Imigran dan Komitmen HAM Eropa (4)
(last modified Sun, 19 Feb 2017 04:49:07 GMT )
Feb 19, 2017 11:49 Asia/Jakarta

Anak-anak adalah komunitas masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai perilaku kejam, kekerasan, dan tekanan yang datang dari sisi orang dewasa. Mereka menjadi korban serangan langsung orang-orang dewasa dan harus menerima kegetiran hidup. Hampir setengah dari anak-anak pengungsi tanpa pendamping dilaporkan hilang tanpa jejak setelah mereka tiba di wilayah Uni Eropa.

Mayoritas anak-anak itu telah menjadi korban keganasan sindikat perdagangan manusia dan kelompok kriminal dan mereka dieksploitasi sebagai budak seks. Bahkan anak-anak yang mengungsi ke Eropa bersama kedua orang tua mereka sangat rentan terhadap berbagai serangan. Kepahitan utama yang menghantui anak-anak tersebut adalah serangan dan eksploitasi seksual.

Mengingat mayoritas pengungsi di Eropa tidak memperoleh fasilitas dasar kehidupan, maka kebanyakan anak-anak dan orang tua mereka siap melakukan apapun demi bertahan hidup dan memperoleh sesuatu. Di Yunani, tersebar foto-foto remaja putra yang menjajakan dirinya. Mereka terpaksa menjadi pekerja seks komersial untuk tetap bertahan hidup. Hak-hak anak pengungsi di Eropa dirampas ketika pemerintah negara-negara Eropa yang mengaku membela hak asasi manusia, sama sekali tidak memperhatikan hak-hak tersebut.

Deklarasi Universal HAM secara umum membahas hak-hak manusia dan tidak membeda-bedakan mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1990 meratifikasi sebuah konvensi khusus mengingat anak-anak sebagai komunitas yang paling rentan terhadap berbagai gangguan. Pasca Perang Dunia II, Majelis Umum PBB mendirikan Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) pada Desember 1946. UNICEF bertujuan untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan jangka panjang kepada anak-anak dan ibunya.

Negara-negara Eropa memainkan peran dominan dalam proses kelahiran Konvensi Hak-Hak Anak 1990 dan UNICEF. Namun dalam kasus-kasus seperti arus migrasi ke Eropa, para pemimpin Eropa tidak menganggap penting kondisi para pengungsi yang terlantar termasuk anak-anak. Gelombang pengungsi menjadi batu ujian bagi negara-negara Eropa untuk mengukur tingkat komitmen mereka terhadap konvensi-konvensi kemanusiaan, termasuk Konvensi Hak-Hak Anak.

Para pemimpin Eropa mengkhawatirkan biaya penerimaan pengungsi dan cara-cara untuk menjaga mereka serta dampak kehadiran pengungsi di wilayah Uni Eropa. Ada juga negara Eropa yang menolak menerima pengungsi Muslim termasuk anak-anak bersama orang tua mereka. Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban menyebut pengungsi sebagai racun dan berisiko terhadap serangan teror. Menurutnya, tidak ada alasan bagi Hungaria untuk menerima setiap imigran karena kondisi ekonomi dan demografi akan lebih baik tanpa imigran atau pengungsi.

UNICEF pada awal pembentukannya secara khusus membantu korban Perang Dunia II dari kalangan remaja dan anak-anak, di mana fokus untuk merawat anak-anak Eropa. Namun pada tahun 1953, badan PBB itu memperluas misinya di tingkat internasional dan mulai melakukan kegiatan di negara-negara berkembang. UNICEF kemudian melaksanakan beberapa program untuk membantu anak-anak di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga akses terhadap air bersih dan makanan.

Pada 10 Desember 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mencatatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak anak di dalam isi deklarasi tersebut dan selanjutnya diadopsi oleh Sidang Majelis Umum PBB. Deklarasi universal tersebut menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam keluhuran dan hak. Deklarasi juga mengakui bahwa ibu dan anak berhak atas perlakukan perlindungan khusus.

Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kulural anak-anak. Negara-negara yang meratifikasi konvensi internasional ini terikat untuk menjalankannya sesuai dengan hukum internasional.

Dua protokol tambahan juga diadopsi pada tanggal 25 Mei 2000. Protokol tambahan pertama membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik militer, dan protokol tambahan kedua melarang perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak-anak. Konvensi tersebut secara umum mendefinisikan seorang anak sebagai umat manusia siapapun yang berusia di bawah 18 tahun, terkecuali apabila telah ditentukan oleh hukum negara bersangkutan.

