Harapan Pemberantasan Diskriminasi di AS
Pada 1 Desember 1955, di kota Montgomery di negara bagian Alabama, tenggara Amerika Serikat, seorang pemudi kulit hitam naik bus. Setelah melewati beberapa halte, seorang laki-laki kulit putih naik dan sudah tidak ada lagi tempat duduk. Sopir bus meminta remaja perempuan kulit hitam yang duduk di bagian khusus warga kulit berwarna untuk bangkit dari tempat duduknya dan memberikan kursinya kepada laki-laki kulit putih itu.
Laki-laki kulit putih itu tidak memaksakan diri untuk duduk, akan tetapi sang sopir bersikeras agar dia duduk. Namun perempuan kulit hitam itu menolak bangkit dari tempat duduknya dan bersikeras menegaskan bahwa dia duduk di barisan kursi khusus untuk kulit berwarna dan dia berhak menggunakannya. Akan tetapi ketentuan menyebutkan bahwa jika semua kursi di bagian kulit putih telah penuh, maka para penumpang di bagian kulit berwarna harus memberikan tempat duduknya kepada orang kulit putih.
Perempuan kulit hitam itu telah melanggar ketentuan tersebut dan akhirnya dia ditangkap oleh aparat keamanan. Penangkapan dengan alasan menolak memberikan tempat duduknya kepada warga kulit putih itu seketika berubah menjadi kontroversi dan dengan demikian dimulailah sebuah gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat.
Perjuangan Rosa Parks, perempuan kulit hitam asal Alabama yang kemudian dikenal dengan "The Mother of Freedom Movement" dan "The First Lady of Civil Rights" itu, menjadi tantangan paling serius yang dihadapi undang-undang rasisme Amerika Serikat pada masa itu. Setelah berakhirnya perang saudara pada 1864, yang mengakhiri periode perbudakan, Amerika Serikat memulai periode pemilahan etnis.
Dengan prinsip "setara tapi terpisah", telah terbentuk dua fakta di Amerika Serikat. Sebuah Amerika Serikat yang milik kaum kulit putih dan lainnya adalah milik kulit hitam. Seluruh fasilitas dibagi dalam dua kategori tesrebut. Kawasan pemukiman, sekolah, restoran, pantai dan bahkan toilet umum pun dibagi dalam dua kelompok tersebut. Tentunya fasilitas yang lebih lengkap dan modern hanya dapat dinikmati kaum kulit putih.
Juga ditetapkan hukuman berat untuk pelanggaran terhadap ketentuan tersebut. Oleh karena itu, Rosa Parks yang juga berprofesi sebagai guru, harus masuk penjara akibat undang-undang rasisme tersebut. Dia bukan orang pertama yang dipenjarakan karena melanggar ketentuan itu. Akan tetapi karena sosok Parks dan juga sikap brutal polisi Montgomery, telah menimbulkan gejolak sipil di negara yang merupakan simbol rasisme dan diskriminasi.
Pada awalnya digelar protes dan demonstrasi terbatas dan bersifat lokal. Akan tetapi dengan cepat gelombang protes tersebut menyebar dengan cepat hingga ke seluruh wilayah di negara bagian Alabama hingga akhirnya ke seluruh Amerika Serikat. Keesokan harinya setelah insiden yang dialami Parks, tidak ada warga kulit hitam di kota Montgomery yang bersedia naik bus untuk mematuhi ketentuan rasisme itu.
Dengan demikian tebentuklah gerakan menolak menggunakan sarana bus kota oleh warga kulit hitam. Mereka menolak menggunakan bus kota dan rela berjalan kaki puluhan mil demi tidak menyaksikan penistaan dan penghinaan. Aksi mogok ini berlangsung selama sembilan bulan dan menyebar ke berbagai negara bagian lain.
Dalam protes, muncul seorang pastor muda bernama Martin Luther King Jr. yang menyampaikan pidato berapi-api dan kemudian dia menjadi pemimpin gerakan kebebasan sipil. Berbagai lembaga pro hak sipil warga kulit berwarna termasuk National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) ikut terjun dan menangani pembelaan Pars di pengadilan melawan ketentuan pemisahan ras di bus-bus kota Montgomery.
Pengadilan Montgomery tetap bersikeras mempertahakan undang-undang tersebut. Akan tetapi atmosfer politik-budaya pasca Perang Dunia II dan peningkatan wawasan sosial warga kulit hitam Amerika Serikat, membuat banyak tokoh dari gerakan kebebasan hak sipil bermunculan dan terbentuk banyak lembaga-lembaga baru.
