Statemen Imajiner Sekjen NATO Anti-Iran
Sekjen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Israel, Yair Lapid di Brussels dalam sebuah statemen tak berdasar soal kemampuan defensif dan persenjataan Iran, tanpa mengisyaratkan ancaman nuklir Israel bagi kawasan dan dunia menilai kekuatan defensif rudal dan aktivitas damai nuklir Iran mengkhawatirkan.
Sekjen NATO di pertemuan yang digelar Senin (12/7/2021) ketika menuding Iran mengobarkan istabilitas di kawasan, justru aksi pendudukan dan tidak komitmennya Israel terhadap Traktat Non Proliferasi Nuklir (NPT) serta mekanisme pelucutan senjata, menjadi kekhawatiran utama di kawasan.
Berbeda dengan statemen sekjen NATO, berdasarkan laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), seluruh aktivitas nuklir Iran bersifat damai dan berada di bawah pengawasan organisasi ini. Sementara Republik Islam Iran berdasarkan doktrin agama dan komitmennya terhadap perjanjian internasional, tidak pernah ingin meraih senjata pemusnah massal dan nuklir. Tak hanya itu, Iran menilai haram senjata pemusnah massal.
Faktanya klaim yang digulirkan sekjen NATO sekedar pengulangan klaim tak berdasar petinggi Zionis dan Amerika terhadap Iran, di mana mereka berusaha menyembunyikan tujuannya melalui kebijakan proyektif.
Sekjen NATO ketika menggulirkan dakwaan tak berdasar anti-Iran, justru peran NATO bertentangan dengan misi sejatinya yakni melindungi kepentingan negara-negara anggota dan menjaga stabilitas serta keamanan kawasan. Dengan demikian organisasi ini menghadapi banyak pertanyaan dan ketidakpastian.
Mohammad Reza Noroozpour, pakar politik mengisyaratkan poin ini bahwa NATO sebelum merekomendasikan pihak lain, lebih baik memulihkan posisi dan kredibilitasnya yang rusak akibat terlibat dalam kejahatan perang di Afghanistan dan berbagai wilayah lain.
Seperti dijelaskan statemen Kedubes Iran di Brussels saat menjawab pernyataan sekjen NATO; Statemen ini menyesatkan, tidak bertanggung jawab dan mendistorsi fakta, di mana hal ini tidak akan membantu meningkatkan kredibilitas kalim sekjen NATO.
Saat ini dan setelah 20 tahun agresi AS dan NATO ke Afghanistan, negar aini masih menderita akibat perang, kekerasan, instabilitas dan penyelundupan obat-obatan terlarang. Kondisi Afghanistan dan Irak sekedar sebuah contoh dari kinerja organisasi ini.
Kebijakan NATO di kawasan sedikitnya selama dua dekade terakhir menjadi salah satu faktor utama penyebaran instabilitas dan kekerasan di kawasan. Para pemimpin NATO di sidang Lisbon tahun 2010 menyusun tujuan organisasi ini untuk 10 tahun kedepan. Agenda utama dokumen tersebut seputar komitmen NATO terhadap keamanan kolektif. Namun organisasi ini terkait krisis Suriah dan Irak serta perang kontra terorisme, krisis pengungsi, instabilitas politik dan kejahatan sistematis, tidak mampu menunjukkan efektivitas yang memadai.
Faktanya jika tidak ada keterlibatan Iran di perang melawan Daesh (ISIS) di Suriah dan Irak, pastinya negara-negara anggota NATO saat ini akan menghadapi kondisi lain. Dalam perspektif Republik Islam Iran, solusi tunggal menghadapi ancaman keamanan adalah bersandar pada kapasitas internal regional. Ini sebenarnya yang dikhawatirkan Barat dan NATO.
Sementara di kasus JCPOA dan komitmen nuklir, harus dikatakan bahwa Iran sebagai anggota yang komitmen terhadap Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan Konvensi Senjata Biologis tidak membutuhkan rekomendasi NATO dan menjalankan penuh komitmennya tersebut.
Realitanya adalah rezim Zionis Israel dengan memiliki 200 hulu ledak nuklir dan penolakannya menandatangani NPT menjadi ancaman sejati bagi keamanan kawasan. Ancaman ini hasil dari dukungan AS dan negara-negara Eropa serta dualisme kebijakan yang tampak jelas di pernyataan sekjen NATO. (MF)