AS, Setahun Pasca Pilpres
https://parstoday.ir/id/radio/world-i46816-as_setahun_pasca_pilpres
Berbeda dengan hasil jajak pendapat, ternyata kandidat presiden Amerika dari kubu Republik berhasil menang dan terpilih sebagai presiden ke-45 negara ini. Ia gagal meraih suara mayoritas warga Amerika di pemilu, namun karena mendapat suara tinggi di Electoral College (suara elektoral), akhirnya ia unggul dari rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.
(last modified 2025-12-04T09:48:52+00:00 )
Nov 15, 2017 12:27 Asia/Jakarta

Berbeda dengan hasil jajak pendapat, ternyata kandidat presiden Amerika dari kubu Republik berhasil menang dan terpilih sebagai presiden ke-45 negara ini. Ia gagal meraih suara mayoritas warga Amerika di pemilu, namun karena mendapat suara tinggi di Electoral College (suara elektoral), akhirnya ia unggul dari rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Di pemilu presiden tahun 2016 di Amerika Serikat, terlepas dari siapa kandidat yang menang dan siapa yang kalah, ada pemenang dan pecundang lainnya yang mengubah citra negara ini. Di pemilu ini yang dikenal dengan pemilu abad Amerika, kelompok yang tidak puas, para elit politik yang terpinggirkan, partai politik dan pembela tatanan yang mapan seluruhnya termasuk kelompok yang kalah. Dengan kata lain, pemilu presiden 2016 adalah kemenangan sekelompok orang terhadap kaum elit, margin pusat dan kemenangan ketidakteraturan terhadap sistem, namun mengapa begitu?

Persiapan bagi hasil pemilu presiden Amerika tahun 2016, kira-kira mulai terbentuk sejak 10 tahun lalu, di hari ketika krisis finansial meletus pada 2007-2008. Hingga saat itu, proses kehidupan politik, ekonomi dan sosial Amerika masih berjalan normal. Aktivitas sehari-hari di pasar saham masih berjalan dan warga Amerika puas dengan tingkat kesejahteraan mereka. Peluang lapangan kerja masih dapat memenuhi permintaan dan program kesejahteraan pemerintah untuk membantu kalangan miskin masih ada.

Tapi saat itu, masih ada ketakutan terulangnya serangan teror dan dampak negatif dari perang Irak. Hal ini dengan sendiriya memicu kekhawatiran di tengah masyarakat Amerika. Namun begitu, isu-isu ini termasuk masalah sampingan bila dibanding dengan isu ekonomi dan kehidupan. Kondisi aman ini berlangsung hingga terjadi ledakan mendadak di pasar properti Amerika. Ekonomi AS dan dunia pun terseret.

Dalam waktu singkat, raksasa finansial Wall Street bertekuk lutut dan berbagai bank kredibel mulai tumbang karena investasi mereka di sektor properti. Seiring dengan tumbangnya lembaga finansial yang aktif di sektor properti, gelombang penyitaan rumah mulai berlansung dan tiga juta warga Amerika pun kehilangan tempat tinggal mereka. Saat itu, ketika investasi di pasar terhenti, roda ekonomi di Amerika pun mandek dan resisi ekonomi pun timbul serta mencakup seluruh sektor ekonomi di negara ini.

Image Caption

 

Ratusan ribu warga Amerika kehilangan pekerjaan mereka di krisis ini dan simpanan dana pensiun jutaan warga Amerika hangus. Krisis ekonomi terbesar setelah resesi tahun 1929 telah membuat banyak warga Amerika hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, pemerintah Amerika tidak tinggal diam dan berusaha mempertahankan perekonomian negara ini serta menyuntikkan ratusan juta dana pajak ke pasar. Kebijakan ini membuat hutang publik melambung dan memangkas dana kesejahteraan rakyat.

Selain itu, pajak rakyat Amerika pun diserahkan kepada Wall Street yang tenggelam dalam korupsi dan manajemen keliru. Di krisis ini, orang kaya semakin kaya dan warga miskin semakin miskin.

Meski krisis ekonomi ini setelah dua tahun berjalan dan berkat campur tangan pemerintah mulai redam, namun masa dua tahun ternyata cukup menggoyah sendi-sendi sosial dan politik di Amerika Serikat. Kelompok yang marah karena kehilangan harta dan pekerjaan memberontak sistem oligarki finansial di Amerika. Protes atas ketidaksetaraan ini dan korupsi dimulai jantung finansial Amerika yakni Wall Street.

Wall Street sebagai jantung perekonomian Amerika Serikat saat ini menjadi pusat perlawanan anti-Kapitalisme dunia. Perlawanan ini berlangsung sejak 17 September 2011. Protes massa yang dimotori Gerakan Occupy Wall Street telah menjadi sebuah fenomena global yang semakin mendapat dukungan besar dari rakyat AS dan masyarakat dunia.

Gerakan Occupy Wall Street memulai aksinya di New York dengan hanya puluhan orang. Ketika itu, aksi protes mereka kurang mendapat perhatian media massa. Namun setelah gelombang protes mulai merambah ke seluruh wilayah AS, suara protes mereka semakin menggelegar. Menyikapi kondisi demikian, polisi semakin ketat meningkatkan pengamanan di negara ini. Namun aksi tersebut justru memicu peningkatan gelombang penentangan rakyat terhadap Wall Street.

