Dua Kekuatan Udara Pinangan Indonesia
“Wusss,” demikian kiranya suara mesin pesawat F-16 Fighting Falcon TNI Angkatan Udara menggelegar di langit Jakarta kala beraksi dalam Upacara Peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI.
Pada Selasa (17/8/2021) itu, sebanyak delapan F-16 dengan call sign “Garuda Flight” membentuk formasi mata panah.
Tim dengan flight leader Letkol Pnb Agus Dwi A, saat itu menjabat Komandan Skuadron Udara 3, melakukan manuver bomb burst pada ketinggian 1.000 kaki mdpl tepat di sisi barat Monas, Jakarta Pusat.
“Kami elang-elang Angkatan Udara penjaga Tanah Air, dari ketinggian 1.000 kaki mengucapkan selamat Ulang Tahun Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2021. Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh. Salam Swa Buana Paksa, merdeka!” demikian Agus sesaat sebelum bermanuver yang disaksikan oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin beserta undangan yang hadir di halaman Istana Merdeka.
Burung besi buatan Paman Sam itu dengan cepat berpencar di langit Jakarta membentuk layaknya percikan kembang api.
F-16 Fighting Falcon telah menjadi salah satu armada tempur yang dioperasikan oleh TNI AU sejak 1989.
Kendati pernah terkena embargo persenjataan dari AS pada 1991, Indonesia masih jatuh hati kepada sang Fighting Falcon yang diantaranya tiba pada 2020.
Namun, embargo itu juga memicu Indonesia mengalihkan pilihan kepada Sukhoi Su-27 Flanker buatan Rusia yang dibeli pada 2003.
Indonesia pun menjadi salah satu negara yang mengoperasikan pesawat tempur dari blok Barat maupun Timur.
Kebutuhan penjagaan udara
Perlengkapan alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia memang terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya armada pesawat tempur.
Negara kepulauan ini membentang paling besar di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Rujukan Nasional Data Kewilayahan RI, Kemenko Maritim dan Investasi, negara ini memiliki total luas (daratan dan perairan) sekitar 8,3 juta km2 dengan 17.504 pulau, dimana 16.056 pulau telah didaftarkan ke PBB.
Dengan kekayaan alam yang juga melimpah menjadikan negeri ini sebagai “zamrud khatulistiwa”.
Namun dengan adanya pertumbuhan kekuatan, bukan hanya ekonomi namun juga militer, di kawasan Asia meningkatkan kekhawatiran atas gangguan stabilitas di kawasan.
Indonesia dinilai perlu memperkuat alutsista. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menjelaskan mengapa ibu pertiwi perlu meremajakan alutsista.
“Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis,” ujar Khairul pada Jumat (11/2/2022).
Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), lima negara terbesar dengan porsi 62 persen anggaran belanja militer global yakni Amerika Serikat (AS), China, India, Rusia, dan Inggris terus meningkatkan belanja pertahanannya.
Bahkan negeri Tirai Bambu sejak 2015 diketahui membangun pangkalan militer di Meiji Reef, Laut China Selatan yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna Utara.
Atas hal tersebut, Amerika Serikat pun tidak ketinggalan membangun infrastruktur militer di negara sekutu, Australia bagian utara, agar dapat leluasa “memantau” pergerakan China di Asia-Pasifik.
Dengan demikian, Indonesia yang diapit oleh dua kekuatan militer besar di dunia perlu kekuatan mandiri untuk menjaga kedaulatan jika terjadi pergerakan militer dari pihak mana pun sehingga sang Garuda membutuhkan kekuatan yang dapat bergerak “secepat peluru”.
Salah satu yang menarik perhatian publik saat ini yakni pinangan Indonesia kepada dua jet tempur canggih.
Tentu saja hal ini menjadi kabar bahagia bahwa kekuatan udara Indonesia kembali pulih setelah beberapa jet tempur gaek Ibu Pertiwi pensiun, seperti Hawk MK53 pada 2015, hingga F-5E Tiger II pada 2017 yang kini salah satunya menjadi monumen di Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Antara Prancis dan AS
Menurut data Global Firepower, sebesar 14 persen dari 445 armada kekuatan udara Indonesia adalah pesawat tempur dan pesawat serang darat, baik bermesin jet maupun baling-baling.
Hingga 2022 Indonesia memiliki 41 pesawat tempur dan 23 unit pesawat serang darat.
Jika dibandingkan dengan negara terdekat, seperti Malaysia dengan 26 pesawat tempur dan 12 pesawat serang darat ataupun Singapura dengan 100 pesawat tempur, Indonesia dengan wilayah yang sedemikian luas membutuhkan elang-elang penjaga yang lebih banyak.
Pemenuhan terhadap armada pesawat tempur pun diwujudkan pada awal 2022, dengan meminang pesawat tempur Dassault Rafale dan Boeing F-15ID.
Ini menjadi sejarah baru dimana Indonesia mengakuisisi total 42 pesawat tempur Rafale yang diproduksi oleh Dassault Aviation asal Prancis.
Indonesia dan Prancis menyetujui pembelian enam Rafale dalam kesepakatan kontrak pertama.
“Akan disusul dalam waktu dekat dengan 36 pesawat lagi dengan dukungan latihan persenjataan dan simulator-simulator yang dibutuhkan,”kata Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto pada Kamis (10/2/2022) usai menyaksikan penandatanganan kontrak kerja sama.
