Kebijakan AS terhadap Iran di Masa Trump (Bagian 2-Habis)
https://parstoday.ir/id/radio/world-i31297-kebijakan_as_terhadap_iran_di_masa_trump_(bagian_2_habis)
Kemenangan Trump membuat banyak pemimpin dunia khawatir dan mereka kaget dengan hasil pemilu presiden AS. Terpilihnya Trump bahkan sempat memicu protes luas di sejumlah kota di Amerika dan tempat-tempat lain di dunia.
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Jan 19, 2017 11:59 Asia/Jakarta

Kemenangan Trump membuat banyak pemimpin dunia khawatir dan mereka kaget dengan hasil pemilu presiden AS. Terpilihnya Trump bahkan sempat memicu protes luas di sejumlah kota di Amerika dan tempat-tempat lain di dunia.

Barack Obama dalam sebuah statemen mengatakan, sikap kontroversial Trump dalam kampanye seperti akan mendeportasi jutaan imigran, mencabut kesepakatan pertahanan AS dengan NATO dan Jepang, merundingkan ulang perjanjian nuklir Repulik Islam Iran, menolak kesepakatan perubahan iklim, membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko, dan bahkan perubahan cara berurusan dengan warga Muslim, adalah bukan perkara sederhana seperti beretorika.

 

Pernyataan keras Trump terkait perjanjian nuklir Barat dengan Republik Islam Iran telah mendorong Obama untuk mengakui sebuah fakta bahwa banyak dokumen dan data yang membuktikan komitmen Tehran untuk melaksanakan semua kewajibannya dalam JCPOA (Rencana Aksi Bersama Komprehensif). Namun ancaman Trump untuk merusak perjanjian nuklir ini dianggap sebagian kalangan sebagai sebatas retorika dan untuk menyenangan rezim Zionis Israel.

 

Sejumlah analis meyakini bahwa berkuasanya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45 tidak memiliki banyak perubahan bagi Republik Islam Iran. Namun juga tidak bisa dikatakan bahwa hubungan antara Republik Islam Iran dan AS akan lebih buruk jika Trump berkuasa atau akan lebih baik jika Hillary Clinton yang berkuasa di AS. Realitasnya adalah hubungan antara Tehran dan Washington memiliki   kompleksitas historis dan ideologis tertentu, di mana pemulihannya memerlukan perubahan dalam perilaku AS di masa lalu.

 

Terlepas dari pandangan-pandangan itu, poin yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana perilaku AS sebagai aktor politik dan militer di sekitar Republik Islam Iran. Jika kita menengok ke belakang, kita akan melihat bahwa Clinton, capres dari Partai Demokrat yang kalah dalam pemilu Presiden AS tahun 2016 adalah penggagas sanksi  "tertarget" terhadap Republik Islam Iran dan dari kalangan pendukung kebijakan "tangan besi. "

 

Dengan memperhatikan berbagai kebijakan dan ambisi AS terkait Republik Islam Iran, maka bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara Clinton dan Trump dari sisi sifat dan hakikat perilaku mereka. Oleh sebab itu, siapapun yang terpilih sebagai Presiden AS, apakah dia itu Trump atau Clinton, permusuhan Negeri Paman Sam terhadap Tehran tidak akan berubah. Poros kejahatan dan permusuhan terhadap Republik Islam Iran pada dasarnya terbentuk sejak masa pemerintahan George W. Bush.

 

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS adalah transformasi yang mengubah kondisi regional dan internasional, di mana hal ini akan membuat proses perkembagan menjadi berbeda dengan dekade-dekade lalu ketika AS sebagai penentu bagi semua transfomasi. Dampak dari transformasi ini dapat dilihat dari keputusan AS untuk bergabung dalam perundingan nuklir negara-negara Eropa yang terkumpul dalam Kelompok 5+1 dengan Republik Islam Iran. Negosiasi ini mencapai kesuksesan bersejarah setelah tercapai kesepakatan nuklir yang terangkum dalam JCPOA

 

Trump dalam sebuah pernyataan menyebut JCPOA sebagai sebuah kesepakatan yang buruk dan ia mengatakan akan merusak perjanjian tersebut. Namun sebenarnya, pernyataan Presiden terpilih AS ini adalah hal yang wajar. Sebab, dalam dunia politik, mengkritik dan mempertanyakan kebijakan pemerintah atau kinerja kubu pesaing adalah hal yang biasa. Hal ini juga terlihat ketika Bernie Sanders, kandidat dari Partai Demokrat dalam pilpres AS mengkritik keras kebijakan-kebijakan Barack Obama yang notabene juga dari Partai Demokrat.

