tidak harus menunjuk pemenang pemilu untuk membentuk kabinet. Sejatinya presiden Israel akan menunjuk seorang perdana menteri sesuai rekomendasi pemimpin partai yang memperoleh suara dan kursi parlemen.

Mengingat 55 anggota parlemen mendukung Netanyahu dan 54 mendukung Gantz, Netanyahu kembali ditunjuk presiden untuk membentuk kabinet. Netanyahu memiliki waktu 28 hari untuk membentuk kabinet, tapi gagal dan presiden kemudian menunjuk Gantz sehingga untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, sosok selain Netanyahu diberi mandat membentuk kabinet.

Netanyahu-Gantz

Meski demikian, Gantz juga tidak berhasil membentuk kabinet baru setelah 28 hari dan Netanyahu dituding melakukan sabotase. Rivlin kembali meminta parlemen menunjuk perdana menteri baru, namun parlemen juga gagal melakukannya. Dengan demikian parlemen untuk kedua kalinya dibubarkan di tahun 2019 dan rencananya pemilu parlemen akan digelar Maret 2020 untuk ketiga kalinya dalam satu tahun.

Seiring dengan kemenangan Netanyahu di pemilu internal partai yang digelar akhir Desember, tidak jelas nasib pembentukan kabinet di pemilu ketiga Israel, karena jika Netanyahu dan Partai Likud di pemilu ini menang tidak tentu mampu membentuk kabinet koalisi.

Kondisi ini juga serupa bagi Gantz dan Koalisi Biru dan Putih. Honaida Ghanim, Director of The Palestinian Forum of Israeli Studies (MADAR) di tahun 2019 mengatakan, "Satu tahun penuh Israel berada di kondisi pemilu. Selama satu tahun ini, banyak masalah termasuk anggaran, undang-undang dalam negeri, pengangkatan hakim dan lainnya semuanya dalam kondisi ditangguhkan setelah pemilu."