Migrasi Akibat Perubahan Iklim, Tantangan Lain Dunia Saat Ini
-
Pemanasan global
Salah satu konsekuensi utama dari perubahan iklim di dunia saat ini adalah migrasi iklim atau lingkungan. Filippo Grandi, Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), di World Economic Forum ke-50 yang diadakan di Davos, Swiss dari tanggal 21-24 Januari, dengan partisipasi para pemimpin politik dan ekonomi serta pakar dari berbagai negara mengatakan, "Dunia harus bersiap menghadapi gelombang besar imigran."
Ia mengatakan jutaan orang bisa meninggalkan negara mereka sebagai akibat dari perubahan iklim. Para migran ini mungkin semakin meninggalkan negara mereka karena perubahan iklim, dan mereka tidak hanya dari negara miskin. Ini juga ditunjukkan sebelumnya oleh surat kabar Independen dan menulis bahwa perubahan iklim telah menyebabkan migrasi orang pada paruh pertama 2019, dua kali lebih banyak dari perang dan konflik. Masalah yang menjadi tantangan baru yang dihadapi dunia hari ini. Dalam program ini kita akan berbicara lebih banyak tentang migrasi iklim dan penyebabnya.

Migrasi manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik adalah masalah sejarah, namun dunia tidak pernah menghadapi fenomena migrasi seperti sekarang ini. Pada akhir 2019 saja, diperkirakan 22 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan dalam laporan lain bahwa sekarang ada satu miliar imigran di dunia, berarti satu dari tujuh orang. Tapi apa yang menjadi perhatian banyak negarawan saat ini adalah masalah migran iklim. Migrasi iklim adalah migrasi atau suaka dari orang-orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena perubahan tiba-tiba atau berkepanjangan di lingkungan mereka. Ini adalah perubahan yang telah merusak kesejahteraan dan mata pencaharian mereka. Ini termasuk kekeringan yang meningkat, desertifikasi, naiknya permukaan laut, dan perubahan musim, seperti angin atau hujan musiman.
Perubahan dalam lingkungan manusia seperti itu, karena kerusakan yang ditimbulkannya, dapat menyebabkan orang melarikan diri atau bermigrasi ke negara lain atau berpindah di dalam negeri yang sama. Naiknya suhu dan perubahan iklim, menyebabkan kekeringan, menghancurkan tanaman dan memperburuk kemiskinan dan kelaparan. Fenomena ini menjadi lebih menonjol di kawasan Timur Tengah, terutama di negara-negara Afrika dalam dekade terakhir. Beberapa imigran mengatakan mereka bermigrasi karena mereka tidak punya makanan untuk dimakan. Kurangnya makanan adalah penyebab utama migrasi orang di tempat lain. Bank Dunia juga mengatakan bahwa dalam lima tahun ke depan, hampir empat juta orang Amerika Tengah akan dipaksa keluar dari wilayah tersebut sebagai akibat dari perubahan iklim. Memindahkan populasi besar seperti itu merupakan tantangan dan memperburuk risiko destabilisasi negara-negara imigran seperti Amerika Serikat.

