Islamphobia di Dua Kiblat Umat Muslim oleh Trump
(last modified Wed, 21 Jun 2017 03:16:25 GMT )
Jun 21, 2017 10:16 Asia/Jakarta

Presiden Amerika Serikat Donald Trump beberapa waktu lalu melakukan kunjungan perdananya ke Arab Saudi dan Palestina pendudukan. Dari Palestina pendudukan, Trump kemudian menuju Italia untuk menghadiri sidang G7 dan ke Brussel untuk menghadiri KTT Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO.

Kunjungan Trump ke dua kiblat umat Islam di Arab Saudi dan Baitul Maqdis itu dilakukan ketika Raja Arab Saudi telah mempersiapkan sambutan khusus untuk Trump. Salman bin Abdul Aziz, bahkan mengundang para pemimpin negara-negara Islam untuk ke Riyadh guna mendeklarasikan kepemimpinan Al-Saud dalam memegang panji koalisi anti-terorisme.

Meski demikian koalisi anti-terorisme pimpinan Arab Saudi sebenarnya tidak lebih dari "guyon politik". Nyaris tidak ada orang di dunia yang tidak mengetahui bahwa Arab Saudi adalah produsen dan distributor radikalisme dan terorisme di dunia. Trump pada masa kampanyenya menyebut Arab Saudi sebagai sumber utama pendukung terorisme dunia. Namun setelah terpilih,  Trump menyepakati hubungan strategis dengan Arab Saudi setelah perbincangan via telepon dengan Raja Saudi.

Presiden Amerika Serikat dalam kunjungan perdananya juga langsung menuju Arab Saudi dan menandatangani kontrak penjualan senjata dengan angka yang luar biasa fantastis. Kontrak itu diteken dibarengi dengan menebar klaim infaktual serta tuduhan bahwa Iran mendukung terorisme.

Demi memajukan tujuan penjajahan dan menjustifikasi krisis di Suriah, Irak, Yaman, Bahrain dan negara-negara di Afrika utara, Arab Saudi membutuhkan musuh untuk dikambing-hitamkan. Oleh karena itu, Iran sebagai korban terorisme terbesar selama empat dekade terakhir dan negara paling serius dalam memberantas terorisme di kawasan, dituding Riyadh sebagai pendukung terorisme.

Iran juga dijadikan alasan untuk menjustifikasi kontrak senjata ratusan miliar dolar Saudi dengan Amerika Serikat. Di sisi lain, Washington juga memerlukan alasan untuk politik intervensifnya di wilayah Timur Tengah dan juga untuk menjaga agar pasar pesenjataan dunia tetap hangat. Sebab itu, Washington menunjukkan satu suara dengan Arab Saudi dalam menuding Iran.

Poin penting untuk digarisbawahi adalah bahwa kekompakan Trump dan Al-Saud menuding Iran mendukung terorisme itu terjadi ketika di Iran sedang disaksikan pemilihan umum luar biasa meriah dan bergelora untuk kawasan Timur Tengah. Robert Fisk, analis internasional dan jurnalis Inggris dalam catatannya untuk koran Independent, memuji pemilu di Iran dan menulis, "50 diktator yang berkumpul di Riyadh untuk bertemu dengan Donald Trump, tidak berani menggelar pemilu seperti di Iran."

Pada bagian lain catatannya, Fisk menulis, berkumpulnya negara-negara Arab pesisir Teluk Persia di Riyadh untuk bertemu dengan Trump adalah perkumpulan para diktator dan kriminal despotik. Selain Lebanon, Tunisia dan Paksitan, semua negara lain yang hadir dalam sidang Riyadh, menilai demokrasi sebagai sebuah lelucon, humor dan masalah yang sama sekali tidak berkaitan.

Di Amerika Serikat, kunjungan Trump ke Arab Saudi dan penandatanganan kontrak senjata ratusan miliar dolar, direaksi negatif secara meluas. Fareed Zakaria, jurnalis dan penulis terkemuka India-Amerika, dalam artikel untuk koran Washington Post menulis, "Fakta-fakta telah jelas dengan baik, sekitar lima dekade Arab Saudi menyebarluaskan riwayatnya yang terbatas, kaku dan fanatik tentang Islam ke seluruh dunia. Riwayat yang nyaris tidak diamalkan di tempat lain. Osama bin Laden, adalah seorang Saudi sama seperti 15 orang pelaku serangan teror 11 September yang semuanya adalah warga Saudi."

