Ketegangan Cina-Amerika di Masa Trump
Setelah Presiden Donald Trump berkuasa, hubungan Amerika Serikat dan Cina memasuki era baru kompetisi politik dan keamanan. Trump dengan mengintensifkan tekanan terhadap Beijing, tampaknya sedang mencari konsesi ekonomi, politik, dan keamanan dari Cina. Sejak kampanye pemilu presiden AS pada pertengahan tahun 2016, dimana Donald Trump – sebagai salah satu capres – langsung mengadopsi kebijakan agresif anti-Cina, dan menyeret hubungan kedua negara pada sebuah babak baru.
Untuk memenangkan pemilihan, Trump berusaha mengesankan persoalan ekonomi Amerika disebabkan oleh bentuk hubungan perdagangan negara itu dengan Cina dan kebijakan proteksi pemerintah Cina atas industri manufakturnya. Pada dasarnya, Trump memberi tekanan pada Cina demi memenangkan pemilihan presiden, dan sejak saat itu ia mulai mengusik Negeri Tirai Bambu itu dan menentang kebijakan ekonominya.
Pasca kemenangan Trump dan kehadirannya di Gedung Putih, kebijakan anti-Cina Washington semakin intensif di berbagai sektor. Pertama, di sektor ekonomi, Trump – sebagai pelaku bisnis – menuduh Cina merebut dan menguasai pasar komersial Amerika, dan mengklaim bahwa situasi ini telah menyebabkan peningkatan pengangguran di Amerika. Dia juga mengatakan bahwa kita tidak bisa membiarkan Cina "memperkosa" negara kita, dan itulah yang tengah mereka lakukan. Menurutnya, Cina telah "membunuh" perdagangan Amerika.
Trump mengancam akan memberlakukan bea masuk yang tinggi terhadap barang-barang ekspor ke Amerika untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan Cina. Tentu saja, ancaman ini berimbas pada Jepang dan Korea Selatan, dimana Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berhasil mengeluarkan Jepang dari kebijakan agresif Trump dengan menjanjikan investasi yang besar di Amerika.
Di sisi lain, kunjungan Presiden Cina Xi Jinping ke Washington dan pertemuannya dengan Trump, tidak membawa kemajuan bagi pengembangan kerja sama ekonomi Amerika-Cina.
Isu kedua, yang digunakan Trump sebagai tuas untuk menekan Cina adalah masalah Taiwan dan dukungan untuk kemerdekaan pulau tersebut. Percakapan telepon Trump dengan kepala pemerintahan Taiwan telah memicu kemarahan Cina dan Beijing menuduh Presiden AS melanggar kebijakan Satu Cina sebagai landasan utama hubungan diplomatik kedua negara. AS dengan menjual sekitar 2 miliar dolar senjata ke Taiwan, sedang mencoba untuk memanfaatkan pulau tersebut sebagai tuas baru untuk menekan Cina.
Isu ketiga, yang telah menjadi fokus utama Trump dalam berurusan dengan Cina adalah memperburuk krisis di Semenanjung Korea dan memprovokasi Korea Utara untuk berperang. Pada awal tugasnya, Trump memberi Cina waktu 100 hari untuk menghentikan program nuklir dan rudal Korea Utara.
Selama masa itu, pemerintah Beijing selain tidak mematuhi tuntutan Trump, tapi juga memperingatkan Amerika agar tidak mengaitkan krisis Korea Utara dengan kebijakan regional Cina. Pemerintah Cina mengatakan bahwa isu Korea Utara adalah sebuah isu bilateral antara negara itu dan Amerika, dan mereka harus menyelesaikannya secara bilateral.
Wakil Menteri Perdagangan Cina, Qian Keming mengatakan tidak ada hubungan antara isu Korea Utara dan perdagangan antara Cina dan AS. Dia menegaskan, kami pikir isu nuklir Korea Utara dan perdagangan Cina-Amerika adalah isu yang berada dalam dua wilayah yang sama sekali berbeda, tidak terkait, tidak harus dibicarakan bersama.