Laporan Forum Ekonomi Dunia Davos memperkirakan bahwa jika situasi saat ini berlanjut pada akhir abad ini, suhu bumi akan naik lima derajat. Peningkatan suhu ini akan melelehkan es di kutub dan meningkatkan permukaan air laut. Perubahan ini akan mengakibatkan hilangnya banyak kota pantai dan akan menghancurkan banyak spesies tanaman dan hewan di bumi. Ini juga akan memiliki implikasi serius bagi pangan dunia dan keamanan ekonomi. Para peneliti di University of Colorado di AS memperkirakan bahwa jika permukaan laut naik lebih cepat, negara kepulauan tropis, seperti Maladewa, Fiji, atau pulau kecil Tuvalu di Pasifik, akan lebih cepat mengalami kemusnahan dari tempat lain. Hanya cukup dengan kenaikan permukaan laut satu meter akan membahayakan keberadaan pulau-pulau ini.
Menurut Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Penerbangan dan Aeronautika Nasional AS, tahun 2019 dinobatkan sebagai tahun terpanas di planet Bumi. Kedua lembaga melaporkan bahwa lima tahun terakhir telah menjadi yang terpanas dalam 140 tahun terakhir. Suhu bumi sekarang 2 derajat lebih panas, dengan perkiraan tahun 2020 menjadi tahun krisis bagi masa depan iklilmm. Para ilmuwan melihat gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global, faktor yang telah tumbuh jauh lebih banyak daripada dalam ribuan tahun terakhir. Di antara gas rumah kaca, konsentrasi karbon dioksida CO2 di atmosfer sejak 2018 telah mencapai tingkat tertinggi sejak 3 juta tahun terakhir. Data NASA menunjukkan bahwa suhu global rata-rata pada tahun 2016 adalah 1.78 derajat (0,99 derajat Celsius) lebih hangat daripada rata-rata pertengahan abad ke-20, dan keadaan akan menjadi lebih buruk jika tidak ada langkah yang diambil.
Mengingat pentingnya dilema ini, masalah utama pada Forum Ekonomi Dunia Davos tahun ini (2020) didedikasikan untuk lingkungan. Tetapi sementara semua negara di dunia bekerja untuk mencegah bencana perubahan iklim, penarikan Presiden Donald Trump dari traktat perubahan iklim Paris bukan hanya tidak mengambil langkah menuju pengurangan gas rumah kaca dan polutan karbon, tetapi juga mendorong pertambahannya. Begitu juga tidak memperluas sistem energi bersih, yang dapat mencegah terjadinya bencana lingkungan global, bahkan Trump telah mencegah upaya internasional untuk mengatasi krisis iklim. Pada KTT Davos, Presiden Trump juga mengklaim bahwa Amerika Serikat memiliki udara dan air terbersih di dunia dan, meskipun bergabung dengan inisiatif "Thousand Billion Tree", namun ia menolak tindakan para aktivis lingkungan.

Malcolm Turnbull, Perdana Menteri Australia antara tahun 2015-2018, mengkritik Trump karena penolakannya yang berkelanjutan atas dampak perubahan iklim terhadap dunia setelah bualannya di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Dalam sebuah wawancara dengan program BBC News, ia menunjuk fakta ini, mengatakan, "Trump pada dasarnya adalah penolakan paling penting terhadap perubahan iklim di dunia. Bekerja untuk mengurangi emisi gas rumah kaca."
Remaja Swedia Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan yang menghadiri Forum Ekonomi Dunia Davos, juga mengecam ketidakaktifan dan ketidakpedulian para pemimpin dunia, termasuk Trump, terhadap perubahan iklim dan krisis lingkungan. Menantangnya, katanya, mengatasi perubahan iklim membutuhkan lebih banyak kesadaran publik. Itu hanya titik awal, dan semakin banyak orang mendengarkan apa yang dikatakan para ilmuwan tentang perubahan iklim dan pemanasan global. "Hanya ada sedikit waktu tersisa untuk menangani krisis iklim secara efektif," kata Tonberg, yang juga berpidato di hadapan para politisi yang hadir di pertemuan Davos.
Pada konferensi tersebut, para aktivis lingkungan, memajang spanduk besar, meminta Presiden Donald Trump untuk memerangi perubahan, iklim alih-alih mengobarkan perang terhadap Iran. Pengunjuk rasa berkemah (CAMPAX) menggantung spanduk 3 meter yang menampilkan pesan "Berjuang Perubahan Iklim - Bukan Iran" di desa pegunungan Amden. Jelas dari helikopter bahwa delegasi pejabat asing, termasuk Trump, dipindahkan ke Davos untuk mengikuti Forum Ekonomi Dunia. Namun demikian, pembicaraan konferensi tersebut yang berfokus pada lingkungan, Trump mengatakan bahwa lingkungan adalah masalah penting di samping menjaga pentingnya ekonomi minyak dan gas.
Tetapi Trump dan negarawan lain yang lebih menyukai kepentingan ekonomi daripada perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, perlu memahami bahwa alam tidak lagi tenang dengan perubahan yang dibuat manusia, dan bahwa banyak kekeringan telah terjadi di seluruh dunia, kebakaran hutan yang meluas, gletser yang mencair dan naiknya permukaan laut, perusakan hutan tropis dan kematian satwa liar serta hilangnya keanekaragaman hayati menunjukkan transformasi alam. Jika hari ini tidak ada langkah untuk mengatasi krisis ini, mungkin besok sudah terlambat.