Di bagian lain catatannya, Zakaria menyinggung kehadiran warga Saudi di dalam kelompok teroris Takfiri Daesh dan dukungan rezim Riyadh terhadap Al-Qaeda. "Orang-orang Saudi adalah kelompok kedua warga negara-negara yang bergabung dengan Daesh di saat berdasarkan sebagian data, orang-orang Saudi adalah anggota terbanyak Daesh di Irak. Di samping itu semua, tidak dapat disembunyikan bahwa Riyadh memiliki persatuan terselubung dengan Al-Qaeda di Yaman."

Terkait pemikiran radikal dan terorisme Daesh, analis India-Amerika itu menulis, "Kelompok teroris Daesh meminjam ideologi Wahabisme Arab Saudi. Sebagaimana mantan mufti Masjidul Haram negara ini, tahun lalu mengakui bahwa Daesh mengekstrak prinsip-prinsip kami, prinsip-prinsip yang ditemukan dalam kitab-kitab kami... kami  juga mengikuti ajaran-ajaran yang sama, akan tetapi melaksanakannya dengan penuh kelembutan. Menariknya, meski Daesh dapat memiliki kitab-kitab tersebut, akan tetapi memilih untuk melalui masa belajarnya di Arab Saudi."

Fareed Zakaria juga menyinggung perluasan radikalisme di Eropa oleh Arab Saudi. "Uang orang-orang Saudi sekarang sedang mengubah Islam di Eropa. Berbagai laporan intelijen yang terkuak di Jerman menunjukkan bahwa lembaga-lembaga amal yang dekat dengan instansi pemerintah Saudi, Qatar dan Kuwait, memberikan bantuan ke masjid-masjid, sekolah-sekolah dan para imam shalat Jumat, untuk menyebarkan riwayat fundamentalis dan fanatis negara-negara tersebut terkait Islam, di seluruh Jerman."

Menurut Fareed Zakaria, sebenarnya negara-negara Eropa dan Amerika sendiri yang menginjinkan Arab Saudi untuk menyebarkan perspektif radikal dan menyimpangnya terhadap Islam di negara-negara Eropa. Hubungan khusus Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dengan Arab Saudi, telah membuktikan kebohongan slogan mereka dalam memberantas terorisme dan radikalisme.

Salah satu wilayah penting untuk investasi besar Arab Saudi untuk menyebarluaskan paham Wahabisme serta perekrutan anggota Daesh dan Al-Qaeda, adalah wilayah Balkan khususnya Kosovo. Sebuah wilayah Muslim yang sangat miskin. Zakaria menulis, di Kosovo, yang diriwayatkan memiliki tradisi Islam moderat selama 500 tahun, sedang hancur. Para imam shalat Jumat yang telah dididik Arab Saudi, menjadi corong untuk menyebarkan paham Wahabisme.

Superioritas ketentuan syariat dan ide takfiri garang yang mengijinkan pembunuhan terhadpa Muslim yang menurut penafsiran mereka telah menyimpang dari Islam. Bantuan-bantuan dana biasanya dibarengi dengan syarat, keluarga-keluarga miskin hanya akan mendapat bantuan jika mengikuti acara-acara di masjid dan perempuan mereka mengenakan burka. 

Kunjungan Trump ke Arab Saudi dan kemudian Palestina pendudukan, serta berbagai reaksi dan kontrak ratusan miliar dolar penjualan senjata, menunjukkan bahwa Presiden Amerika yang juga seorang penguasaha besar di negaranya, mengenal dengan baik bau petrodollar, dan dia akan melakukan apapun demi menjaga serta mengokohkan hubungan Amerika Serikat dengan negara paling despotik dan paling tidak demokratis di dunia itu.

Akan tetapi permainan ganda Amerika Serikat dan sekutu Eropanya dengan masalah terorisme sudah tidak lagi tanpa ancaman keamanan bagi Barat. Bukan hanya Arab Saudi, melainkan tidak satu negara pun di dunia yang mampu menggapai keamanan dengan menimbun senjata.

Untuk terkait Suriah, Irak dan Yaman, Arab Saudi menghambur-hamburkan petrodollarnya untuk merangkul negara-negara Arab dan non-Arab. Tidak satu pun dari koalisi yang dibentuk Arab Saudi yang berhasil mewujudkan target dan tujuan Riyadh. Pemerintah-pemerintah Arab dan non-Arab sekutu Arab Saudi, tidak mendukung politik petualangan dan tidak manusiawi Al-Saud.

Pada akhirnya Barat juga tidak akan mampu menutup mata selamanya di hadapan politik Arab Saudi dan mengiringi Riyadh menyebar luaskan pemikiran radikal dan terorismenya, hanya demi petrodollar Riyadh. Fareed Zakaria mengingatkan, "Bom pekan lalu di Manchester, adalah salah satu peringatan menjijikkan soal berlanjutnay ancaman gerakan radikalisme."

Tags