Syuhada Agresi Rezim Zionis terhadap Iran
Serangan Pesawat Nirawak Israel di Andimeshk; Kesyahidan Sebuah Keluarga Tak Bersenjata
Di tengah panasnya musim panas yang sunyi di Dukuh-e, wilayah yang selama perang Iran–Irak menjadi salah satu medan terpanas pertempuran, Seyed Gholam-Abbas Mousavi bersama keluarganya gugur sebagai syahid.
Keluarga Seyed Gholam-Abbas Mousavi tinggal di sebuah kawasan yang pada Jumat, 30 Khordad (20 Juni) menjadi sasaran serangan drone Israel, yang menewaskan keluarga tak bersenjata ini. Menurut laporan Pars Today yang mengutip Hamshahri Online, keluarga sederhana ini berasal dari Dukuh-e di Kabupaten Andimeshk, dan dalam keseharian mereka yang penuh kerja keras, menjadi korban kekerasan lintas batas yang tak mengenal kemanusiaan.
Kisah dari Keponakan yang Kehilangan Dua Kali
Bahar Mousavi, keponakan perempuan berusia 29 tahun dari syahid Gholam-Abbas Mousavi, menceritakan dengan penuh duka: “Aku kehilangan ibuku ketika masih berusia sembilan bulan. Pada tahun 1377 (1998 M), ayahku, Seyed Ahmad Mousavi, juga gugur akibat ledakan ranjau di wilayah Dukuh-e. Setelah itu aku tinggal bersama nenek, dan paman Gholam-Abbas bagiku seperti ayah sendiri.”
Ia melanjutkan, “Sekitar sepuluh tahun terakhir setelah menikah, paman memilih gaya hidup nomaden. Saat musim panas, mereka pindah ke Khorramabad, dan ketika musim dingin tiba, mereka kembali ke Tangvan, wilayah Andimeshk, yang berjarak hanya lima kilometer dari Dukuh-e. Mereka hidup sederhana dari pertanian, peternakan, dan sesekali menjaga kebun atau sumur air di sekitarnya.”
Hari Terakhir: Panggilan Telepon, Ledakan, dan Kepergian
Gholam-Abbas Mousavi (41 tahun), istrinya Siahgis Mousavi, dan anak laki-laki mereka Armin (8 tahun), pada musim panas tahun ini tidak seperti biasanya berpindah ke Khorramabad, melainkan tetap tinggal di Tangvan untuk menjaga sumur air dan kebun lemon.
Bahar mengisahkan detik-detik terakhir: “Daerah itu memang berisiko tinggi, bahkan bisa dibilang garis depan. Tapi mereka tidak mau pindah dan lebih memilih tinggal di rumah sendiri. Sore hari, pada Jumat 30 Khordad, paman menelepon nenek dan berkata: ‘Besok pagi kami akan ke tempatmu untuk urusan bank.’ Tak lama setelah sambungan telepon terputus, listrik padam. Baru sepuluh menit berselang, terdengar suara ledakan keras. Salah satu warga desa menelpon paman yang lebih tua dan berkata, ‘Sumur itu meledak ke udara.’ Saat itulah kami sadar bahwa paman, bibi, dan Armin telah syahid.”
Cahaya di Wajah Sang Syahid
Bahar dengan mata berkaca-kaca mengenang pertemuan terakhirnya: “Terakhir kali aku melihat paman saat ia datang ke depan rumah menjemput Armin dan bibi. Ia tampak sangat haus. Saat aku membawakan segelas air, aku melihat cahaya aneh di wajahnya, matanya berkilau dengan sinar yang belum pernah kulihat sebelumnya. Anehnya, saat hendak pergi, bibi menoleh dan berkata, ‘Maafkan aku kalau ada salah.’ Kami juga memohon agar Armin tinggal bersama kami selama masa perang, tapi ia menolak dan bersikeras ikut ayah dan ibunya.”
Armin Kecil dan Gambar-Gambar Perlawanan
Dengan nada getir, Bahar menuturkan tentang keponakan kecilnya itu: “Sejak perang dimulai, Armin sering menggambar roket dan pesawat tempur di buku gambarnya. Setiap kali mendengar suara peluncuran rudal, ia berteriak ‘Ya Ali!’ dan ‘Kematian bagi Israel!’.”
Tragedi keluarga Mousavi di Dukuh-e menjadi simbol dari keberanian dan keteguhan warga Iran biasa di tengah ancaman agresi lintas batas. Mereka bukan tentara, bukan pejabat, namun jiwa-jiwa sederhana yang mengorbankan segalanya dalam diam — sebuah kesyahidan yang menyinari makna sejati dari sabar, iman, dan keteguhan bangsa Iran.(PH)