Pada akhirnya berkas Parks dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Federal dan lembaga tersebut merilis vonis bersejarah untuk menghentikan pelaksanaan pemisahan penumpang berdasarkan warna kulit di bus-bus kota. Ini merupakan kemenangan penting bagi gerakan protes warga kulit hitam yang berujung pada ratifikasi undang-undang "Hak-Hak Sipil" pada satu dekade berikutnya.
Sekarang telah 66 tahun berlalu sejak Rosa Parks menolak mematuhi undang-undang diskriminatif di Montgomery itu. Selama itu, banyak undang-undang rasis yang telah dicabut. Sebagai contoh, di depan restoran sudah tidak terpampang lagi tulisan berbunyi "kulit hitam dan anjing dilarang masuk". Toilet-toilet umum sudah dapat digunakan oleh semua warga tanpa ada pengecualian. Di sekolah, pelajar kulit hitam dan putih berbaur. Serta tidak ada lagi kawasan permukiman khusus kulit hitam dan putih.
Bahkan banyak warga kulit hitam unggul dari sisi pendidikan atau status sosial, dapat menempuh karir tinggi hingga menteri luar negeri, kepala staf gabungan militer, jaksa agung dan bahkan presiden. Realisasi hal tersebut adalah mustahil bagi mereka yang hidup di masa pemisahan ras dan undang-undang diskriminatif.
Meski demikian ada sekelompok masyarakat yang setelah 60 tahun berlalu dari perjuangan Rosa Parks di Montgomery, negara bagian Alabama, yang berpendapat bahwa kesetaraan ras atau paling tidak toleransi ras di Amerika Serikat belum benar-benar terwujud. Selain itu data statistik dari berbagai lembaga polling soal tingkat diskriminasi etnis di negara ini, kehidupan sehari-hari warga kulit berwarna di negara ini masih jauh dari kondisi ideal kesetaraan ras.
Sebagai contoh, meski saat ini sudah tidak ada lagi undang-undang "setara tetapi terpisah", namun warga kulit hitam tidak dapat tinggal di wilayah yang nyaman seperti umumnya warga kulit putih, karena kondisi keuangan mereka. Atau mereka tidak mampu menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah yang lebih baik sebagaimana anak-anak warga kulit putih.
Dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada perilaku rasis yang lebih sadis dari aksi penembakan tanpa sebab oleh aparat polisi ke arah pemuda kulit hitam, yang akhirnya direaksi dengan amukan massa kulit hitam Amerika Serikat. Selama itu, berulangkali disaksikan polisi kulit putih menembak tanpa alasan pemuda kulit hitam yang tidak bersenjata.
Tampaknya bagi banyak polisi Amerika Serikat, memiliki kulit hitam itu saja sudah cukup bagi para pemuda tersebut untuk menjadi tersangka dan target penembakan. Data menunjukkan, seorang pemuda kulit hitam beresiko terkena sasaran tembakan polisi 17 kali lipat lebih besar dibanding pemuda kulit putih. Sementara dalam banyak kasus penembakan tanpa sebab pemuda kulit hitam oleh polisi, pihak pengadilan selalu memenangkan polisi.
Ini menunjukkan bahwa diskriminasi etnis dalam masyarakat Amerika Serikat telah sedemikian dalam dan mengakar. Bahkan dua lembaga penjamin keamanan yaitu kepolisian dan pengadilan, telah menjadi sarana mengobarkan sentimen ras dan etnis.
Sejumlah indikasi menunjukkan bahwa masyarakat Amerika Serikat sedang memasuki era baru gerakan perjuangan keadilan ras dan etnis. 60 tahun lalu, warga kulit hitam Amerika Serikat berjuang menuntut kesetaraan dalam penggunaan sarana publik. Akan tetapi sekarang mereka menginginkan keteraan hak hidup aman di hadapan polisi. Oleh sebab itu, sekarang muncul gerakan "Black Lives Matter".
Gerakan ini tidak memiliki seorang figur pemimpin berkarisma seperti Rosa Parks atau Martin Luther King Jr. Akan tetapi dengan bantuan teknologi media sosial, gerakan ini dapat memberikan pengaruh besar dalam opini publik. Sekarang, jika seorang pemuda kulit hitam tewas di tangan polisi Amerika Serikat di sebuah kota terpencil di Amerika Serikat, insiden tersebut dengan cepat akan menjadi kasus nasional dan bahkan global.
Kini harapan untuk memberantas ketimpangan dan diskriminasi semakin besar, meski ada kelompok yang percaya bahwa kesetaraan antara warga kulit putih dan hitam di Amerika Serikat tidak akan pernah terwujud. Bahkan acara pemakaman Rosa Parks yang berlangsung tahun 2005 menunjukkan tidak terberantasnya diskriminasi di Amerika Serikat.