Sanksi Sepihak, Kendala bagi Pembangunan
-
Majid Takht-Ravanchi
Wakil tetap Republik Islam Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Majid Takht-Ravanchi mengatakan, sanksi sepihak mencegah akses negara-negara yang terdampak sanksi ke sumber finansial dan pembangunan yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Majid Takht-Ravanchi di pidatonya di Dewan Keamanan PBB dengan tema "Menjaga Perdamaian dan Keamanan Internasional: Perampasan, Ketidaksetaraan dan Konflik" menambahkan, isu seperti perampasan dan ketidaksetaraan dapat menjadi motor penggerak potensial dan unsur yang meningkatkan konfrontasi, serta melemahkan peluang untuk meraih perdamaian berkelanjutan di negara-negara yang terlilit konfrontasi dan perselisihan.
Di beberapa dekade terakhir, sanksi ekonomi menjadi alat penting bagi negara kuat dan untuk menekan seluruh negara lain di dunia. Sejak awal dekade 1990, Amerika Serikat, Uni Eropa dan seluruh negara maju, telah menjatuhkan ratusan sanksi ekonomi kepada negara lain di dunia. Sanksi ini mayoritasnya dijatuhkan dengan dalih seperti mencegah perluasan senjata nuklir atau menyebarkan Hak Asasi Manusia (HAM), namun di balik sanksi ini senantiasa tersembunyi motif politik dan ketamakan.

Negara-negara pemberi sanksi juga mengklaim bahwa sanksi sebagai opsi lain dari serangan militer. Woodrow Wilson, mantan presiden AS mengatakan, "Bangsa yang disanksi tunduk atau diblokde; Terapkan solusi ekonomi yang damai, diam dan mematikan ini, dan tidak perlu kekuatan militer."
Sementara efek sanksi yang tidak manusiawi terhadap orang-orang di negara-negara yang terkena sanksi tidak dapat disangkal. Penelitian oleh ekonom Matthias Neuenkirch dan Florian Neumayr tentang pengaruh sanksi di berbagai negara menunjukkan bahwa sanksi mengurangi ketimpangan pendapatan, kemiskinan, dan mengurangi pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PDB) di negara-negara sasaran. Misalnya, sanksi AS antara 1991 dan 2018 meningkatkan kemiskinan sekitar 3,5 persen di negara-negara target dan mengurangi tingkat pertumbuhan PDB per kapita lebih dari 2 persen. Sanksi PBB antara tahun 1976 dan 2012 juga mengurangi total PDB per kapita negara-negara target sebesar 25,5 persen.
Sementara di Iran yang menjadi target sanksi sepihak Amerika Serikat, perdagangan negara sangat terdampak dan sebagian sumber finansial pemerintah terhapus atau diblokir. Tentu saja hal ini meningkatkan kemiskinan, inflasi dan tekanan ekonomi terhadap rakyat. Oleh karena itu, klaim pemberi sanksi bahwa sanksi tidak berdampak kepada rakyat tentu tidak dapat diterima. Sejatinya salah satu alasan utama penjatuhan sanksi keras terhadap Iran adalah menekan pejabat pemerintah dengan mempersulit kehidupan warga sipil.
Djavad Salehi-Isfahani, guru besar ekonomi Universitas Virginia Tech terkait dampak sanksi ini di Iran antara tahun 2010 hingga 2019 mengatakan, keluarga pedesaan paling terpukul akibat sanksi ini. Sejak tahun 2010 angka kemiskinan di berbagai wilayah pedesaan naik dua kali lipat dan di kota naik 60 persen. rekor baik Republik Islam Iran dalam menurunkan separuh angka kemiskinan dari 20 persen di tahun 2000 menjadi kurang dari 10 persen di tahun 2010 menjadi korban dari penurunan tajam dalam pendapatan pemerintah dan bersamaan dengan penerapan sanksi pemerintah Donald Trump dan pandemi Corona."
Poin penting adalah sanksi dari satu sisi mendorong kelangkaan kebutuhan utama warga dan mencegah akses berbagai negara ke sumber finansial yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan dari sisi lain termasuk alasan terpenting bagi kelanjutan dan peningkatan konfrontasi di berbagai wilayah dunia. oleh karena itu, sangat penting langkah dan koordinasi internasional untuk melawan sanksi sepihak.
Oleh sebab itu, wakil tetap Iran di PBB menekankan bahwa untuk mencegah konflik secara lebih efektif, faktor-faktor mendasar seperti tindakan sepihak oleh pemerintah dan intervensi asing yang memperpanjang konflik harus dipertimbangkan dan dilawan. (MF)