Syahid Madhani, Pejuang yang Mengguncang Musuh dengan 15 Rudal
https://parstoday.ir/id/news/iran-i178444-syahid_madhani_pejuang_yang_mengguncang_musuh_dengan_15_rudal
Setiap hari yang berlalu membuat kepergianmu kian menyayat dan tak terpahami. Engkau pergi, dan aku tertinggal dengan hati yang tercabik dan jiwa yang tersesat antara bumi dan langit, terus mencari keberadaanmu.
(last modified 2025-10-17T09:23:08+00:00 )
Okt 17, 2025 16:12 Asia/Jakarta
  • Syahid Madhani, Pejuang yang Mengguncang Musuh dengan 15 Rudal

Setiap hari yang berlalu membuat kepergianmu kian menyayat dan tak terpahami. Engkau pergi, dan aku tertinggal dengan hati yang tercabik dan jiwa yang tersesat antara bumi dan langit, terus mencari keberadaanmu.

Maryam Sadeqi, istri syahid Sajad Madhani mengatakan,“Pada tanggal 31 Khordad 1404 (20 Juni 2025), musuh zionis yang biadab membombardir pangkalan Imam Ali di Khorramabad.”

Menurut laporan Pars Today yang dikutip dari Hamshahri Online, musuh menyimpan dendam terhadap pangkalan tersebut karena sebagian besar rudal yang ditembakkan ke arah wilayah pendudukan diluncurkan dari sana.

Syahid Sajad Madhani, seorang anggota Korps Garda Revolusi Islam dan pejuang elit perang, sejak hari-hari pertama serangan telah berada di garis depan.Kisah hari-hari terakhir kehidupan bersama yang hancur oleh tangan musuh paling kejam ini, kami dengar dari penuturan istrinya, Maryam Sadeqi.

Setiap Saat dan di Mana pun, Aku Membela Tanah Airku

Maryam Sadeqi memulai ceritanya dari awal perkenalannya dengan Sajad Madaheni:“Sajad lahir pada 4 April 1987. Saat pertama kali mengenalnya, aku tidak tahu bahwa dia seorang militer. Setelah acara lamaran dan pertunangan, dia berkata: ‘Maryam, aku anggota pasukan Sepah, dan pekerjaanku adalah menjadi tentara. Kalimat ini berarti aku siap membela tanah airku setiap saat dan di mana pun.’Aku tersenyum dan menjawab: ‘Apakah kau pikir aku akan mundur? Sekalipun aku mati dan hidup kembali seribu kali, aku akan tetap datang dan menemukanmu.’”

Mata yang Basah, Bahu yang Bergetar

Menurut cerita sang istri, Sajad setiap hari pulang ke rumah dengan senyuman. Setelah bermain dan bercanda dengan anak-anak, ia biasa duduk menyendiri di sudut rumah dan berbicara lirih dengan dirinya sendiri:“Setelah bermain dengan anak-anak, aku menemukannya duduk di sudut yang tenang. Bahunya bergetar, dan ketika kulihat, air mata mengalir di wajahnya.Teman-teman seperjuangannya gugur satu per satu. Ia berkata: ‘Maryam, teman dekatku syahid hari ini. Bagaimana nasib putrinya setelah ia tiada? Apa yang harus kukatakan kepada istrinya? Oh, hati ibunya pasti hancur.’”

Pada 31 Khordad (20 Juni 2025), operasi peluncuran rudal berhasil dilakukan. Lima belas rudal diluncurkan, dan empat belas di antaranya mengenai sasaran. Namun dalam perjalanan pulang, posisi peluncur terdeteksi dan dibombardir.

Maryam Sadeqi menyadari bahwa menjadi istri seorang syahid membutuhkan keteguhan dan ketabahan luar biasa. Ia berkata:“Aku percaya bahwa jihad sejati dilakukan oleh para istri syuhada. Saat menanggung kehilangan orang tercinta dan hampir hancur secara batin, kau tetap harus menjadi ibu yang kuat dan tegar.Karena kau adalah penjaga amanah peninggalan sang syahid. Muhammad berusia 10 tahun, Mahan 7 tahun, dan Maral 5 tahun — semua menatapku dengan harap.Dalam bisikan seorang ibu, aku berkata kepada mereka: ‘Lihatlah betapa kecil rumah kita. Ayah pergi untuk membangun rumah yang lebih besar dan lebih indah untuk kita di dunia sana.Percayalah, suatu hari, di salah satu jalan indah milik Tuhan, ia akan datang mencari kita.’”

Oh, Bibir Haus dan Tubuh Tanpa Kepala Itu...

Sajad gugur pada tengah malam itu juga, namun tak seorang pun berani memberi tahu Maryam tentang kabar syahidnya. Ia mengenang saat itu demikian:“Pagi harinya, sekitar pukul setengah delapan, aku terbangun oleh suara tangisan tetangga. Tanpa pikir panjang aku mengenakan chador dan berlari keluar untuk melihat siapa yang menangis.Rumah ayah mertuaku tidak jauh. Ketika aku mendekat, aku terpaku. Suara isak itu berasal dari sana. Dalam sekejap, aku kehilangan sandaran hidupku yang terbesar.”

Sajad sangat mencintai Imam Husain dan tanpa ragu, cinta itulah yang menuntun caranya meraih syahadah, sebagaimana junjungannya. Maryam melanjutkan,“Aku memohon berkali-kali agar mereka memberitahuku bagaimana Sajad syahid, tapi tak ada yang berani menjawab.Aku berkata: ‘Kalau jasadnya tak bisa kulihat, setidaknya katakan bagaimana ia gugur.’

Seseorang berbisik pelan dari kerumunan: ‘Sajad tanpa kepala...’ Dan aku menjerit: ‘Sajadku gugur dengan bibir haus dan tubuh tanpa kepala.’Pada perpisahan terakhir, ia memang kehausan. Aku ingin mengambilkan air untuknya, tapi ia berkata: ‘Sudah terlambat,’ lalu pergi. Ia pergi, dan aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana jiwaku ikut pergi bersamanya.”(PH)