 

Kini pertanyaannya adalah apakah Trump akan berada di posisi, di mana ia bisa merealiasikan semua pernyataan pedas dan slogan-slogannya dalam kampanye? Sementara berdasarkan undang-undang, presiden AS tidak bisa melanggar kewajiban-kewajiban internasional pemerintah negara ini.

 

Selain itu, kesepakatan nuklir dengan Republik Islam Iran merupakan sebuah keputusan di level internasional dan disetujui Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi, bahkan pernjanjian ini berubah menjadi sebuah kewajiban internasional yang mengikat. Dengan demikian, Trump tidak memiliki kemampuan untuk membangun konsensus anti-Tehran. AS juga memahami dengan baik bahwa pihaknya tidak memiliki alasan rasional dan logis untuk menentang Republik Islam Iran, sebab Tehran akan melanjutkan kebijakan berprinsipnya dan tidak peduli dengan siapa dan kubu mana yang berkuasa di Amerika.

 

Pengaruh lobi-lobi Zionis juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS. Hubungan dengan jaringan Zionis telah menjadi bagian dari realitas sejarah dalam politik Amerika. Oleh karena itu, kebanyakan calon presiden AS berusaha memiliki hubungan yang kuat dengan rezim Zionis Israel dan berpegang pada lobi-lobi Zionis. Dalam konteks ini, tidak terlihat perbedaan yang berarti antara Trump dan Clinton dalam kampanye pemilu. Keduanya menggunakan slogan-slogan yang selaras dengan kebijakan Israel.

 

Trump menilai Israel sebagai sahabat dan sekutu terbesar AS. Menurutnya, dukungan militer Washington kepada Tel Aviv pada periode pemerintahannya mendatang akan sepenuhnya terjamin. Ia mengatakan bahwa apa yang akan dilakukan para pemimpin Israel tidak penting baginya, namun yang pasti dukungannya kepada mereka tidak bisa diputus.

 

Lobi-lobi Zionis mempengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap Republik Islam Iran dan Timur Tengah. Meskipun Trump kemungkinannya akan mengambil pendekatan yang sedikit berbeda dangan Obama di sejumlah kasus, namun kemungkinan adanya perubahan dalam kerangka JCPOA –seperti slogan-slogan ekstrim Trump– tampaknya kecil. Jika AS bertindak berlawanan dengan kewajibannya, maka hal ini jelas melanggar kewajiban internasioanl, dan pemerintah baru Trump akan dikenal sebagai pelanggar hukum internasional.

 

Tim perunding nuklir Republik Islam Iran selama perundingan nuklir telah menunjukkan dengan baik bahwa Tehran memiliki sebuah kebijakan yang logis terhadap negara-negara regional dan Barat. Republik Islam Iran juga telah membuktikan kebenaran pandangannya terkait persoalan Timur Tengah, terutama Suriah dan pentingnya untuk memberantas terorisme, di mana kepercayaan kepada peran positif Tehran di kawasan akan menguntungkan Barat dan seluruh kawasan Timur Tengah.

 

Trump mengatakan bahwa ia menentang perang yang dikobarkan penguasa Partai Demorat dan bahkan Partai Republik dalam serangan ke Irak, Suriah, Afghanistan dan Yaman. Ia juga mengungapkan penentangan terhadap Daesh dan peran AS dalam membentuk kelompok teroris Takfiri tersebut. Trump menganggap Clinton sebagai "ibunya" Daesh dan ia mengecamnya.

 

Trump tidak mau AS berlama-lama berkecimpung dalam urusan politik dunia Arab. Ia meyakini, intevensi militer AS di Irak, Libya dan negara manapun di Timur Tengah hanya akan menimbulkan instabilitas di kawasan ini. Presiden terpilih AS ini meyakini bahwa negara-negara Arab tidak menginginkan atau tidak mampu membangun demokrasi, untuk itu, AS tidak perlu membuang tenaga, nyawa dan finansial di Timur Tengah.

 

Jika Trump mengambil pendekatan seperti itu, maka ini mengindiasikan berahirnya perang yang dikobarkan Amerika di kawasan. Namun di sisi lain –seperti para Republian lainnya– Trump meyakini bahwa seberapapun dana yang akan dihabisan untuk memproduksi dan mendesain senjata Amerika maka tetap akan dianggap kurang. Ia mengatakan, senjata nuklir AS harus dikembangkan. Menurutnya, militer AS akan diperbarui dan seberapapun dana yang diperlukan akan dihabiskan untuk mempersenjatai dan memodernisasinya.

 

Mungkin berbagai fakta di internal masyarakat Amerika dan perkembangan di luar perbatasan negara ini hingga Asia Barat telah mendorong Trump untuk lebih realistis dan mengubah pendekatannya serta melakuan revisi dan pertimbangan, terutama terkait peran konstruktif AS di Timur Tengah.