Film “The Trump Prophecy”, Justifikasi Teologis Tuan Presiden
https://parstoday.ir/id/radio/world-i66685-film_the_trump_prophecy_justifikasi_teologis_tuan_presiden
Beberapa bulan menjelang akhir tahun 2018, sebuah film kontroversial ditayangkan di berbagai bioskop terkemuka AS. Pasalnya film ini mengenai sosok orang nomor satu di negara ini, Trump, dan prediksi mengenai kemunculannya yang diklaim dalam film ini sudah diketahui.
(last modified 2025-11-30T07:49:40+00:00 )
Jan 17, 2019 20:21 Asia/Jakarta
  • The Trump Prophecy.
    The Trump Prophecy.

Beberapa bulan menjelang akhir tahun 2018, sebuah film kontroversial ditayangkan di berbagai bioskop terkemuka AS. Pasalnya film ini mengenai sosok orang nomor satu di negara ini, Trump, dan prediksi mengenai kemunculannya yang diklaim dalam film ini sudah diketahui.

Sebuah film berjudul “The Trump Prophecy” dimulai dengan cerita seorang petugas pemadam kebakaran yang mengklaim dirinya menerima ilham dari Tuhan pada tahun 2011 mengenai kedatangan seorang bernama Trump akan memimpin AS.

Lines Valandovo, penulis dan juru bicara Kristen Evangelical, yang hadir dalam film The Trump Propechy mengatakan, “Sudah ditetapkan presiden ke-45 sebagaimana Cyrus dalam [al-Kitab] Isaiah 45. Orang yang meruntuhkan tembok dan membangun kembali. Dia berada di antara kita dan membangun dinding untuk menghalangi kehancuran budaya,”.

Pernyataan ini menjadi kunci dari keseluruhan film yang bercerita tentang Trump. Dari judulnya, film ini sudah jelas berupaya mencari pembenaran teologis dari Alkitab atas terpilihnya Trump sebagai presiden AS yang samakan denan cocokologi alkitab, terutama menyamakan Trump dengan Cyrus.

Cyrus lahir sekitar enam abad sebelum Masehi dan menjadi raja pertama imperium Persia. AlKitab memberikan penghargaan atas upaya Cyrus membebaskan orang-orang Yahudi dari cengkeraman bangsa Babilonia. Alkitab Isaiah 45:1 menjelaskan, “Beginilah firman TUHAN: "Inilah firman-Ku kepada orang yang Kuurapi, kepada Koresh yang tangan kanannya Kupegang supaya Aku menundukkan bangsa-bangsa di depannya dan melucuti raja-raja, supaya Aku membuka pintu-pintu di depannya dan supaya pintu-pintu gerbang tidak tinggal tertutup,”.

Film The Trump Prophecy dibuat dengan dukungan penuh dari para dosen dan mahasiswa universitas Liberty . Rektor universitas ini berperan besar menarik dukungan kalangan Kristen Evengelical dalam pemilu presiden AS yang dimenangkan Trump. Selain itu, sosok seperti Jeanino Pirro dari Fox News dan Ron  Dermer yang menajdi duta besar rezim Zionis Israel di AS termasuk orang-orang yang menyamakan Trump dengan Cyrus.

Penulis dan aktivis politik Kristen Evangelis semacam Catherine Stewart masalah ini bukan hal baru tapi sudah dilakukan oleh presiden sebelumnya. Ia mengatakan, masalah proyek armagedon dalam program kalangan Zionis yang berkaitan dengan presiden, bukan fenomena baru. Bahkan di era George W. Bush, ia menyebutnya sebagai proyek Mesiah, dan sebelumnya, Ronald Reagan untuk pertama kalinya meluncurkan rudal bernama Armageddon.

Kalangan Kristen Evengelis AS mendukung Trump karena para pemuka agama  dan politik kelompok ini termasuk orang-orang yang berada di balik terpilihnya Trump sebagai presiden AS.Salah satu isu teoologis nyang diusung adalah penyamaan antara Trump dengan Cyrus melalui cocokologi yang dilakukan dengan motif politik tertentu.

