Seriuskah Amerika Ingin Berunding Dengan Iran? (1)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump sampai saat ini masih terus melanjutkan kebijakan anti Iran pemerintahan dan para pendahulunya. Ia senantiasa menunjukkan sikap keras anti Iran baik itu selama masa kampanye pilpres atau setelah berkuasa di Gedung Putih. Trump selama ini telah melancarkan banyak serangan verbal anti Tehran, khususnya terkait Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) dan menyebutnya sebagai kesepakatan terburuk.
Seiring dengan kian dekatnya pelaksanaan kembali sanksi nuklir Amerika terhadap Iran, yakni 6 Agustus, perang verbal antara Tehran dan Washington semakin intens. Presiden Republik Islam Iran Hassan Rouhani baru-baru ini memperingatkan bahwa Trump tidak seharusnya mengancam Iran, karena balasan Tehran akan menyakitkan. Sebaliknya Trump ketika mereaksi peringatan Rouhani di tweetnya dengan huruf kapital menulis, JANGAN PERNAH KEMBALI MENGANCAM AMERIKA.
Peringatan Trump ini ditanggapi dengan sinis khususnya oleh kubu Demokrat, dan dianggap lelucon di dunia maya. Sementara itu, Brigjen Qasem Soleimani, Komandan Brigade Quds saat merespon ancaman terbaru Trump terhadap Iran mengatakan, "Dimulainya perang terhadap Iran sama halnya dengan kehancuran seluruh fasilitas Amerika dan Iran akan menggambarkan berakhirnya perang yang dimulai Washington."
Respon kuat Iran terhadap ancaman terbaru sehingga berbagai petinggi Amerika seperti Menhan James Mattis pada akhirnya mengingkari potensi serangan militer terhadap Republik Islam Iran.
Trump meski mengumbar omong besar dalam beberapa hari terakhir, dalam sebuah statemen terbarunya mengklaim bahwa ia siap mencapai kesepakatan dengan Iran. Trump pada 24 Juli di pidatonya di depan veteran tentara AS di Kansas mengatakan, "Kami siap mencapai kesepakatan sejati dengan Iran." Trump pada 30 Juli dalam sebuah statemennya setelah bertemu dengan Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte di Gedung Putih kembali menekankan kesiapannya berunding dengan Iran tanpa prasyarat. Ia mengklaim siap tanpa prasyarat bertemu dengan petinggi Iran, di mana pun dan kapan pun.
Dengan demikian Trump paling tidak, ingin berunding dengan Iran. Trita Parsi, Kepala Dewan Nasional Iran-Amerika di artikelnya yang dimuat laman televisi CNBC menulis, "Usulan Trump untuk bertemu dengan Hassan Rouhani tidak akan berujung pada kesepakatan yang lebih baik, kita telah kehilangan peluang."
Meski demikian, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa Trump ingin menyelesaikan masalah dan perundingan dengan metode dagang (bisnis). Paling tidak, Trump membumbui represi dan ancaman dengan usulan untuk berunding sehingga ia menganggap setiap perundingan potensial mampu menunjukkan sikap unggul dari lawan.
Mantan Dirjen Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Mohamed ElBaradei saat mereaksi statemen presiden Amerika terkait perundingan dengan petinggi Iran menulis, "Tak pantas meminta perundingan dengan sebuah negara melalui ancaman dan sikap tak terhormat."
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika, Mike Pompeo menunjukkan sikap yang berbeda dengan Trump. Dalam hal ini, beberapa jam setelah presiden AS mengklaim siap bertemu dengan Hassan Rouhani tanpa syarat, Pompeo dalam sebuah wawancara menentukan syarat bagi pertemuan ini. Ia menekankan bahwa dirinya mendukung pertemuan Trump dengan Rouhani, namun ia menentukan sederetan syarat bagi pertemuan tersebut.
Pompeo mengungkapkan, "Kami sebelumnya telah mengatakan, Presiden Trump ingin menyelesaikan masalah. Jika Iran menunjukkan dirinya komitmen melakukan perubahan mendasar di perilakunya, menghentikan aksi kekerasan dan bersedia menerima sebuah kesepakatan nuklir yang bernilai dan mencegah penyebaran senjata nuklir maka saat itu Trump siap berunding."