Bergabungnya sejumlah artis Hollywood semakin meneguhkan gerakan protes Occupy Wall Street. Tuntutan para demonstran rakyat AS tidak hanya mencakup lapangan pekerjaan dan peningkatan upah, tapi juga meliputi perubahan sistem ekonomi.

Pemrotes "Occupy Wall Street" mulai melancarkan aksinya dan bertindak melawan kapitalisme. Gerakan anti Wall Street ini berlangsung singkat, namun meledak di seluruh wilayah Amerika Serikat, bahkan juga merembet ke wilayah di luar negara ini. Gerakan ini membagi masyarakat Amerika menjadi kelompok satu persen dan 99 persen. Kelompok satu persen adalah kalangan konglomerat yang mengontrol aset 80 persen masyarakat. Sedangkan kelompok 99 persen adalah kelompok yang hanya mencicipi 20 persen kekayaan publik.

Gerakan protes Occupy Wall Street melalui gerakan revolusinya berupaya mengakhiri ketimpangan dan ketidakadilan politik serta ekonomi di sistem kapital, akhirnya diselewengkan oleh penguasa dan sekedar menjadi gerakan reformasi di sistem yang ada. Dan tugas reformasi pun disematkan di pundak pemerintah Demokrat Barack Obama.

Untuk menjawab tuntutan rakyat dan meredam kemarahan publik, ia merancang program reformasi di Wall Street dan mulai memberi bantuan kepada lapisan masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi. Alokasi dana pemerintah kepada perusahaan yang terancam gulung tikar, meningkatkan asuransi pengangguran, membagikan kupon makanan dan menggelontorkan program asuransi kesehatan murah "Obamacare", termasuk strategi presiden Amerika saat itu, Barack Obama.

Meski program Obama ini mendapat sambutan dari kalangan warga miskin dan mereka yang terkena dampak krisis ekonomi, namun ternyata membawa efek lain. Dampak tersebut adalah protes yang dilancarkan kubu sayap kanan. Mereka meyakini masyarakat Amerika melalui program Obama tersebut akan menjadi masyarakat sosialis. Protes ini pada awalnya terbentuk dalam gerakan Tea Party dan kemudian mencapai puncaknya dengan kemenangan Trump di pilpres 2016.

Di bawah bayang-bayang ketidakpuasan warga Amerika, pemilu presiden negara ini digelar tahun 2016. Di pemilu ini, elit politik terkemuka satu demi satu melawan pahlawan kelompok yang marah, yakni Donald Trump. Trump sendiri pada dasarnya juga termasuk sosok oligarki finansial dan berada di lingkaran politik Amerika. Selama bertahun-tahun, Trump termasuk investor Wall Street yang memproduksi dan membentuk presiden di Amerika.

Trump selama kampanye mengumbar janji-janji yang membuat tenang kelompok yang marah, tidak puas dan pemain yang kecewa dari elit politik negara ini. Janji-janji tersebut seperti pengadaan lapangan kerja, menurunkan pajak dan melarang perusahaan besar keluar dari Amerika dan memutus jaringan korupsi di Washington.

Tak hanya itu, slogan kontroversial lainnya Trump seperti mengusir imigran ilegal dari Amerika, melarang Muslim memasuki negara ini, menghentikan perang di luar negeri dan menghancurkan Daesh sangat diminati oleh warga Amerika yang mulai kecewa atas kondisi di negaranya. Secara umum, slogan tim sukses Trump adalah membuat Amerika kembali nomor satu dunia. Slogan ini sudah cukup menarik kalangan masyarakat yang mulai tidak puas dengan kondisi negaranya, kelompok pengangguran, elit politik yang terpinggirkan dan warga pedesaan yang terlupakan.

Namun begitu pemenang di pemilu presiden 8 November 2016 bukan sosok yang dipilih mayoritas warga. Di sisi lain, pemenang pemilu di Amerika tidak harus kandidat yang dipilih mayoritas warga, tapi kandidat yang berhasil meraih suara mayoritas di suara elektoral. Dengan dengan demikian suara 270 dari total 548 suara elektoral sudah cukup mengantarkan kandidat ke kursi kepresidenan Amerika.

Donald Trump tidak memiliki pengalaman politik dan manajeman pemerintahan. Ia juga berhasil melenggang ke Gedung Putih berkat suara kelompok yang marah di negara-negara bagian yang diistilahkan negara bagian kuning, khususnya negara bagian industri yang lumpuh akibat krisis ekonomi tahun 2007-2008. Negara bagian tersebut, sempat menjadi pusat industri, besi, baja dan otomotif serta terkena dampak dari globalisasi dan kemudian menyerahkan domainnya ke era digital Silicon Valley serta kemudian hancur akibat krisis ekonomi.

Kini setahun telah lewat dari pemilu presiden Amerika. Kini pemerintahan Trump berubah menjadi perkumpulan konglomerat Wall Street, yakni kelompok satu persen dari masyarakat Amerika. Program pengganti asuransi murah Obamacare untuk saat ini mandek dan tidak ada pula perkembangan ekonomi yang dijanjikan Trump.

Di sisi lain, kini Amerika dihadapkan pada kendala baru berupa munculnya gerakan sayap kanan radikal. Munculnya fenomena ini membuat masyarakat Amerika dan elit politik khawatir. Kini masa depan politik Trump tergantung pada kemampuannya untuk mengembalikan raksasa yang muncul akibat lampu hijaunya ke posisi pertamanya.