Meski demikian, AS dengan mengerahkan kapal perangnya ke Semenanjung Korea termasuk kapal induk USS Ronald Reagan dan kapal selam USS Michigan, memperlihatkan bahwa mereka tidak akan mentolerir perilaku Korea Utara. Selain itu, Amerika juga terus memperkeruh situasi keamanan regional dengan melakukan latihan bersama dengan Jepang dan Korea Selatan. Trump juga menggunakan tuas ekonomi dan masalah Taiwan untuk memaksa Cina agar mau menjinakkan Korea Utara.
Seorang pengamat politik, Eric Gomez mengatakan, Cina tidak memiliki banyak kemampuan untuk mempengaruhi para pemimpin Korea Utara, seperti yang dibayangkan Trump.
Kebijakan membendung Cina, yang diluncurkan oleh mantan Presiden AS Barack Obama pada 2011 dengan fokus militer ke Asia Timur, tidak hanya dimatangkan oleh Trump, tapi juga sedang diperkuat melalui India. Trump sedang membujuk India untuk memperluas hubungan perdagangan dan militer dengan AS sehingga bisa menyempurnakan kebijakan membendung Cina.
Seorang pengamat politik Australia, David Brewster mengatakan, kerjasama militer AS dengan Jepang dan India bertujuan untuk meningkatkan solidaritas mereka dalam melawan Cina, sementara Beijing berusaha untuk memperlemah aliansi dan solidaritas ini.
Trump dengan mendukung negara-negara di Laut Cina Selatan – yang berseteru dengan Beijing – dan juga mendorong Jepang untuk memiliki tentara yang kuat setelah amandemen konstitusi, ingin menciptakan tantangan yang lebih besar bagi Cina. Ucapan selamat Trump kepada Shinzo Abe setelah ia memenangkan pemilihan dini parlemen Minggu lalu, memperlihatkan bahwa presiden AS telah memberikan sinyal untuk memperkuat konvergensi anti-Cina di wilayah tersebut.
Trump sengaja merusak situasi keamanan di Asia Timur, sambil memaksa negara-negara kawasan untuk "membeli keamanan" mereka dari Amerika. Selain itu, Trump ingin meraup keuntungan ekonomi dan membentuk aliansi regional yang terdiri dari Australia, India, dan Jepang sehingga negara-negara Asia melawan Cina.
Selama sembilan bulan terakhir, Trump menunjukkan bahwa ia tidak memiliki program yang koheren dalam menghadapi krisis di Semenanjung Korea. Trump diyakini tidak memiliki strategi yang pasti dan matang melawan Cina, karena ia terus mengubah strateginya.
Bagaimanapun, Cina telah merespon secara proporsional kebijakan agresif Presiden Trump dan menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik untuk bersitegang dengan Washington, dan Cina berhasil meredam situasi dengan memanajemen krisis.
Pada dasarnya, pasca berakhirnya masa kepemimpinan Bill Clinton dari Partai Demokrat, Cina tampaknya tidak lagi dianggap sebagai 'mitra strategis konstruktif' Amerika, tapi menurut keterangan mantan Presiden George W. Bush, Cina merupakan rival strategis AS. Pada masa Clinton, AS dan Cina membuka pintu dialog dan kedua negara sepakat untuk memperkuat kerja sama di berbagai bidang tanpa merusak kepentingan mendasar satu sama lain.
Kedua kekuatan dunia ini tentu saja membutuhkan kerja sama untuk menyelesaikan persoalan mereka. Cina mengatakan bahwa Trump tidak punya jalan lain kecuali menerima realitas, berkomitmen dengan kebijakan Satu Cina dan memenuhi kewajiban hukum. Mantan penasihat keamanan nasional AS, Zbigniew Brzezinski dalam bukunya "Second Chance" menulis, AS harus selalu memisahkan Rusia dari Cina dan memperkuat kerjasamanya dengan Cina.