Dengan kontrak yang ditandatangani oleh Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kementerian Pertahanan bersama pihak Dassault, Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan pesawat Rafale.
Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly dalam kunjungannya di Jakarta untuk bertemu Prabowo, menilai bahwa perusahaan Indonesia dapat menjalin kemitraan bersama Prancis dalam hal modernisasi alutsista.
"Pilihan ini menunjukkan kepercayaan Indonesia terhadap Prancis sebagai bukti kemitraan strategis kita sangat kuat dan dinamis," kata Florence.
Peningkatan hubungan bilateral Indonesia dan Prancis pun berbuah manis.
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard bahkan menilai pembelian Rafale lebih dari sekadar bisnis.
"Tentunya ada bagian komersial dari kegiatan penjualan alat militer, namun ini mencerminkan keinginan kedua negara kita untuk bekerja sama menuju kawasan Indo-Pasifik yang stabil, di tengah waktu yang diwarnai ketegangan dan ancaman ketidakstabilan,” kata Chambard kepada Antara.
Selain pembelian pesawat, terdapat juga penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Program Offset dan ToT antara Dassault dengan PT Dirgantara Indonesia yang menyepakati pemeliharaan dan perbaikan pesawat Prancis di Indonesia.
Rafale merupakan pesawat tempur segala peran atau omnirole yang dioperasikan Prancis sejak 2004.
Dalam laman Dassault Aviation diketahui hingga 2018 Prancis mengoperasikan sedikitnya 132 Rafale untuk AU dan 48 unit oleh Angkatan Laut Prancis.
Negara lain juga tertarik menggunakan Rafale sebagai petempur mereka seperti Mesir 24 unit, Qatar 36 unit, dan India sebanyak 36 unit.
Pesawat ini juga rutin mengikuti latihan multinasional seperti Red Flag, ATLC, Tiger Meet, Maple Flag, Arctic Challenge, Pitch Black, dan Bold Quest.
Dengan rentang sayap 10,9 meter, panjang 15,3 meter dan tinggi 5,3 meter, Rafale menggunakan mesin ganda turbofan berkode M88 yang diklaim mampu menembus kecepatan maksimal 1.389 km per jam (kpj) dengan ketinggian operasi 50.000 kaki.
Pabrikan menyediakan tiga pilihan varian yakni Rafale C berkursi tunggal, Rafale B berkursi ganda, dan Rafale M berkursi tunggal untuk kapal induk.
Hingga saat ini belum ada keterangan resmi mengenai varian yang dibeli oleh Indonesia.
Total beban eksternal yang dapat diangkut di 14 titik pasang atau hard points pesawat ini yaitu 9,5 ton.
Persenjataan yang bisa diangkut Rafale pun beragam seperti rudal serang udara MICA, rudal serang udara METEOR, rudal serang darat HAMMER, roket SCALP, rudal anti-kapal laut AM39 EXOCET, bom berpemandu laser, serta kanon internal 2.500 peluru/menit.
Menurut Dassault, persenjataan yang diusung Rafale dapat disesuaikan kondisi klien.
Bahan bakar yang dapat diboyong oleh Rafale dalam “perutnya” seberat 4,7 ton, sementara tangki eksternalnya dapat memuat 6,7 ton avtur.
Selain itu pada hari yang sama dengan penandatanganan kontrak pembelian Rafale, Indonesia juga mendapat informasi positif terkait proposal pembelian F-15ID kepada Paman Sam.
Kementerian Luar Negeri AS melalui Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan (DSCA) menyatakan Indonesia diperbolehkan memboyong F15ID beserta kelengkapannya dengan total estimasi biaya 13,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp198,5 triliun.
Dalam keterangannya pada Kamis (10/2/2022), DSCA menyebutkan deretan peralatan yang ingin dibeli antara lain 36 unit pesawat tempur F-15ID, 87 mesin F110-GE-129 atau F100-PW-229, 45 radar AN/APG-82(v)1, 45 sistem AN/ALQ-250 EPAWSS, 80 helm sistem JHMCS, hingga 40 sistem senapan M61A Vulcan.
“Proposal pembelian ini dapat meningkatkan kapabilitas Indonesia dalam menghadapi ancaman pada saat ini dan masa depan dengan menambah daya gentar dan lingkup pertahanan udara,” demikian DSCA.
Pesawat buatan Boeing ini memiliki panjang 19,45 meter, tinggi 5,65 meter, dan rentang sayap 13,05 meter yang didorong oleh dua mesin turbofan Pratt & Whitney F100 dan diklaim mampu menembus kecepatan maksimal 3.017 km per jam.
Dalam laman Boeing dijelaskan senjata yang dapat diusung F-15 diantaranya rudal serang udara AIM-120, AIM-9, AIM-7, rudal serang darat berpemandu, bom, dan kanon 20 mm.
Selain AS, negara pengguna F-15 hingga saat ini yakni Jepang, Israel, Korea Selatan, Arab Saudi, Singapura, dan Qatar.
Dengan demikian, jika Indonesia kedatangan dua tipe pesawat itu, maka keinginan atas penambahan pesawat dari generasi 4.5 dapat terwujudkan.
Indonesia tidak pernah mengharapkan perang berkecamuk di kawasan, namun tidak ada salahnya untuk memperkuat pertahanan menjaga kedaulatan mulai dari Sabang sampai Merauke, dan Miangas hingga Rote.
Oleh Bayu Prasetyo
Editor: Fardah Assegaf
COPYRIGHT © ANTARA 2022