Bangkitnya Rasisme Amerika di Era Trump
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dalam kelanjutan kebijakan anti-imigrannya, kembali membangkitkan kemarahan dan kebencian masyarakat dunia dengan mengeluarkan statemen berbau rasis.
Hari Kamis, 11 Januari 2018, Donald Trump dalam pertemuan bipartisan Kongres, menyinggung kehadiran para imigran Haiti, El Savador dan negara-negara Afrika di Amerika. Ia mengatakan, mengapa orang-orang dari negara-negara "lubang anus" ini kita biarkan masuk ke Amerika. Menurut Trump lebih baik agar imigran yang datang ke Amerika berasal dari negara-negara seperti Norwegia.
Gedung Putih, tanpa membantah statemen tersebut mengumumkan, sebagian politisi di Washington membela kepentingan negara-negara asing, namun Tuan Trump selalu berjuang untuk rakyat Amerika. Dalam kerangka reformasi undang-undang imigrasi Amerika, Trump menghendaki agar para imigran yang datang ke Amerika bisa membantu pertumbuhan ekonomi negara itu.
Statemen Trump dan reaksi Gedung Putih memicu protes keras dari para politisi dan organisasi-organisasi internasional termasuk Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Terkait statemen rasis Trump, Komisi Tinggi HAM PBB mengatakan, rasis adalah kata terbaik untuk menyebut statemen semacam ini. Rupert Colville, Juru Bicara Komisi Tinggi HAM PBB mengatakan, anda tidak bisa menyebut negara-negara dan benua, hanya karena masyarakatnya tidak berkulit putih, sebagai "lubang anus".
Tidak diragukan, penggunaan retorika kotor semacam ini oleh Donald Trump berakar dari pandangan rasis yang hingga kini masih tersebar luas di Amerika. Sejarah rasisme di Amerika kembali ke masa awal berdirinya Amerika dan eksodus warga Eropa ke wilayah negara ini. Warga kulit putih Inggris, Perancis dan Spanyol yang berimigrasi ke Amerika adalah kelompok yang pertama kali memunculkan ide keunggulan rasis dan menyebut warga pribumi Amerika liar.
Dari sini, fenomena rasisme mulai berkembang di Amerika, dan tidak hanya terbatas pada warga pribumi Amerika saja. Saat pendatang Eropa mulai menduduki benua Amerika, dalam rentang waktu antara tahun 1500-1800, sekitar 15 juta warga kulit hitam Afrika dibawa oleh para pedagang budak ke benua Amerika untuk dipekerjakan di lahan-lahan pertanian dan tambang. Seiring dengan pengumuman resmi berdirinya negara Amerika, rasisme bukan saja tidak dihapus, justru semakin meluas dalam bentuknya yang baru.
Meski perang saudara di Amerika antara masyarakat di bagian utara dan selatan negara itu, menyebabkan jutaan budak terbebaskan, namun rasisme sama sekali tidak pernah hilang dari masyarakat Amerika. Warga kulit hitam tetap tidak bisa mendapatkan hak-hak dasarnya, hak kepemilikan mereka bahkan dibatasi dan mereka sempat dilarang menempati pos-pos penting di pemerintahan.
Pecahnya Perang Dunia Kedua dan partisipasi luas warga kulit hitam dalam perang melawan pasukan sekutu, telah memunculkan harapan bagi warga kulit hitam, bahwa mungkin saja mereka bisa mendapatkan perlakuan yang sejajar. Namun harapan itu hanya sekedar harapan. Penentangan atas "integrasi rasial" di negara-negara bagian Amerika yang sebelumnya menerapkan sistem perbudakan, sampai sekarang masih kuat.
Oleh karena itu, perjuangan membela hak kulit hitam di Amerika semakin serius hingga berujung dengan disahkannya undang-undang penghapusan diskriminasi atas minoritas di Amerika dalam Undang-undang Hak Sipil 1964. Akan tetapi kenyataan menunjukkan hal berbeda, di tengah klaim luhurnya sebagai pembela HAM dan kehormatan manusia, Amerika sampai saat ini termasuk negara-negara diselimuti ancaman rasisme.
Joseph Errington, dosen antropologi di Universitas Yale terkait realitas ini menuturkan, tidak diragukan bahwa rasisme di Amerika khususnya di negara-negara bagian tengah dan selatan, masih tersebar luas dan berakar cukup dalam. Untuk mencerabut rasisme hingga ke akar-akarnya dari masyarakat Amerika diperlukan waktu yang sangat lama.
Laporan Boston Review menegaskan masih banyaknya kecenderungan-kecenderungan rasisme di tengah masyarakat Amerika. Menurut laporan ini, lebih dari dua juta warga Amerika keturunan Afrika masih mengalami pembatasan dalam pemilu. Lebih dari itu, warga kulit hitam Amerika selalu dibatasi dalam pekerjaan dan perlakuan diskriminatif atas kulit hitam dalam perekrutan tenaga kerja di Amerika menjadi hal yang biasa.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan kebangkitan gerakan Apartheid di sebagian perusahaan Amerika. Berdasarkan data resmi pemerintah Amerika, 19 dari 58 bidang pekerjaan yang diteliti, berpeluang membuka kembali praktik diskriminasi ras antara kulit hitam dan kulit putih di tempat kerja.
