Mantan Wakil Kepala BIN: Taliban akan Tiru Saudi
Eks Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali menilai Afghanistan di bawah kendali Taliban kemungkinan menerapkan sistem pemerintahan yang meniru Arab Saudi saat ini.
Mantan Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengatakan Afganistan di bawah Taliban akan meniru penerapan syariat Islam Arab Saudi di bawah Pangeran Mohammad bin Salman.
As'ad menerangkan, Arab Saudi hari ini tak seketat dahulu dalam menerapkan syariat Islam di negaranya sesuai interpretasi keagamaan.
Ia melanjutkan, Taliban kemungkinan mengikuti Arab Saudi yang tak akan membentuk lagi lembaga yang dianggap tidak relevan saat ini. Contohnya adalah kementerian amar maruf nahi munkar untuk mengawasi dan memaksa masyarakat agar mematuhi syariat islam versi Taliban.
Aturan untuk perempuan Arab Saudi, As'ad menambahkan, juga dikendurkan. Perempuan diizinkan mengenakan jilbab dengan memperlihatkan wajah dan boleh menyaksikan pertunjukan.
"Nanti suatu saat Taliban akan seperti itu lah (dalam memerintah Afghanistan)," paparnya dilansir CNN.
As'ad menilai klaim Taliban yang mengatakan akan melibatkan perempuan dalam pemerintahan sekarang, sebagai bentuk keterbukaan atau pemerintah yang inklusif.
Menurutnya, Taliban perlu uang dan kerja sama internasional, oleh karena itu akan memenuhi tuntutan masyarakat internasional, termasuk pelibatan perempuan.
Usai pasukan asing hengkang, menurut As'ad, tantangan yang dihadapi Taliban yakni cara menyejahterakan rakyatnya bukan lagi berjihad.
Saat Taliban mengambil alih kekuasaan, ekonomi di Afghanistan lumpuh. Banyak banyak yang tutup, mata uang anjlok, dan harga bahan bakar melonjak.
Mengantisipasi krisis ekonomi akut, Taliban memerintahkan agar penduduk maksimal menarik US$200 atau Rp2,8 juta dalam sepekan.
Saat Afghanistan masih dipimpin Ashraf Ghani, pada September 2019 lalu, As'ad pernah melakukan pembicaraan dengan Taliban ketika mereka berkunjung ke Indonesia.
As'ad mengenang pertemuan itu, mengatakan kepada perwakilan Taliban, "Kamu harus berdamai, kalau tidak kamu kehilangan momentum globalisasi," .