Kesyahidan Sang Ayah, Kepulangan Sang Anak: Kisah tentang Pengorbanan
https://parstoday.ir/id/news/iran-i179742-kesyahidan_sang_ayah_kepulangan_sang_anak_kisah_tentang_pengorbanan
Ruhollah Shariati, seorang pejuang Basij berusia 42 tahun, seperti banyak pembela tanah air lainnya, meninggalkan semua ikatan duniawi di hari-hari penuh perang demi melindungi tanah kelahirannya.
(last modified 2025-11-06T13:07:25+00:00 )
Nov 06, 2025 19:51 Asia/Jakarta
  • Kesyahidan Sang Ayah, Kepulangan Sang Anak: Kisah tentang Pengorbanan

Ruhollah Shariati, seorang pejuang Basij berusia 42 tahun, seperti banyak pembela tanah air lainnya, meninggalkan semua ikatan duniawi di hari-hari penuh perang demi melindungi tanah kelahirannya.

Ia seorang ayah dari tiga anak yang dalam keadaan normal tak pernah lembur satu menit pun, namun begitu perang dimulai, ia menyerahkan istri, anak-anak, dan seluruh kehidupannya kepada Tuhan — tanpa mengetahui bahwa seorang anak lagi tengah dikandung. Anak itu pun, seolah tak sanggup menanggung duka kehilangan ayahnya, meninggal dunia hanya sepuluh hari setelah sang ayah syahid.

Prioritasnya: Membela Tanah Air

Ruhollah Shariati adalah anggota Basij dari kawasan Shahrak Azadi yang bertugas di bidang pertahanan siber Korps Garda Revolusi Islam (IRGC). Ia tengah menempuh studi pascasarjana Manajemen TI di Universitas Azad Sains dan Penelitian, dan bersiap untuk mempertahankan tesisnya. Biasanya, ia segera pulang setelah jam kerja selesai, tetapi sejak hari pertama perang, membela tanah air menjadi prioritas utamanya, hingga detik terakhir hidupnya.

Menurut laporan Pars Today mengutip Hamshahri Online, Sedigheh Feyzi, istri syahid Shariati, yang telah hidup bersamanya selama 15 tahun, mengenang hari-hari perang 12 hari itu:

“Hari Jumat, 23 Khordad (13 Juni), seharusnya hari libur, tetapi begitu mendengar kabar perang, ia langsung pergi ke kantornya. Siang dan malam berada di sana. Saya dan anak-anak pindah ke rumah saudara saya di Shahriar agar jauh dari suara ledakan. Kami tinggal di sana sampai akhir bulan. Malam Minggu, anak-anak meminta es krim dan menelepon ayahnya. Ia pun mengiyakan dan pukul 11 malam datang membawa es krim. Itu adalah kali terakhir kami berkumpul dengan penuh tawa.”

Kenangan Terakhir: Tanda Kesyahidan

Malam itu Ruhollah bermain dengan anak-anak hingga larut dan tidur di sisi mereka, tanpa menyadari bahwa itu adalah malam terakhir kebersamaan mereka.Sedigheh mengenang pagi berikutnya, Senin, 2 Tir (23 Juni):

“Sekitar pukul 4:30 pagi, suamiku terbangun oleh alarm ponselnya dan berkata, ‘Hari ini aku ingin menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Setelah matahari terbit, kita pergi berbelanja untuk rumah.’ Kami keluar bersama sekitar pukul 6 pagi. Dalam perjalanan pulang, ia berkata: ‘Beli juga tepung, siapa tahu anak-anak ingin makan halva.’ Anehnya, aku tidak pandai membuat halva, tapi saat itu aku tidak mempertanyakan apa pun—seolah hatiku sudah pasrah. Setelah sarapan keluarga, ia menerima panggilan dari komandannya dan segera kembali ke tempat kerja.”

Anak yang Tak Sempat Lahir

Siang harinya, suara ledakan bertubi-tubi mengguncang kota dan membuat keluarga serta teman-teman cemas.

“Banyak yang menanyakan kenapa ponsel Ruhollah tidak aktif. Aku menjawab, mungkin karena kondisi perang. Namun kegelisahan itu benar adanya. Tepat satu setengah jam setelah ia meninggalkan rumah, sekitar pukul 11:30 siang, tempat kerjanya diserang rudal dan ia gugur sebagai syahid.”

Sedigheh kemudian mengungkapkan rahasia pahit yang memperdalam luka hatinya:

“Sepuluh hari setelah kesyahidan suamiku, aku baru tahu kalau aku sedang hamil. Tapi tak sampai sepuluh hari kemudian, janin anak keempat kami gugur karena tekanan emosional dan duka mendalam.”

“Aku Ingin ke Karbala” – Isyarat Sebelum Kepergian

Kini, Sedigheh semakin menyadari tanda-tanda kesyahidan suaminya. Ia mengenang malam terakhir:

“Pukul 11:12 malam itu, Ruhollah berkata: ‘Aku ingin pergi ke Karbala.’ Aku menjawab, ‘Untuk Arba’in?’ Ia berkata: ‘Tidak, minggu ini!’ Aku heran, ‘Di tengah situasi perang begini?’”

Hari ini, Muhammad-Hossein, putra sulung mereka yang berusia 12 tahun, berkata kepada ibunya:

“Mama, perhatikan... Ayah hanya butuh waktu kurang dari 12 jam untuk mencapai impiannya — dan ia pun membawa serta adik keempat kami bersamanya.”