Kritik Keras Parlemen Iran atas HAM Amerika
27 Juni hingga 3 Juli di Iran ditetapkan sebagai Pekan Kajian dan Pengungkapan HAM AS; pekan HAM AS mengingatkan kejahatan langsung atau tidak langsung Washington terhadap rakyat Iran.
Vahid Jalalzadeh, ketua Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran Senin (13/6/2022) di sidang ketiga kantor pusat "Pekan Pengkajian dan Pengungkapan Hak Asasi Manusia Amerika dan Peringatan Para Martir 7 Tir" mengungkapkan, Amerika Serikat telah merugikan puluhan juta orang dengan kebijakan HAMnya.
Jalalzadeh seraya mengisyaratkan undang-undang anti-teror Amerika mengatakan, "Hampir 85 juta pendudukan dunia dirugikan oleh undang-undang Amerika ini, di mana jutaan orang di Afghanistan terpaksa mengungsi. Padahal Amerika yang mengklaim memerangi terorisme di tingkat global, dengan mendukung kelompok teroris MKO dan bahkan menghapusnya dari list kelompok teroris, secara praktis memberi lampu hijau kepada kelompok ini untuk melanjutkan kejahatannya terhadap rakyat Iran."
Statemen petinggi parlemen Iran terkait HAM AS dipaparkan mengingat realitas yang tidak dapat dipungkiri di bidang ini. Terlepas dari slogan-slogan pemerintah AS tentang hak asasi manusia, perlindungan hak dan kebebasan individu dan sosial, dan hak-hak sipil di Amerika Serikat, kinerja pemerintah AS di berbagai bidang seperti perlakuan kekerasan, tidak manusiawi, dan diskriminatif terhadap masyarakat pribumi, minoritas dan kulit hitam, perlakuan tidak manusiawi terhadap pencari suaka, termasuk pemisahan anak-anak dari orang tua mereka, kekerasan polisi AS yang merajalela terhadap orang kulit berwarna, kondisi para tahanan, pelanggaran privasi, dan banyak lagi, semuanya merupakan indikasi klaim palsu Washington tentang hak asasi manusia.
Seiring dengan meletusnya pandemi Corona dan COVID-19, kubu minoritas semakin rentan. Komunitas kulit hitam, Latin dan pribumi Amerika Serikat secara tidak proporsional terpengaruh oleh Corona. Ketua Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran seraya menyinggung berbagai kasus pelanggaran HAM oleh Amerika mengatakan, penduduk Amerika adalah lima persen dari populasi dunia, tapi 25 persen tahanan di dunia dipenjara di negara ini; Kekerasan dan kezaliman terhadap keturunan Latin, perempuan dan kulit hitam serta lainnya terjadi setiap hari, tapi Amerika dengan berbagai permainan mengaku dirinya sebagai penjaga HAM.
Di sisi lain, Washington memiliki catatan hitam di luar Amerika dengan aksi militer dan serangan serta kejahatan perang di banyak negara seperti Vietnam, Afghanistan, Irak dan Suriah serta membangun penjara buruk seperti Penjara Guantanamo dan dituduh melakukan aksi tak manusiawi serta penyiksaan. Hal ini menunjukkan kebohongan Amerika terakait dukungannya terhadap HAM.
Sementara itu, Amerika Serikat sebagai pemimpin Barat dan pengklaim pendukung kebebasan serta HAM, dengan mengaku sebagai polisi dunia, setiap tahun merilis laporan HAM di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara rival dan musuh Washington dan negara-negara ini menjadi target serangan propaganda dan politik atas alasan tersebut. Sementara di sisi lain, Amerika sebenarnya menjadi pelanggar HAM terbesar dunia.
Andranik Migranyan, pengamat politk Rusia mengatakan, "Amerika Serikat melanggar hak asasi manusia lebih dari negara lain di dunia. pertanyaan yang muncul adalah apa hak istimewa Amerika untuk mengaku dirinya sebagai entitas yang terpisah dan tidak mengizinkan pihak lain mengomentari situasi HAMnya ?"
Lembaga HAM seperti Dewan HAM PBB sampai saat ini di berbagai laporannya menyinggung beragam pelanggaran HAM oleh Amerika terhadap Iran seperti penjatuhan sanksi luas terhadap Tehran khususnya di masa pandemi Corona dan larangan akses rakyat Iran terhadap berbagai fasilitas dan peralatan medis serta obat-obatan, serta mengecam masalah ini.
Jalalzadeh terkait hal ini mengatakan, "Laporan Alena Douhan, pelapor PBB terkait"dampak negatif dari tindakan pemaksaan sepihak terhadap penikmatan hak asasi manusia" menegaskan bahwa pengiriman obat yang tidak tepat waktu kepada pasien Iran dan meninggalnya pasein ini, termasuk di antara pelanggaran hak asasi manusia oleh sanksi AS di Iran." (MF)