PBB Menuntut Rezim Zionis Dijatuhi Sanksi
Michael Fakhri, Pelapor Khusus Hak atas Pangan PBB pada Senin (9/9) pagi mengatakan, “Israel tidak hanya mencegah bantuan kemanusiaan memasuki Gaza, tetapi juga menghancurkan tanah dan sumber makanan rakyat Palestina.”
Michael Fakhri kemudian menyerukan dijatuhkan sanksi terhadap rezim Zionis dan tekanan terhadap para pendukung rezim tersebut.
Gerakan “Boikot, Divestasi dan Sanksi Israel” (BDS) adalah kampanye internasional untuk memberikan tekanan pada rezim Zionis karena menduduki tanah Palestina dan membangun pemukiman di tanah tersebut.
Gerakan yang didirikan pada tahun 2005 dengan dukungan 171 warga Palestina ini telah mampu memperoleh banyak pengikut di seluruh dunia, termasuk di Eropa dan Amerika.
Tentu saja, rezim Zionis dan Amerika Serikat telah melakukan upaya ekstensif untuk melawan gerakan ini dan tindakannya.
Persoalan pentingnya adalah, meskipun dunia internasional mengecam tindakan kriminal rezim Zionis terhadap rakyat tertindas di Gaza, tidak ada tindakan internasional yang terkoordinasi yang diambil untuk memberikan sanksi kepada rezim ini dan kita hanya menyaksikan tindakan individu dari beberapa negara.
Terkait hal ini, Presiden Kolombia Gustavo Petro mengumumkan pada 21 Agustus 2024 di jejaring sosial X bahwa negaranya telah “secara resmi” berhenti mengekspor batu bara ke Israel.
Kolombia juga telah memutuskan hubungan diplomatik dengan rezim Zionis dua bulan lalu.
Tindakan yang bisa dianggap sebagai awal dari tindakan serupa yang dilakukan negara lain ini disambut baik oleh Hamas.
Dalam pernyataan Hamas yang menyambut baik tindakan pemerintah Kolombia, ditegaskan bahwa negara-negara lain di dunia harus mencontoh tindakan tersebut dan memboikot serta mengisolasi rezim Zionis yang rasis.
Fakhri sebelumnya mengatakan dalam sebuah laporan bahwa pada bulan Desember 2023, penduduk Gaza akan mencapai 80 persen dari populasi yang dilanda kelaparan di dunia, dan bahwa tidak ada preseden dalam sejarah perang di mana suatu negara menderita kelaparan dalam kondisi cepat seperti ini.
Hal yang penting adalah bahwa situasi penduduk Gaza jauh lebih buruk dan mengerikan dibandingkan sebelumnya, akibat perang brutal yang terus berlanjut dari rezim Israel terhadap mereka di satu sisi dan terhambatnya bantuan kemanusiaan internasional oleh rezim tersebut.
Ini bukan pertama kalinya badan-badan internasional dan regional menyerukan sanksi terhadap Israel atas kejahatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam perang Gaza.
Pada akhir Agustus 2024, Human Rights Watch Eropa-Mediterania mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan rezim Israel atas perintah berulang kali untuk mengevakuasi Jalur Gaza dan menyerukan komunitas internasional untuk menjatuhkan sanksi kepada rezim ini dan menghentikan dukungan atasnya.
Hal ini terutama berlaku mengingat meningkatnya jumlah syayid dan korban luka Palestina yang tinggal di Gaza akibat genosida yang dilakukan oleh rezim Zionis, yang telah memicu protes internasional yang luas, termasuk di Eropa dan Amerika Serikat.
Menurut statistik, jumlah korban, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah mencapai 41.000 orang dan jumlah korban luka mencapai 95.000 orang, serta sebagian besar Jalur Gaza telah hancur total.
Selain kehancuran yang meluas dan kelaparan yang telah menewaskan ratusan anak-anak Palestina dan dianggap sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia, lebih dari 10.000 warga Palestina telah hilang.
Tidak diragukan lagi, kejahatan keji ini tidak akan mungkin terjadi tanpa bantuan militer dan senjata yang besar dari Amerika Serikat, yang mengirimkan sekitar 50.000 ton senjata dan amunisi ke Israel.
Terlepas dari kenyataan bahwa terdapat protes yang meluas dari masyarakat, terutama mahasiswa, dan bahkan anggota dan pegawai lembaga federal seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri, serta elit dan intelektual, mengenai kebijakan dukungan pemerintahan Biden terhadap Israel, Gedung Putih terus mempersenjatai rezim Zionis.
Selain itu, negara-negara Barat lainnya juga menjaga hubungan dagang, ekonomi dan bahkan militer dengan Tel Aviv, meskipun ada beberapa kecaman, sehingga membantu rezim Zionis untuk melanjutkan tindakan kriminalnya.
Tentu saja, banyak upaya telah dilakukan di Eropa dan Amerika untuk mengembargo senjata rezim Zionis.
Misalnya, pada bulan Mei 2024, 88 perwakilan Partai Demokrat di Kongres AS, dalam suratnya kepada Presiden AS Joe Biden, menuntut larangan penjualan senjata ofensif ke Israel.
Sebelumnya, 40 anggota Kongres AS, termasuk Nancy Pelosi, mantan Ketua DPR, telah meminta Biden melalui surat untuk menghentikan penjualan senjata kepada rezim Zionis dan menjadikan bantuan Washington kepada rezim tersebut bersyarat.
Di Eropa, banyak organisasi hak asasi manusia yang meminta negaranya untuk berhenti mengirimkan peralatan dan senjata militer ke Israel.
Antara lain, “Pusat Keadilan Internasional untuk Palestina” menuntut embargo senjata penuh terhadap Israel oleh Inggris. Permintaan ini sebagian berhasil.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Inggris mengumumkan pada tanggal 2 September 2024 bahwa mereka akan menangguhkan ekspor sejumlah senjata ke rezim Zionis karena kemungkinan penggunaan senjata Inggris oleh Israel untuk melanggar hukum internasional.
Jonathan Purcell, Pejabat Senior Urusan Publik dan Komunikasi di Pusat Keadilan Internasional untuk Palestina menyatakan bahwa Inggris telah menangguhkan 30 dari 350 izin ekspor senjata ke Israel.
Menurutnya, Dengan mengambil keputusan ini, pemerintah Inggris akhirnya menerima bahwa Israel sangat membahayakan hak asasi manusia.
Langkah nyata lainnya untuk menekan dan mengisolasi rezim Zionis, yang semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir dengan berlanjutnya perang berdarah di Gaza, adalah perluasan gerakan boikot Israel di tingkat global.
Dalam hal ini, surat kabar Amerika Wall Street Journal baru-baru ini menulis dalam sebuah laporan bahwa gerakan untuk memboikot Israel, menyusul berlanjutnya perang terhadap Jalur Gaza, yang semakin meluas dari hari ke hari, menyaksikan bergabungnya berbagai lapisan masyarakat Barat, khususnya universitas, terhadap gerakan ini.
Menurut surat kabar ini, sejak awal serangan rezim Zionis di Gaza pasca operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober lalu, arena gerakan pendukung boikot terhadap rezim ini telah mengalami perubahan besar.
Menyusul perang Gaza, sebagai hasil dari aksi ini adalah telah tercapainya beberapa tujuan jangka panjang dari gerakan boikot Israel dan organisasi pro-Palestina.(sl)