Anak-anak pengungsi yang tiba di Eropa juga terjebak dalam konflik bersenjata, yang lebih buruk dari Perang Dunia II. Konvensi Hak-Hak Anak yang terdiri dari 54 pasal disusun untuk melindungi anak-anak dan setiap pasal menjabarkan secara detail tentang hak-hak anak. Pasal satu memberikan definisi tentang anak, yang mencakup setiap individu yang berusia di bawah 18 tahun.

Pasal dua Konvensi Hak-Hak Anak menyebutkan bahwa negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak, yang dinyatakan dalam Konvensi dari setiap anak dalam yurisdiksi mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik dan pandangan-pandangan lain, asal etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuhnya yang sah.

Konvensi Hak-Hak Anak disusun dengan mengesampingkan segala bentuk diskriminasi dan pengecualian. Pada dasarnya, pemerintah negara-negara Eropa yang mengaku membela nilai-nilai kemanusiaan, sama sekali tidak punya alasan untuk menolak menerima pengungsi khususnya anak-anak. Sebenarnya mereka justru memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Lalu, apakah perilaku para pemimpin Eropa terhadap puluhan ribu pengungsi sudah manusiawi dan bertanggung jawab?

Cukup untuk menyaksikan film dan foto-foto di mana pengungsi bersama anak-anak mereka tertahan di luar perbatasan Eropa. Mereka berada dalam kondisi menderita dalam mencari jalan untuk masuk ke Eropa. Pemerintah Hungaria menutup wilayah perbatasannya dengan Serbia dengan pagar kawat berduri untuk mencegah pengungsi masuk ke Eropa.

Apara keamanan Eropa tidak segan-segan untuk menggunakan kekerasan terhadap pengungsi di hadapan anak-anak mereka. Polisi dan tentara Hungaria memukuli sejumlah pengungsi sebelum mengirim mereka ke perbatasan Serbia. Ada banyak laporan tentang aksi kekerasan dan perlakuan buruk terhadap pengungsi dan anak-anak mereka, yang dilakukan oleh aparat keamanan Eropa.

Para pengungsi dilaporkan mengalami pemukulan, ancaman, dan kekerasan lain dari pihak kepolisian di Eropa. Pengungsi dari Afghanistan, Suriah, dan Irak mengalami beragam kekerasan seperti pemerasan, perampokan, ancaman deportasi, serta serangan anjing polisi.

Pada September 2015, ratusan pengungsi asal Suriah melarikan diri dari kamp Roszke, menuju perbatasan Hungaria-Serbia. Mereka tak tahan dengan perlakuan yang mereka terima di sana. Dengan panik mereka berusaha lolos dari kejaran polisi bersenjatakan pentungan. Seorang pasangan ayah dan anaknya dijegal dan ditendang oleh juru kamera perempuan dari stasiun televisi Hungaria. Kedua korbannya itu pun jatuh ke tanah lapang. Si anak tertindih badan ayahnya.

Gelombang simpati dan jeritan keprihatinan disuarakan oleh berbagai pihak dalam mereaksi rekaman tersebut dan juga foto bocah pengungsi Suriah, Aylan Kurdi. Bocah ini menjadi korban dari perilaku tidak bertanggung jawab oleh pemimpin negara-negara yang menciptakan krisis di Suriah. Sementara insiden Hungaria merupakan reaksi terhadap gelombang pengungsi yang tertahan di luar perbatasan Eropa. Mereka menerima perlakuan buruk dan pemukulan.

Di wilayah Eropa sendiri, pengungsi juga menghadapi aksi diskriminasi rasial dan tindakan kekerasan oleh kelompok-kelompok radikal sayap kanan. Mereka membakar kamp-kamp pengungsi di sejumlah negara Eropa khususnya di Jerman. Kelompok sayap kanan mendesak pelarangan masuknya imigran dan pengusiran para pengungsi dari benua Eropa.

Partai-partai sayap kanan meraih kemenangan dalam pemilu di negara-negara Eropa. Partai-partai tradisional Eropa juga memperketat kebijakan penerimaan pengungsi demi menjaga posisinya dan ingin mengeluarkan mayoritas dari mereka terutama pengungsi, yang datang bersama keluarganya.