Pompeo pada Mei 2018 setelah keluarnya Amerika dari Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) merilis 12 syarat untuk mencapai kesepakatan baru. Syarat tersebut di dalam negeri Amerika dinilai tidak realistis dan ambigu. Meski demikian pertanyaannya di sini adalah apa alasan perilaku dan sikap kontradiktif antara presiden AS dan menlu negara ini? Isu selanjutnya adalah bagiamana bentuk kesepakatan yang diinginkan Amerika dengan Iran?
Menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa Trump mengambil sikap tanpa berkonsultasi dan berkoordinasi dengan para pembantunya di kabinet atau mengungkapkan sikap secara mendadak di akun twitternya. Masalah ini termasuk alasan sejumlah pembantu Trump di kabinet seperti Rex Tillerson mengundurkan diri. Selain itu, pengambilan sikap iirasional Trump termasuk soal JCPOA juga menjadi alasan Tillerson memisahkan diri dari presiden Amerika ini.
Hal lainnya adalah model kesepakatan yang mana yang diinginkan Trump dari Iran? Mengingat sikap dan tuntutan pemerintah Trump terhadap Tehran dalam bentuk 12 syarat yang diajukan Mike Pompeo, dapat dikatakan bahwa Washington akan meraih kesepakatan dengan Tehran ketika Iran menerima tuntutan AS tanpa syarat. Ini bukan sebuah kesepakatan, tapi ketundukan penuh kepada Amerika. Alasan inilah yang membuat tuntutan Amerika dianggap lelucon oleh banyak kritikus Trump baik di dalam maupun luar negeri.
Wendy Sherman, Mantan deputi menlu Amerika seraya menyamakan Trump dengan seorang siswa sekolah mengatakan, "Kami menyaksikan seorang siswa sekolah yang berteriak dan menunjukkan dirinya kuat, padahal yang kita saksikan adalah kelemahan dan tidak adanya keamanan. Bangsa Iran tidak akan menyerah."
Isyarat Sherman bahwa Iran tidak akan menyerah, bahkan ketika negara ini selama beberapa dekade menghadapi beragam konspirasi nyata dan terselubung Amerika tetap berani melawan. Robert Malley, Analis di Institut Krisis seraya mengisyaratkan bahwa tidak ada hal baru di usulan pertemuan Trump yang juga pernah diungkapkan musim gugur lalu, melontarkan pertanyaan di akun twitternya, Pertama, di saat AS melanggar kesepakatan saat ini, apa alasan bagi Rouhni untuk merundingkan sebuah kesepakatan baru. Kedua, Trump bisa saja menyetujui sebuah kesepakatan yang terkadang menguntungkan Iran.
Menelisik raport Amerika terkait klaim perundingan dengan Iran menunjukkan bahwa Washington tidak pernah jujur dalam masalah ini dan cenderung memanfaatkan instumen dialog sebagai alat politik guna memaksa Iran untuk memasuki fase yang panjang dan pada akhirnya sia-sia. Selain itu, tujuan mereka dari dialog adalah menjelaskan dan mendikte tuntutan arogannya kepada Iran.
Sejatinya berbeda dengan proses perundingan yang diwarnai dengan tawar menawar, memberi dan menerima, maksud dari Amerika secara umum dan Trump secara khusus dari perundingan adalah interaksi sepenuhnya sepihak, di mana AS menjelaskan tuntutannya dan pihak lain tanpa syarat menerimanya. Jelas bahwa metode seperti ini tidak akan efektif terhadap Iran.
Hamid Abu Talibi, Penasehat presiden Iran di tweetnya menulis, mereka yang menerima dialog sebagai metode untuk menyelesaikan friksi di masyarakat beradab, juga harus komitmen dengan sarananya. Menghormati bangsa Iran, mereduksi permusuhan dan kembalinya AS ke JCPOA akan memuluskan jalan bebatuan saat ini.
Mencermati pengalaman sebelumnya akan menunjukkan bahwa AS di perudingan dengan Iran menerima sejumlah hal dan kemudian mundur dari sikapnya tersebut, atau tidak menunjukkan komitmen dengan janjinya. Padahal Iran senantiasa menuntut Amerika menjaga prinsip dan dasar perundingan, memberikan tuntutan yang rasional dan menjaga hak serta memperhatikan pihak seberang. Dapat dikatakan bahwa Amerika bahkan tidak pernah menjaga prinsip paling dasar sebuah perundingan.