Para pengamat meyakini, fenomena rasisme dan supremasi ras di Amerika cenderung meningkat dan mendapat semangat baru pasca naiknya Donald Trump dalam pemilu presiden tahun 2016. Bentrokan berdarah di kota Charlottesville, Virginia antara kubu pro dan kontra supremasi kulit putih, sangat mirip dengan konflik rasis di Amerika pada pertengahan abad lalu.
Dalam bentrokan di Charlottesville, kubu sayap kanan ekstrem yang terdiri dari kelompok Neo-Nazi, supremasi kulit putih, nasionalis ektrstrem dan pendukung Donald Trump, meneriakkan slogan-slogan dukungan atas keunggulan ras di Amerika, ras kulit putih dan anti-imigran. Seorang rasis bahkan menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan massa anti-rasis. Media melaporkan, akibat insiden itu, seorang perempuan 32 tahun tewas dan 19 lainnya terluka.
Mayoritas warga Amerika menganggap Donald Trump sebagai penyebab terjadinya insiden semacam ini. Mereka mengatakan, Trump dan penasihatnya secara langsung maupun tidak, mendukung gerakan rasisme dan dalam setiap statemennya dengan tegas ia menggunakan istilah-istilah rasis sehingga memicu insiden semacam ini.
Kemarahan terhadap Trump terkait insiden Charlottesville meningkat ketika masyarakat sadar bahwa sebagian besar anggota kubu rasisme adalah pendukung Trump. Namun meski mengetahui aksi tersebut, Trump tidak mencegah para pendukungnya atau minimal melarang mereka melakukan tindakan kekerasan.
Dalam pesan-pesannya, Trump bahkan tidak bersedia menyalahkan kubu sayap kanan ekstrem sebagai pemicu aksi kekerasan atau mengecam mereka. Ia hanya mengecam "banyak pihak" atas terjadinya bentrokan berdarah tersebut.
Penghinaan yang disampaikan Trump terkait imigran dari sejumlah negara dianggap bersumber dari pemikiran dan pandangan rasisnya. Menurut beberapa anggota Kongres dari Partai Demokrat, statemen Trump itu terang-terangan menunjukkan bahwa ia adalah seorang rasis.
Pernyataan terbaru Trump terkait imigran menuai penentangan di dalam dan luar negeri Amerika. Ileana Ros-Lehtinen, anggota DPR Amerika dari Partai Republik di Twitternya menulis, penggunaan kata "lubang anus" atas Haiti, berarti mengabaikan kontribusi ribuan imigran negara ini di Amerika. Ia menegaskan, kata-kata semacam ini tidak seharusnya dikeluarkan di Gedung Putih.
Orrin Hatch, senator Republik juga mereaksi statemen rasis Trump. Di laman Twitternya ia menuntut penjelasan terkait statemen Trump itu. Menurutnya, imigrasi orang-orang terbaik ke Amerika adalah salah satu faktor yang menjadikan negara ini sangat spesial.
Luis Gutierrez, anggota Kongres dari Demokrat mengatakan, sekarang seratus persen jelas bahwa Trump adalah seorang rasis dan ia tidak menerima nilai-nilai yang dijamin konstitusi.
Uni Afrka, sehari setelah publikasi statemen Trump dan reaksi luas atas penghinaan Presiden Amerika terhadap negara-negara Afrika, Haiti dan El Salvador, menyebut statemen itu sebagai statemen yang mengandung "peringatan". Juru Bicara Uni Afrika, Ebba Kalondo mengatakan, dengan memperhatikan realitas historis bahwa banyak warga Afrika yang dibawa ke Amerika sebagai budak, maka statemen ini melanggar seluruh perilaku dan tindakan yang dapat diterima.
Ras Mubarak, salah satu anggota Parlemen Ghana mendesak negara-negara berkembang untuk memboikot Amerika selama Donald Trump belum dicopot dari jabatannya. Ia mengatakan, negara-negara dunia harus mengirim pesan tegas kepada Trump bahwa mereka menolak kebijakan-kebijakan fanatik, mengadu domba dan tidak sehat semacam ini.
Presiden Amerika setiap hari, dengan dalih pelanggaran HAM, mengutuk salah satu negara independen dunia dan menyebutnya sebagai negara pelanggar HAM terbesar, padahal dirinya sendiri adalah pihak yang paling layak menerima tuduhan itu. Diskriminasi ras dan rasisme menurut hukum internasional termasuk pelanggaran HAM serius, namun seolah Trump sama sekali tidak pernah mendengarnya.