Dukungan teologis kelompok garis Kristen Evengelis garis keras AS terhadap Trump menyebabkan presiden AS semakin arogan dan merasa dirinya memiliki kekuasaan tanpa batas, termasuk dalam masalah pembangunan dinding pemisah perbatasan negara ini dan Meksiko. Tidak heran jika sebagian politisi AS menyebut Trump sebagai raja dan diktator.

Donald Trump

Tapi di mata pendukunganya, terutama di kalangan penganut Kristen Evangelis simbol teologis tersebut diperlukan untuk Trump. Sebagian penulis dan aktivis politik Kristen Evengelis seperti Catherine Stewart menilai AS saat ini membutuhkan seorang raja yang kuat dan dirinya sendiri adalah hukum. Stewart mengatakan,”Kalangan nasionalis Kristen memandang keistimewaan besar kaisar seperti Cyrus adalah posisi dirinya tidak mengikuti aturan yang berlaku, sebab dirinya adalah sumber hukum. Di era pesimistik saat ini masalah tersebut menjadi hal yang ideal bagi para pemimpin.”

Pernyataan lanjutan Catherine Stewart dengan jelas menunjukkan dukungan sebagian pemimpin Kristen Evangelis terhadap Trump dalam pilpres 2016. Stewart mengungkapkan, “Masalah yang berkaitan dengan Cyrus, dia bukan ratu, tapi raja. Sebagian kalangan nasionalis Kristen meyakini kekuasaan politik legal sebgian besar dimiliki oleh laki-laki. Kelompok ini meyakini bahwa pemimpin memimpin Alkitab adalah laki-laki,”.

Menurutnya, saat ini sebagian kubu Kristen garis keras AS menganut pola patriaki, diktator dan paranoid. Stewart menjelaskan, “Mereka menghadapi masalah perang budaya. Mereka menyerang demokrasi secara langsung. Evengelis dan nasionalis Kristen mendukung Cyrus karena dia dipandang sebagai pemimpin yang kuat,”.

Delusi ini tidak hanya muncul dalam film seperti “The Trump Prophecy”, tapi sebelumnya sudah dilakukan dalam langkah yang tampak cenderung politis yang menyamakan Trump dengan Cyrus. Di awal tahun 2018, sebuah institusi Zionis di Israel mencetak koin dengan gambar Cyrus dan Trump. Langkah tersebut memicu protes keras karena menyamakan dua orang yang jauh berseberangan bagai langit dan bumi.

Sebuah lembaga Zionis bernama “Kuil Suci” di Israel, mencetak koin perak bernama koin kuil yang bergambar Cyrus dan Donlad Trump yang dibuat berhadapan. Lembaga ini berkeyakinan bahwa kedua orang yang memiliki selisih waktu hidup 2557 tahun ini memainkan peran yang sama dalam pembebasan Yerusalem bagi orang-orang Yahudi.

Keputusan ini dikecam dan dikritik oleh berbagai kalangan karena bertentangan dengan fakta dan realitas sejarah dua orang yang berseberangan karakternya. Penyamaan Trump dengan Cyrus sebuah kesalahan historis dan tindakan keliru besar. Selain orang Iran yang menghormati Cyrus sebagai raja pertama dinasti Persia, berbagai kalangan terutama akademisi dari berbagai negara dunia menilai penyamaan tersebut sebagai penghinaan terhadap hak asasi manusia dan sejarah.

Belum selesai periode pertama pemerintahannya, Trump di AS sendiri menghadapi berbagai penentangan dan kecaman. Kebijakan rasis dan diskriminatif terhadap pihak lain, terutama Muslim dan negara tertentu, hanya bagian kecil dari keputusan Trump. Pelanggaran terhadap aturan internasional seperti perjanjian iklim Paris dan JCPOA dan perang tarif yang disulutnya membuat reputasi AS semakin terpuruk di arena internasional.

Dalam kondisi yang semakin tersisih saat ini, Trump butuh pendukung dan justifikasi, salah satunya dilakukan dengan film.  Film The Trump Prophecy adalah upaya untuk menjustifikasi secara teologis legitimasi tuan presiden yang ingin menjadi Raja di negara yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi dunia.(PH)